Sebagai kota besar di Indonesia, Surabaya dihuni oleh berbagai macam suku dan ras. Kami terbiasa dengan perbedaan dan menghargai satu sama lain. Wajar kiranya jika Surabaya pernah didapuk sebagai kota besar yang paling aman (tidak ada konflik horizontal).
Akan tetapi meskipun kami tidak suka keributan, bukan berarti kami tidak bisa kesal dan emosi. Ada beberapa hal sederhana yang sering membuat kami jengkel dan ingin menabok orang yang mengatakannnya.
#1 Dikira marah karena logat Suroboyoan
Setiap daerah di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, pasti memiliki logat atau aksen dalam berkomunikasi, begitu juga orang Surabaya. Masalahnya, logat Suroboyoan yang kami miliki memang secara intonasi cenderung tinggi dan cepat. Sehingga tak jarang kami dikira sedang emosi dan marah-marah oleh orang luar Surabaya, padahal sebenarnya tidak.
Sumpah ya, saat sedang berbicara baik-baik, saya sering kali dikira marah padahal tidak. Suara saya yang memang agak nge-bass ini kalau dicampur dengan logat Suroboyoan memang terdengar melengking tinggi. Tapi percayalah, semua orang Surabaya yang menggunakan aksen Surabaya itu tidak sedang marah, kami hanya sedang mengobrol/berkomunikasi.
Saking seringnya dikira sedang marah saat berbicara, beberapa bulan ini saya sudah latihan menurunkan dan memperlambat kalimat, tapi ya tidak bisa. Logat Suroboyoan itu kalau dipelankan dan kecepatannya dilambatkan malah nggak enak, nggak natural. Jadi, mohon pengertiannya untuk orang-orang dari daerah lain, jika mendengar kami bicara jangan langsung berasumsi kami sedang marah, ya.
#2 Dikira tidak punya sopan santun karena mengatakan “jancok”
Selain dikira pemarah, kami juga sering dilabeli tidak sopan karena sering mengatakan “jancok”. Di Surabaya, kata “jancok” atau imbuhan “cok” di belakang kalimat tidak selalu artinya marah atau kasar. Sebaliknya, imbuhan tersebut justru bisa diartikan sebagai bentuk kedekatan.
Di Kota Pahlawan, kami tidak akan langsung menggunakan imbuhan “cok” dalam struktur kalimatnya saat berbicara dengan orang yang baru dikenal ataupun orang yang lebih tua. Kami mengatakan hal tersebut ketika sudah merasa dekat saja.
Jadi, kalau kalian mendengar kami bercakap-cakap dengan kata “cok” atau “jancok” jangan terburu-buru menuduh kami tidak sopan apalagi tidak beradab, ya. Karena bagi orang Surabaya, kata dan imbuhan ini tidak melulu artinya misuh atau marah, tapi juga persahabatan.
#3 Orang Surabaya dikira tahan panas padahal tidak
Kebetulan saya adalah orang yang sering ke luar kota atau luar daerah Surabaya. Nah, kalau kebetulan daerah yang saya kunjungi panas dan saya mengeluhkan panas. Orang-orang yang tahu saya dari Surabaya sering berkata “Kamu kan tinggal di Surabaya yang lebih panas”. Lha, meskipun Surabaya memang panasnya tidak masuk akal, bisa sampai 37 derajat Celcius saat kemarau, bukan berarti kami tahan panas, ya.
Kami ini suka kesejukan, memangnya kalian kira banyak mal di Kota Pahlawan fungsinya sebagai pusat perbelanjaan? Tidak juga. Mal-mal itu sering digunakan warga untuk berteduh atau nongkrong dari terik panas matahari.
#4 Dikira semua orang Surabaya kaya
Sejak munculnya crazy rich Surabaya, image tentang banyak orang kaya di Kota Pahlawan semakin menjadi-jadi. Kalau kamu punya media sosial seperti Instagram atau TikTok, mungkin di beranda FYP-m2 sering muncul konten Surabaya adalah gudangnya gadun (laki-laki kaya hidung belang).
Saking lekatnya image orang Surabaya kaya, seorang influencer viral, Bunda Corla, pernah live Instagram di Surabaya dan berkata, “Di sini (baca: Surabaya) tidak ada orang miskin ya, rumahnya besar-besar.” Masalahnya, Bunda Corla menginap di kawasan Surabaya Barat, ya wajar rumahnya besar-besar. Kalau Bunda Corla tinggalnya di kawasan Kenjeran ya mungkin beda lagi ceritanya.
Surabaya memang memiliki UMR yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kota di sekitarnya, tapi bukan berarti orang di sini kaya semua. Sebaliknya, kesenjangan ekonominya sangat tinggi. Ada orang Surabaya yang bisa jalan-jalan ke Singapura setiap hari dengan tas mewah dan rumahnya mewah sekali di Citraland atau Dharmahusada. Tapi banyak juga yang hanya tinggal di rumah petak atau kontrakan yang sempit dan pengap.
Jadi, tolong jangan menyamaratakan semua orang Surabaya kaya, ya. Takutnya wali kotanya jumawa dan justru tidak malakukan program-program meningkatkan kesejahteraan rakyat karena merasa warganya sudah pada kaya seperti kata netizen.
#5 Dikira makhluk aneh oleh warga Jakarta
Jika berkunjung ke Jakarta, orang Surabaya memang cenderung berbicara dengan logat kedaerahannya. Kami juga tidak bisa otomatis mengatakan “lo” dan “gua”, tapi tetap menggunakan kata “kamu” dan “aku”. Entah kenapa, kata tersebut sering membuat warga Jakarta menertawakan kami. Seolah-olah kami ini alien atau mahluk aneh lainnya. Padahal apa salahnya mengatakan “kamu” dan “aku”?
Kami hanya tidak terbiasa dengan bahasa Jakarta, kalau dipaksakan justru tidak akan enak didengar. Kami sangat bangga dengan logat Suroboyoan yang kami punya. Jadi, biar sama-sama enak, mari menghargai cara berkomunikasi masing-masing. Tidak ada satu bahasa yang lebih baik dari bahasa lainnya dan tidak ada satu pun logat yang lebih baik dari logat lainnya. Begitu kan seharusnya.
Itulah hal-hal sederhana yang membuat saya sebagai warga Surabaya merasa cukup jengkel dan kesal. Meski terlihat sederhana, tapi hal-hal seperti itu tidak boleh dinormalisasi, ya.
Penulis: Tiara uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Membayangkan Surabaya Sejuk kayak Malang, Jadi Kota Idaman Atau Masalah Baru?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















