Saya punya dua grup WhatsApp teman-teman semasa SMA dengan anggota yang sama persis. Satu grup berguna untuk komunikasi umum, seperti melempar infomasi, lelucon, dan keluh-kesah. Sementara grup yang lain merupakan grup untuk koordinasi iuran saat ada teman yang hendak nikah atau punya anak.
Sejak lulus SMA, hajatan seperti itu mulai ada dan berlipat ganda. Hajatan seperti tidak kenal waktu, termasuk saat pandemi seperti ini. Tidak mungkin kan teman kamu yang sudah hamil menunda lahiran sampai kondisi dunia kembali aman? Menego bayi agar tetap berlama-lama di perut belum ada ilmunya.
Secara teknis, apabila salah satu teman punya hajatan, maka dia akan di-kick dari salah satu grup. Kemudian para penghuni yang tersisa akan membahas tentang iuran dan akan menjadi apa uang yang terkumpul. Di sinilah perdebatan sering terjadi, apakah akan memberi dalam bentuk uang atau barang. Secara tegas, saya menyatakan bahwa memberi uang lebih baik daripada barang.
Kenapa memberi barang sebagai kado pernikahan ataupun kelahiran enggak tepat?
Saya belum menemukan penelitian profesor atau kajian kampus luar negeri terkait ini, namun memberi barang sebagai kado nikahan dan lahiran lebih banyak mubazirnya. Lebih banyak bukan berarti semua mubazir.
Coba saja kita lihat saudara atau teman kita yang mendapat kado berupa barang-barang. Banyak barang yang tidak terpakai karena memang tidak dibutuhkan, dan banyak barang yang tidak terpakai karena ada barang serupa yang lebih dari satu.
Ingat bahwa teman kita juga punya teman lain. Ada lingkaran teman kampung, SD, SMP, SMA, kuliah, kerja, teman julid, teman olahraga, sampai teman yang datang saat butuh. Asumsinya, banyak orang juga yang berpikir barang serupa saat hendak memberi. Apabila semua memberi barang, ada berapa persen potensi barang sama atau justru tidak dibutuhkan? Jadi berhentilah sok tahu. Kita tidak benar-benar tahu kebutuhan orang lain.
Kado barang akan menjadi kenang-kenangan?
Mengutip dari tetangga saya si Miun, tidak ada barang yang abadi. Apabila tidak rusak ya hilang. Sepertinya kita perlu mulai sadar bahwa kita tidak sepenting itu di banyak teman. Jadi tidak semua barang kita akan dikenang atau dilaminating. Kegunaan adalah kunci.
Lebih baik kado uang
Sebagian besar orang memberi barang sebagai upaya untuk membantu teman. Meringankan kebutuhan hidup mereka yang telah naik level entah nikah atau punya anak. Apabila memang tujuan utamanya membantu, kenapa tidak memberi dalam bentuk uang saja?
Saya yakin 51 persen, bahwa orang yang punya hajat lebih butuh uang daripada barang. Persoalannya, tidak semua orang mau bilang secara jujur. “Masak udah diberi malah request?” Tapi jauh di dalam lubuk hati, mereka menangis. Menangis melihat teman mereka yang sok tahu dan banyak barang yang tidak terpakai.
Ngasih uang pantas aja kok
Hal yang sering menjadi kendala saat memberi uang dalam hajatan adalah anggapan pantas atau tidak pantas. Entah dari mana indikator pantas dan tidak pantas dalam hal seperti ini. Setahu saya, hal yang tidak pantas itu memberi barang pas ada hajatan, misal gelas atau Tupperware, dengan melempar ke muka teman kita, sambil bilang, “Nih aku sumbang barang, dasar miskin.” Itu baru tidak pantas. Apabila kita mengomunikasikan dengan baik dalam membari uang, pasti mereka akan mengerti. Mungkin awalnya akan canggung, tapi percayalah, it works. Saya beberapa kali mencobanya dan saya tidak dikucilkan, setidaknya sampai saat ini.
Hal yang mendasar, kita tidak bisa mengontrol perasaan atau persepsi orang lain terhadap diri kita. Apabila kita sudah berbicara baik-baik namun dia tetap tersinggung, itu hal di luar kendali kita. Yang penting kan tujuannya, hasil mah bisa random. Selalu ada margin error.
Jangan maksa
Dari sekian pembahasan di atas, justru yang paling penting adalah tidak usah memaksa untuk memberi sesuatu kepada teman. Apabila memang kondisi ekonomi sedang tidak baik, tidak perlu memberi barang atau uang. Saya belum pernah melihat berita berjudul, “Gara-gara Tidak Memberi Barang atau Uang Saat Nikahan, Laki-laki Ganteng Ini Diarak dan Dibakar Warga Setempat.”
Sering kali alasan yang muncul hanya sebatas pantas dan tidak pantas. Percayalah, pertemanan (atau kekeluargaan) bukan perkara yang terbentuk dalam sehari atau dua hari, atau satu momen dua momen. Persahabatan (atau kekeluargaan) adalah proses panjang dan bertahap. Tidak ada akhir dari sebuah jalinan ini. Apabila ada pesahabatan yang rusak hanya karena tidak datang saat hajatan atau tidak memberi apa-apa, justru persahabatan itu sendiri yang perlu dikaji ulang. Bisa jadi persahabatan mereka tercipta secara singkat, seperti pembahasan undang-undang kontroversial di DPR.
Layaknya sebuah grup WhatsApp, banyak pasang surutnya. Walaupun sering sepi dan jarang ada tanggapan, namun grup itu sendiri akan tetap ada. Dia akan siap menampung kapan pun kamu butuh, seperti sahabat.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Bosen Hadiah Wisuda Boneka dan Bunga Terus: Ini Lho Solusinya!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.