Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus

Dosen Perlu Belajar dari Aktivis Kampus, Masa Sudah Jadi Dosen Public Speaking-nya Masih Jelek?

Azzhafir Nayottama Abdillah oleh Azzhafir Nayottama Abdillah
29 Desember 2025
A A
Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Iya, kalian tidak salah membaca judulnya, memang masih ada beberapa dosen yang memiliki kemampuan berpikir di atas kemampuannya menyampaikan pendapat. Ini bukan upaya merendahkan profesi dosen, melainkan potret yang cukup sering ditemui di ruang kelas. Dosen-dosen ini biasanya sangat kuat secara konseptual, kaya referensi, dan menguasai teori hingga ke akar-akarnya. Namun ketika masuk ke ruang kuliah dan berhadapan dengan mahasiswa, pengetahuan itu seperti mentok di kepala, tidak pernah benar-benar sampai ke telinga mahasiswanya.

Alih-alih membuat mahasiswa paham, penjelasan yang diberikan justru semakin membingungkan. Kalimatnya panjang, istilahnya berlapis-lapis, dan alurnya meloncat-loncat. Niatnya ingin menyederhanakan konsep, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, materi menjadi terasa eksklusif dan sulit diakses. Mahasiswa akhirnya sibuk mencatat tanpa benar-benar mengerti, atau lebih parah lagi, sekadar hadir secara fisik tanpa kehadiran pikiran.

Masalah ini sebenarnya bukan soal kecerdasan, apalagi kapasitas akademik. Ini murni soal kemampuan menyampaikan gagasan. Public speaking bukan sekadar berani bicara di depan kelas, tetapi tentang bagaimana menata ide, memilih diksi, membaca audiens, dan mengalirkan pengetahuan secara runtut. Sayangnya, kemampuan ini kerap dianggap pelengkap, bukan kebutuhan utama, padahal di ruang kelas, kemampuan berbicara adalah jembatan utama antara ilmu dan pemahaman.

Di titik inilah ironi pendidikan muncul. Kampus yang menjadi pusat produksi ilmu justru sering abai pada cara ilmu itu disampaikan. Dosen dituntut meneliti, menulis jurnal, dan menguasai teori mutakhir, tetapi tidak selalu dibekali atau didorong untuk mengasah kemampuan komunikasi. Akibatnya, mahasiswa harus berjuang sendiri menerjemahkan materi yang seharusnya bisa dipahami bersama.

Padahal, jika mau sedikit menoleh ke lingkungan kampus sendiri, banyak aktivis mahasiswa yang justru lihai dalam hal berbicara di depan umum. Mereka terbiasa menyederhanakan isu rumit, merangkai argumen dengan bahasa yang membumi, dan menyampaikan pesan secara sistematis.

Bukan berarti aktivis lebih pintar, tetapi mereka terlatih untuk berbicara dengan tujuan dipahami, bukan sekadar terdengar pintar. Di sinilah ruang refleksi itu seharusnya dimulai.

Ini bukan soal isi kepala, tapi bagaimana cara mulut bekerja

Jika dikomparasikan, aktivis kampus dan dosen sebenarnya berangkat dari titik yang hampir sama. Keduanya sama-sama mempelajari materi sebelum berbicara. Aktivis tidak mungkin naik mimbar tanpa tahu isu yang akan disuarakan. Mereka membaca, berdiskusi, mengulik data, bahkan menyusun kerangka narasi sebelum berorasi. Begitu pula dosen. Tidak ada dosen yang mengajar tanpa persiapan akademik. Silabus disusun, bahan ajar dibuat, referensi dikumpulkan, dan konsep dipahami secara mendalam.

Perbedaannya bukan terletak pada penguasaan materi, melainkan pada cara menyampaikannya. Aktivis kampus sadar betul bahwa orasi yang gagal dipahami adalah orasi yang gagal tujuan. Maka, isu yang kompleks diperas menjadi poin-poin sederhana, kalimat dipilih agar mudah dicerna, dan intonasi diatur supaya pesan sampai. Mereka belajar membaca audiens, tahu kapan harus menekan, kapan harus melambat, dan kapan harus memberi jeda. Semua itu dilakukan bukan untuk terlihat pintar, tetapi agar didengar dan dipahami.

Baca Juga:

4 Hal yang Perlu Kalian Ketahui Sebelum Bercita-cita Menjadi Dosen (dan Menyesal)

Dosen yang Mewajibkan Mahasiswa Beli Bukunya Sendiri Itu Kenapa, Sih?

Sementara itu, dosen sering kali terjebak pada logika sebaliknya. Semakin rumit penjelasan, semakin akademik rasanya. Padahal, dunia sudah berubah. Di era sekarang, soft skill seperti public speaking bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan parameter penting dalam menilai bagaimana seseorang berargumen, berpendapat, dan menyampaikan gagasan. Orang tidak hanya dinilai dari apa yang ia ketahui, tetapi juga dari bagaimana ia mengomunikasikannya.

Cara penyampaian dosen tidak relevan dengan cara belajar mahasiswa

Mahasiswa hari ini hidup di tengah banjir informasi yang serba cepat dan ringkas. Mereka terbiasa dengan penjelasan yang runtut, visual, dan langsung ke inti persoalan. Ketika berhadapan dengan gaya mengajar yang berputar-putar dan penuh istilah tanpa penjelasan kontekstual, jarak antara dosen dan mahasiswa pun melebar. Bukan karena mahasiswa malas berpikir, tetapi karena cara penyampaian tidak lagi relevan dengan cara belajar mereka.

Dari sini, komparasi itu menjadi jelas. Aktivis kampus mengasah public speaking karena tuntutan gerakan, sementara dosen sering kali merasa cukup dengan penguasaan materi. Padahal, keduanya sama-sama berbicara di ruang publik, sama-sama menyampaikan gagasan, dan sama-sama punya tanggung jawab agar apa yang disampaikan bisa dipahami.

Di titik ini, belajar public speaking bukan soal gengsi atau usia, melainkan soal kesadaran bahwa ilmu yang baik adalah ilmu yang mampu sampai ke pendengarnya.

Tenang bapak/ibu dosen, ini cuma keresahan mahasiswa

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela aktivis kampus seolah-olah mereka lebih unggul, apalagi merendahkan dosen yang jelas memiliki kedalaman ilmu, pengalaman akademik, dan legitimasi keilmuan yang tidak bisa disamakan begitu saja. Ini bukan soal siapa yang lebih pintar, melainkan soal bagaimana ilmu itu sampai ke telinga dan kepala mahasiswa.

Sebagai mahasiswa yang datang ke kampus dengan harapan besar untuk belajar, wajar jika kami juga menaruh ekspektasi tinggi kepada dosen. Apalagi, UKT yang dibayarkan tidak murah dan sering kali menjadi beban kolektif keluarga. Maka, ruang kelas seharusnya menjadi ruang belajar yang benar-benar ramah secara intelektual, bukan sekadar ajang unjuk kompleksitas istilah dan teori. Ketika bahasa yang digunakan terlalu tinggi dan asumsi dosen menempatkan mahasiswa seolah sudah setara secara keilmuan, di situlah celah itu muncul. Ilmu tidak gagal karena materinya salah, tapi karena cara penyampaiannya tidak bertemu dengan kapasitas pemahaman mahasiswa.

Di titik ini, public speaking bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan jembatan utama antara ilmu dan pemahaman. Aktivis kampus, dengan segala kekurangannya, sering kali justru piawai di aspek ini karena mereka terbiasa menyusun pesan, mengenali audiens, dan menyampaikan gagasan secara bertahap.

Barangkali, tidak ada salahnya jika sesekali para dosen menurunkan ego akademik dan belajar dari praktik-praktik itu. Toh tujuannya sama, menyampaikan gagasan agar dipahami. Pada akhirnya, ilmu setinggi apa pun akan percuma jika hanya berhenti di kepala pengajarnya.

Penulis: Azzhafir Nayottama Abdillah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sisi Gelap PTN yang Bikin Dosen Menderita, Sibuk Mengejar Akreditasi tapi Kesejahteraan Dosen Jauh Panggang dari Api

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 29 Desember 2025 oleh

Tags: aktivis kampusDosenmateri dosenpublic speaking
Azzhafir Nayottama Abdillah

Azzhafir Nayottama Abdillah

Mas mas biasa saja dengan bobot 91 kg yang menulis sebagai pelarian gagal diet.

ArtikelTerkait

PDKT riset asisten riset mojok

Balada Asisten Riset: Pulang Malu, Tak Pulang Rindu

18 Oktober 2020
Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

28 Juni 2025
pengangguran, kuliah online

Saya Dosen, Kuliah Online Bikin Saya Ngerasa Jadi Pengangguran yang Digaji

2 Mei 2020
Pengalaman Diajar Kak Seto Mulyadi: Merasa Senang dan Canggung Bersamaan terminal mojok.co

Pengalaman Diajar Kak Seto Mulyadi: Merasa Senang dan Canggung Bersamaan

14 Desember 2020
Menampik Label bahwa Anak Dosen Selalu Cerdas Seperti Orang Tuanya_ Nggak Mesti, Lho! terminal mojok

Menampik Label bahwa Anak Dosen Selalu Cerdas seperti Orang Tuanya: Nggak Mesti, lho!

15 September 2021
Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024: Angin Segar Atau Sekadar Janji untuk Dosen?

Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024: Angin Segar Atau Sekadar Janji untuk Dosen?

15 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

27 Desember 2025
Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Perpustakaan di Indonesia Memang Nggak Bisa Buka Sampai Malam, apalagi Sampai 24 Jam

26 Desember 2025
Derita Jadi Pustakawan: Dianggap Bergaji Besar dan Kerjanya Menata Buku Aja

Derita Jadi Pustakawan: Dianggap Bergaji Besar dan Kerjanya Menata Buku Aja

23 Desember 2025
Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

24 Desember 2025
Apakah Menjadi Atlet Adalah Investasi Terburuk yang Pernah Ada? (Unsplash)

Apakah Menjadi Atlet Adalah Investasi Terburuk dalam Hidup Saya?

27 Desember 2025
4 Alasan Orang Jakarta Lebih Sering Liburan ke Bogor daripada ke Pulau Seribu

4 Alasan Orang Jakarta Lebih Sering Liburan ke Bogor daripada ke Pulau Seribu

25 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Biro Jasa Nikah Siri Maikin Marak: “Jalan Ninja” untuk Pemuas Syahwat, Dalih Selingkuh, dan Hindari Tanggung Jawab Rumah Tangga
  • Didikan Bapak Penjual Es Teh untuk Anak yang Kuliah di UNY, Jadi Lulusan dengan IPK Tertinggi
  • Toko Buku dan Cara Pelan-Pelan Orang Jatuh Cinta Lagi pada Bacaan
  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.