Sebenarnya, perdebatan karier sudah menjadi makanan harian saya dan ibu jauh sebelum saya pergi merantau. Namun, masing-masing dari kami belum kunjung juga puas dengan argumen yang dilontarkan. Ibu merasa banyak alasan menjadi PNS yang bisa saya terima. Menjadi PNS adalah dambaan tersendiri baginya jika anak yang kini menjadi tumpuan satu-satunya bisa mendapatkan posisi penting di ranah pemerintahan.
Berbeda dengan saya, saya sama sekali tidak menggebu-gebu untuk mendapatkan jabatan di dalam lingkup pemerintahan, saya kurang memiliki alasan menjadi PNS. Bahkan, untuk saat ini beberapa daftar pekerjaan impian saya tidak ada satu pun yang mengarah ke sana. Oleh karena perdebatan-perdebatan yang ada tersebut, hubungan kami berdua menjadi tak rekat lagi alias renggang, padahal saya sedang meranta, mengingat seharusnya hubungan komunikasi saat di perantauan perlu lebih intens.
Awalnya saya biasa saja ketika ibu selalu membicarakan persoalan kelulusan kuliah, akan bekerja di mana, sebagai apa, dan sistem kerja seperti apa. Toh, saya mengenal ibu sebagai sosok yang visioner, begitu pula dengan saya. Tetapi, lama-kelamaan saya berpikir ulang tentang sikap beliau yang makin mengarah pada sifat konservatif terhadap anaknya. Menginginkan anaknya untuk ini dan itu, khususnya urusan karier: menjadi PNS merupakan jalan ninja untuk anak kesayangannya.
Saya akui, hal tersulit dalam problematika kali ini adalah menyatukan pikiran dengan orang tua dan mencari titik tengahnya. Ditambah lagi, pemikiran anak muda saat ini dan orang tua zaman dahulu sangatlah kentara perbedaannya. Saya tidak ingin memaksa ibu benar-benar menuruti keinginan saya, tetapi setidaknya saya dan ibu bisa saling memahami kondisi masing-masing.
Pernah sekali waktu saya dan ibu bercakap di dalam dering telepon, saya singgung sedikit terkait persoalan karier. “Bu, tahu pekerjaan Digital Marketing itu apa, ndak? Social Media Specialist? Content Writer? atau Copywriter?” Ibu saya terdiam beberapa saat, lalu dijawabnya dengan nada santai, “Nggak tahu.” Saya pun membalasnya, “Ibu mau saya ajari?” Disahutnya kembali, “Ndak usah, wis.”
Setelah saya jabarkan apa masing-masing pengertian dan tanggung jawab pekerjaan di atas, ibu menyuruh agar saya saja yang belajar teknologi semacam itu. Bagi ibu, mengirim pesan teks melalui WhatsApp untuk menghubungi anaknya dan membuka Google untuk mencari informasi saja sudah cukup. Lalu, saya lemparkan balik pertanyaan, mengapa kalau begitu saya tidak diberikan keleluasaan pula untuk memilih jenjang karier yang berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan itu tadi? Ibu diam tak berkata apa-apa dan dering telepon menjadi hening.
Saya menduga kuat mengapa ibu bersikeras untuk mendesak saya agar memilih terjun di dalam ranah pemerintahan karena ibu pernah cerita bahwa perjuangannya sejak zaman 90-an, bahkan berlangsung hingga zaman sekarang, saat melawan banyaknya pesaing untuk lolos ke dalam tahap akhir seleksi CPNS itu tidak mudah.
Maka dari itu, anaknya disuruh untuk berjuang ekstra di tahun-tahun ini sebagai kunci “balas dendam” terbaik yang dipercayai anaknya bisa lebih hebat dari kemampuannya. Dan ternyata benar, saya klarifikasi dengan beliau persis seperti itu.
Ada 2 alasan yang mendasari saya mengapa enggan menjadi PNS. Pertama, jika bekerja di dalam pemerintahan tentunya akan terikat oleh sistem birokrasi. Terkesan kaku dan saya tidak menyukai hal itu. Berbeda halnya jika dibandingkan pekerjaan di ranah swasta, kita bebas berkreasi dan mengembangkan ide-ide segar lalu bisa didiskusikan dan diimplementasikan dengan tim dan juga perusahaan. Kedua, saya menghindari tuntutan konstruksi sosial agar diklaim sebagai menantu idaman dengan menjadi PNS. Dengan menyenangkan hati orang lain terus-menerus, lalu kapan diri kita bisa berbahagia sepenuhnya? Teramat sedih jika melakukan sesuatu demi kebahagiaan harus tertekan dahulu dengan lingkungan sekitar karena sebuah desakan kepentingan.
Tak ada rasa hipokrit dalam benak jika semuanya tergiur dengan keuntungan yang didapatkan jika menjadi seorang PNS, seperti ketetapan gaji yang jelas, jenjang karier yang nyata, pengabdian negara, dapat tunjangan hari tua atau dana pensiun, insentif, dan hal-hal lain yang sekiranya butuh kedetailan di setiap jajaran pemerintahan. Saya menyadari, betapa kuat idealisme saya untuk urusan karier. Saya tidak ingin terjerumus dalam lingkaran sosial yang menetapkan sebuah patokan untuk ini dan itu.
Bagi saya, berkarier untuk mengabdikan diri sebagai PNS atau memilih menjadi pegawai swasta tak ada yang salah, yang salah yaitu orang-orang yang selalu memaksakan kehendak orang lain agar sesuai dengan harapannya. Banyaknya perdebatan dengan ibu sekalipun saya tak pernah menyalahkan argumennya, karena saya sadar akan hal-hal terbaik yang diinginkan untuk masa depan anaknya. Namun, selalu saya katakan kepada ibu, “Bu, maaf saya tidak berjanji jika kelak berkarier menjadi PNS. Saat ini saya masih memiliki ambisi yang kuat berkarier di dunia media kreatif alias ranah swasta.” Tentunya saya menyampaikan dengan logat Jawa-Osing khas daerah. Alasan menjadi PNS yang saya miliki hampir tidak ada.
Pada akhirnya, kita punya pilihan yang terbaik untuk karier di masa depan. Kita punya sesuatu yang perlu dicapai, sama halnya seperti mimpi-mimpi yang sudah dilambungkan dengan tinggi. Memperjuangkan semua mimpi menjadi nyata lebih baik daripada terus berkutat dengan perdebatan dan alasan menjadi PNS atau pegawai swasta.
Parahnya lagi jika sudah turut merendahkan pekerjaan tertentu lebih rendah dibandingkan pekerjaan yang lain. Pun, lebih baik saya mengutamakan pengembangan kompetensi kerja dan kapabilitas diri untuk karier terbaik yang saya miliki daripada terjebak dalam lingkaran sosial yang takkan terukur surutnya.
BACA JUGA Contoh Pertanyaan Interview Kerja yang Sering Muncul dan Tips Menjawabnya