Dulu waktu saya sekolah, bikin acara itu kok rasa-rasanya sulit banget. Apalagi kalau berkaitan sama masalah keuangan. Pernah saat mau bikin acara perayaan hari lahir sekolah, tapi tidak mendapatkan dana dari sekolah alias nggolek duit pemasukan dewe. Alasan dari sekolah sih, katanya duit buat bikin acara begituan itu nggak bisa dilaporkan ke pemerintah, jadinya memang nggak bisa dianggarkan.
Akhirnya dengan modal saling menguatkan dan rai gedhek, para panitia mulai berpencar di penjuru kota sambil membawa proposal. Berupaya mengetuk pintu hati dari pemilik pabrik ataupun toko kelontong untuk memberikan sedikit dananya untuk membantu kegiatan dengan imbalan exposure dan tiket acara.
Kami sudah nggak ada bedanya dengan orang yang meminta sumbangan untuk mendirikan masjid. Bedanya kami lebih kurang ajar aja, mosok minta duit ke pengusaha buat bikin acara sekolah. Udah kaya tukang palak yang minta uang keamanan aja, jeh.
Saya pikir setelah menjadi mahasiswa, seorang insan yang berintelektualitas tinggi, saya tidak akan menemukan seperti itu lagi. Tapi ternyata dugaan saya salah, malah luwih parah, su!
Biasanya mahasiswa menyebutnya danus, singkatan dari dana usaha. Kegiatan danus ini biasanya dalam bentuk berjualan untuk menambah duit pemasukan buat acara. Sekilas sih seperti tidak ada yang salah, karena niat mereka adalah berjualan, bukan untuk mengemis. Tapi kalau dipikir-pikir, mereka itu jualannya dengan mengiba, kalah itu mbok-mbok yang jualan pecel sambil ngemper.
Ya gimana nggak berjualan sambil mengiba dan setengah memaksa. Ternyata kalau dagangan mereka nggak laku harus nomboki. Kadang kalau ditawari itu rada males. Tapi demi tali pertemanan tetap terjaga, mau tidak mau saya membelinya, walaupun harganya dua kali lipat lebih mahal daripada di kantin.
Karena pandemi, danus tidak bisa dilaksanakan secara offline dan kini beralih memanfaatkan sosial media untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Setidaknya dengan melakukan danus secara online akan meminimalisir rai gedhek.
Danus online ini bentuknya tidak dalam menawarkan barang, tapi menawarkan jasa paid promote. Secara konsep hampir sama dengan paid promote yang dilakukan oleh artis/influencer pada umumnya. Bedanya adalah mereka main keroyokan, misalnya ada 60 panitia, ya semua orang itu harus posting produk client secara bersamaan. Terdengarnya sih keren, tapi lama-lama risih juga melihat metode danus kek gini. Saya kasih beberapa alasan danus model ginian eneg buat diliat.
Spam
Niatnya buka Instagram itu ya buat hiburan, kalau nggak ya cari foto-foto yang Instagramable. Tapi kalau kamu buka Instagram terus ketemu isinya paid promote mulu gimana?
Bayangin aja, saat scroll Instagram ketemu postingan paid promote A, ketemu paid promote B. Terus kamu buka story, ternyata isinya paid promote juga. Rasane mangkel pol, wis.
Bahkan ada temen saya yang mengganti bio Instagram nya dengan “Akun ini sementara digunakan untuk paid promote”. Kurang mangkel gimana lagi coba. Mau tak unfollow kok takut diunfollow balik.
Ngakunya jualan original, tapi nyatanya bajakan
Biasanya yang menggunakan jasa paid promote adalah orang yang jualan akun premium, entah Netflix, Spotify atau YouTube. Karena kehadiran mereka tidak diterima oleh sobat Twitter, mereka beralih untuk menjualkan produk di Instagram. Sasaran penjualannya sih sudah jelas, mahasiswa yang ngebet pengen nonton film di Netflix atau dengerin podcast Spotify tanpa iklan dengan harga yang miring.
Harga yang miring ini membuat saya mengernyitkan dahi. Lha gimana, biasanya yang harganya miring itu bau-bau ilegal, sih. Kalau dipikir juga nggak masuk akal juga harganya, masa akun Netflix premium dijual 150K untuk beberapa bulan.
Saya sih nggak mempermasalahkan hal itu ya, yang jadi masalah kenapa kok masih mencantumkan kalau itu adalah hal yang legal? Kenapa nggak bilang jujur kalau iya, kami jualan akun bajakan. Setidaknya kalau begitu kan dosanya nggak dobel.
Cakupannya sempit
Permasalahan mencari paid promote itu kan sama aja dengan mencari tempat sewa usaha. Sebisa mungkin mencari lahan yang ramai dan berpotensi mendatangkan cuan bagi pemasang iklan.
Yang harus diperhatikan saat mencoba melakukan paid promote jangan terpaku dengan total followers. Karena yang repost juga satu circle Instagram, jadinya produk kamu nggak kemana-mana, ya mentok di circle mahasiswa.
Saya pernah mencoba iseng untuk menggunakan beberapa jasa paid promote dalam satu waktu, untuk melakukan perbandingan. Satu untuk produk yang nggak relate dengan mahasiswa, dua untuk produk yang relate dengan mahasiswa. Ternyata engagement lebih besar yang nomor dua.
Makanya, rata-rata memang yang worth it untuk menggunakan jasa paid promote itu yang relate dengan mahasiswa. Jadi kalau kamu mau pake jasa paid promote tapi target kamu bukan mahasiswa, mending nggak usah deh, daripada buang-buang duit di pasar yang salah.
Hubungan timbal balik client dan penyedia jasa yang tidak seimbang
Berbeda dengan jasa lainnya, yang raja adalah yang pegang uang. Kalau kalian ingin menggunakan jasa paid promote, kalian yang diharuskan untuk mengikuti ketentuan dari penyedia jasa, bahkan untuk jam upload ditentukan penyedia jasa.
Selain itu, pengguna jasa juga tidak ada jaminan apakah produknya mendapatkan timbal balik penjualan yang sesuai atau nggak.
Iya memang tidak ada kewajiban penyedia untuk membuat laris dagangannya, cuma sekedar untuk memberikan lapak promosi. Tapi mbok ya masa client udah ngikutin alur, ternyata nggak ramai dan ditinggalin begitu aja sama penyedia jasa. Kan nanti ujung-ujungnya yang dapat feedback buruk kan yang punya jasa.
BACA JUGA Plus Minus Chattingan Pakai WhatsApp vs Telegram. Mana yang Lebih Bagus? dan tulisan Achmad Bayu Setyawan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.