Sebagai mahasiswa dan akademisi, hakikat penelitian sudah serupa makanan sehari-hari. Dalam proses pencarian dan penggalian data penelitian, tentu kita akan menemukan beberapa hambatan ketika turun ke lapangan. Di antaranya adalah ditolaknya peneliti atau surveyor oleh masyarakat atau calon responden penelitian.
Mungkin berdasarkan cerita yang beredar, masyarakat Indonesia terkenal ramah dan terbuka. Namun, hal itu ternyata tidak berlaku apabila kita ingin menjadikan mereka sebagai informan atau responden penelitian.
Bahkan kebanyakan dari mereka akan menolak mentah-mentah begitu saja. Nah, dalam tulisan sederhana ini saya akan memaparkan beberapa alasan seseorang menolak dijadikan responden atau informan penelitian sehingga kalian bisa menghindarinya agar nggak mengacaukan pengumpulan data.
#1 Kelengkapan surat izin penelitian
Alasan paling klasik yang biasa dilakukan oleh seseorang untuk menolak peneliti atau surveyor adalah tidak adanya surat penelitian atau surat pengantar. Hal ini biasanya berlaku di daerah perkotaan yang mayoritas masyarakatnya tahu betul birokrasi.
Berdasarkan pengalaman saya terjun ke lapangan, masyarakat tidak akan terbuka dan mau dijadikan responden penelitian apabila belum ada surat resmi dari RT/RW. Namun, hal ini biasanya tidak berlaku apabila calon responden tersebut teman atau kerabat kita sendiri.
Oleh karena itu, apabila kalian tidak mau ditolak mentah-mentah dan dianggurin begitu saja, alangkah baiknya sebelum turun ke lapangan, perhatikan kelengkapan surat izin penelitian. Bahkan kalau bisa lengkap sampai surat izin tingkat RT/RW. Lumayan hemat waktu, penelitian pun terlihat meyakinkan, dan nggak perlu bolak-balik melobi saat pengumpulan data sudah berlangsung.
#2 Tidak tertarik dengan isu terkait
Setelah menanyakan surat izin penelitian, biasanya beberapa orang akan menanyakan topik atau tema penelitian kita. Apabila tema atau topik itu tidak sesuai atau mungkin tidak menarik bagi mereka, biasanya akan ditolak atau dialihkan ke orang lain.
Berdasarkan pengalaman saya, responden kerap kali menolak tema atau topik penelitian yang berbau agama atau politik. Hal itu lantaran, menurut sebagian orang agama dianggap sebagai sesuatu yang privat.
Sedangkan beberapa yang lain menolak begitu saja tema atau topik penelitian tentang politik. Hal itu lantaran mereka beranggapan politik itu kotor, penuh kepentingan, dan tidak begitu banyak manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari.
Makanya sebagai peneliti, kita perlu bekal keahlian mencari responden yang cocok dan mau terbuka. Jangan paksakan seseorang membantu penelitian kita jika ia terlihat tidak punya minta. Ujungnya, data yang diperoleh justru kurang valid dan terkendala.
#3 Menjaga privasi
Selain tidak tertarik dengan tema atau topik penelitian, biasanya seseorang akan menolak dijadikan responden atau informan dengan alasan menjaga privasi. Orang seperti ini biasanya takut sekali data diri mereka tersebar luas.
Padahal, dalam proses pencarian dan penggalian data, peneliti diharapkan untuk bisa mendapatkan data yang valid sesuai fakta di lapangan. Selain itu, peneliti atau surveyor biasanya sudah dilengkapi surat tugas dan keterangan bahwa semua data responden akan dirahasiakan.
Namun, realitasnya kebanyakan orang masih belum percaya sepenuhnya. Bahkan, beberapa beranggapan bahwa data diri mereka akan disalahgunakan untuk tujuan tertentu, misalnya diperjual-belikan. Kemampuan negosiasi diperlukan. Apalagi kalau peneliti perlu melakukan wawancara mendalam yang mengulik latar belakang responden penelitian. Pastikan perjanjian soal ini jelas di awal pertemuan.
#4 Tidak bisa diganggu
Selain menjaga privasi, biasanya beberapa orang akan beralasan sibuk atau tidak bisa diganggu. Beberapa orang memang sulit meluangkan waktu karena pekerjaan atau bisnis yang dijalaninya. Sedangkan sebagian yang lain tidak mau diganggu lantaran menurut mereka kedatangan peneliti atau surveyor hanya akan menyita waktu mereka.
Bahkan, pernah suatu ketika saya turun ke lapangan, dan kebetulan mendapatkan wilayah survei di perumahan elit. Setelah berjalan dari rumah ke rumah, tidak ada satu pun orang yang bersedia untuk diwawancarai, meskipun saya sudah menjelaskan durasi maksimal lima menit saja.
Kadang ini menjadi dilema. Sebagai peneliti, kita tidak bisa memaksa. Namun, sebagian orang telanjur tidak peduli dan tidak mau diganggu.
#5 Tidak ada suvenir
Ada beberapa orang yang menolak dijadikan responden penelitian lantaran tidak ada suvenir atau imbalan. Menurut sebagian orang, waktu dan data mereka harus ditukar oleh sesuatu.
Orang-orang seperti ini biasanya beranggapan bahwa mahasiswa, peneliti, atau surveyor adalah sinterklas yang datang membawa sesuatu. Sebab, biasanya ketika mereka bersedia diwawancarai, mereka akan mendapatkan suvenir sebagai gantinya.
Akhirnya muncul semacam tradisi yang berkembang di masyarakat untuk meminta suvenir ketika bersedia dijadikan responden. Oleh karena itu, sebagian orang akan menolak begitu saja apabila kita tidak menyediakan imbalan.
Keniscayaan ini memang tidak bisa dimungkiri. Beberapa peneliti kemudian menyiasatinya dengan undian pulsa dan meberi hadiah hiburan untuk responden penelitian. Diskusikan saja hal ini kepada pembimbing, kawan, atau teman yang sudah berpengalaman untuk mencari strategi yang tepat demi menarik minat calon responden.
Penolakan itu menyakitkan. Maka bekalilah diri kalian dengan sebanyak mungkin tips dan trik sebelum benar-benar turun ke lapangan. Semangat, ya!
BACA JUGA Pengalaman Jadi Surveyor: Dikira Minta Sumbangan Sampai Jualin Produk dan tulisan A. Fikri Amiruddin Ihsani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.