Seminggu yang lalu saya berksempatan menghadiri sebuah ritual sunatan adik kawan saya yang seorang abangan, kawan sharing hal-hal seputar abangan yang selama ini selalu bisa jadi bahan buat saya tulis. Termasuk undangan buat menghadiri ritual sunatan adiknya, ternyata juga bisa jadi bahan mentah buat saya olah jadi tulisan yang Anda baca sambil nunggu balasan WA dari doi ini heuheuheu.
Dalam tradisi masyarakat abangan—setidaknya dari kelompok keluarga kawan saya—ritual sunatan disebut juga dengan “kolohan”.
Sepintas, terdengar mirip sama istilah ritual sunatan Suku Osing di Banyuwangi yaitu, “koloan”. Kalau merujuk dari beberapa catatan yang pernah saya himpun, koloan artinya adalah jebakan. Yakni rangkaian ritual untuk menjebak atau mengelabuhi si anak agar mau disunat. Ritual ini dikhususkan buat anak-anak yang agak penakut.
Jadi, sedari awal si anak emang sengaja nggak dikasih tahu kalau dia mau disunat. Kemudian agar mau disunat, si anak dijebak pihak keluarga dengan pura-pura diajak jalan-jalan. Maksud yang sebenernya dari jalan-jalan adalah diajak jalan ke rumah tukang sunatnya. Ada yang bilang kalau ini bagian yang merepresentasikan istilah koloan.
Ada juga yang menyebut, jebakan yang dimaksud adalah ketika si anak dimandikan dengan cairan tiga warna. Yaitu, merah yang berasal dari darah ayam, warna kuning dari kunyit, dan putih yang berasal dari batu kapur atau sekarang umumnya cukup pakai bedak saja. Pihak orang tua dan tukang sunat akan membesar-besarkan hati si anak. Orang tua bilang ke anak kalau setelah dimandikan dengan tiga cairan tersebut, maka dia akan jadi kebal sakit. Dengan begitu, akhirnya si anak nggak bakal rewel pas mau disunat.
Setidaknya seperti itulah yang berkembang di masyarakat Osing dewasa ini. Berdasarkan penelitian Andrew Beatty, antropolog pada dekade 90-an di Bayu, Banyuwangi, model ritualnya bukan memandikan si anak dengan tiga cairan tersebut. Tapi dengan mengguyurkan tiga cairan tersebut pada penis si anak sebelum disunat. Hal ini dimaksudkan untuk menolak bala apa pun; biar terhindar dari malpraktik misalnya.
Saya masih belum bisa memastikan, kok bisa nyerempet gitu ya antara istilah sunatan dari keluarga abangan kawan saya sama masyarakat Osing? Nggak cuma itu, prosesi ritualnya pun nisbi sama, loh. Malah cenderung mirip dengan apa yang pernah ditemukan Andrew Beatty; mengguyurkan tiga cairan—terdiri dari yang sudah saya sebut sebelumnya—pada penis sebelum dilakukan pemotongan.
Tiga cairan tersebut, kata kawan saya, disebut dengan “koloh’’ (bahasa Jawa) yang artinya adalah sisa atau bekas air. Karena, seperti yang saya sebut sebelumnya, cairan yang digunakan kan emang bekas atau kaldu dari beberapa bahan. Kayak kuning yang asalnya dari olahan kunyit, putih dari olahan batu kapur, dan merah yang diambil dari darah ayam. Tapi bagi keluarga kawan saya, tiga sumber cairan ini nggak baku, alias bebas yang penting menghasilkan tiga warna; merah, kuning, putih. Karena letak filosofinya bukan di bahan, tapi pada warnanya.
Warna merah adalah simbol dari nafsu amarah (dorongan keburukan). Kuning adalah simbol untuk nafsu sufiyah (terombang-ambing). Nafsu mutmainnah (kebaikan) yang disimbolkan dengan warna putih. Lalu apa hubungannya tiga warna yang menggambarkan tiga nafsu dalam diri manusia itu dengan penis? Kenapa tiga cairan warna tersebut justru diguyurkan di penis? Nah, ini yang menarik.
Penis (kemaluan) di sini merupakan simbol dari nafsu atau syahwat yang sering mengendalikan manusia. Kayak apa kata Eka Kurniawan, “Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala.”
Penaburan simbol tiga jenis nafsu pada penis ini adalah harapan agar setelah disunat nanti si anak akhirnya bisa mengontrol hawa nafsunya sendiri. Bisa membedakan mana yang pantas dilakukan dan mana yang harus dihindari. Itulah syarat agar seseorang bisa disebut dengan aqil balig (berakal sehat); menggunakan fungsi akalnya dengan sebaik-baiknya. Dan setelah aqil balig, barulah seseorang akan bisa disebut sebagai “insan kamil” (manusia sempurna).
Dalam “Serat Wirid Hidayat Jati” disebut, kemaluan manusia itu adalah bait al-mukaddas (rumah suci). Kesucian yang harus dijaga manusia dengan mengontrol nafsu atau syahwatnya sendiri. Dan itulah jalan menuju “insan kamil”.
Selesai disunat, pihak keluarga kawan saya kemudian mengadakan doa bersama di hadapan sebuah tumpeng. Setelah itu, ya udah tinggal makan-makan heuheuheu. Si anak yang baru saja disunat tersebut harus ikut mencicipi tumpeng yang sudah dihidangkan. Bukannya tanpa alasan, tumpeng dan aneka bunga penghiasnya ini juga mengandung filosofi serta harapan-harapan untuk si anak.
Nggak ada aturan baku untuk jenis lauk yang harus menyertai tumpeng. Yang wajib adalah adanya tiga jenis bunga yaitu, mawar, kenanga, dan bunga kanthil.
Bunga mawar maksudanya adalah mawarna-mawarni (beraneka ragam). Sebuah harapan agar si anak memahami betul bahwa manusia itu hidup bersama. Baik bersama manusia atau makhluk lain di muka bumi ini yang tentu, berbeda antara satu dengan yang lain. Tugas manusia adalah saling menghormati sesamanya. Kalau dalam Islam, mungkin kayak konsep hablun min al-nas dan hablun min al-alam gitu lah.
Kemudian bunga kenanga maksudnya adalah kena ngana kena ngene (boleh begitu boleh begini). Mangandung makna yaitu, setelah disunat, maka si anak sudah dianggap dewasa. Si anak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang hendak dia lakukan. Dengan syarat, kebebasan tersebut tetep harus berdasarkan bunga kanthil.
Kanthil dalam bahasa Jawa memiliki arti sama dengan nyawiji (menyatu). Artinya sikap kena ngana kena ngene tersebut tetep harus nyawiji atau satu konsep dengan Tuhan. Jadi lebih kepada wanti-wanti agar manusia selalu eling lan waspada. Selalu memilah-milah apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Misalnya, mo limo (nggak minum (mabuk), main (judi), maling, membunuh, dan madon atau main perempuan).
Maksud tumpeng sendiri adalah gambaran dari siklus hidup manusia yang persis seperti bentuk tumpeng; segitiga. Yang mana semakin ke atas semakin mengerucut lalu hilang. Begitulah manusia, semakin dewasa dia, harusnya semakin sadar pula bahwa dia nantinya akan hilang atau tiada pula. Alias bakal mati; kembali nyawiji dengan Gusti Kang Murbeng Dumadhi (Tuhan yang jadi sebab adanya alam). Oleh karena itu, dalam perjalanan menuju kesejatian tersebut manusia harus mengamalkan trinitas dalam bunga mawar, kenanga, dan kanthil. Maksudnya adalah agar selain menjadi insan kamil, juga bakal selamat di akhirat.
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.