Bulan Syawal sudah berakhir, dan libur Lebaran sudah lama berlalu. Tapi masih saja banyak yang cerewet tentang libur yang sempat rancu tanggalnya itu. Mempermasalahkan libur kali ini tidak sesuai ekspektasi. Bukan ekspektasi bawa calon mantu, tapi pariwisata Jogja. Betul, pariwisata Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) dinilai lesu pada libur Lebaran 2023. Bahkan dinilai akan terus melemah.
Mengutip Kompas.com, kunjungan pariwisata libur Lebaran 2023 ke Jogja hanya 70 persen dari tahun sebelumnya. Okupansi hotel rata-rata juga hanya 50 persen. Menarik, karena sebagai warga lokal saya tetap merasa Jogja sumpek selama lebaran. Dan dengan gelombang wisatawan ini, saya dan banyak orang juga biasa wae. Tidak makin kaya atau tiba-tiba punya tanah di Jogja. Lha wong tanah kas desanya dipermainkan, chuakz.
Tapi, banyak suara miring tentang fenomena ini. Saling menyalahkan tentang penyebab lesunya pariwisata Jogja ini. Dari isu nuthuk harga sampai kebangkitan pariwisata Solo. Hanya, yang cukup sering lewat di timeline dan telinga saya: banyak orang suka bicara miring tentang Jogja. Sehingga calon wisatawan enggan datang ke Jogja. Apakah Anda juga berpikir demikian?
Kalau iya, mending Anda sekarang cuci muka, lalu minum kopi. Karena saya berniat menampar Anda semua dengan kasunyatan sing pait.
Kalau miring, ya diluruskan!
Sebenarnya saya punya cukup banyak jawaban tentang masalah pariwisata Jogja menjadi lesu. Tapi bukankah lebih mudah menyalahkan yang terlihat saja. Salah satunya opini dan kabar miring tentang Jogja. Gobloknya, solusi dari opini dan kabar miring tentang Jogja adalah diberangus. Persis seperti waktu Jogja masih diselimuti pandemi. Ketika itu, muncul seruan untuk stop pemberitaan COVID-19 di Jogja.
Saya sih maklum kalau warganet bersuara demikian. Sebab, mereka tidak bisa mengambil keputusan apa pun dan hanya melihat masalah dari kaca mata yang sempit. Tapi ayolah berpikir sedikit saja.
Opini dan kabar tentang Jogja yang berdampak pada pariwisata sih tidak banyak. Paling “hanya” klitih, nuthuk harga, parkir mahal dan sulit, kurangnya transportasi publik, sampah, jalan rusak, dan tata kota semrawut. Apakah kabar tentang ini harus disembunyikan agar wisatawan mau datang?
Kalaupun mereka tidak tahu kabar miring itu, wisatawan akan merasakan sendiri kok. Mau ditutupi dengan apa lagi coba? Terlepas dari berbagai alasan lain, mungkin bisa saja wisatawan tahun lalu memandang Jogja tidak mencukupi kebutuhan mereka. Makanya mereka memilih berwisata ke tempat lain.
Logikanya, kalau ada yang miring ya diluruskan. Kalau ada masalah ya diselesaikan. Sesederhana itu, sumpah. Tinggal ada kemauan atau tidak. Justru, sebenarnya, mereka malah senang. Kok bisa?
Baca halaman selanjutnya
Tinggal nunggu laporan, baru ambil tindakan