Mahasiswa dan tugas presentasi itu nggak bisa dipisahin.
Semua sudah mafhum bahwa proses belajar mengajar saat duduk di bangku sekolah (SD/SMP/SMA Sederajat) tentunya sangat berbeda dengan yang ada di Perguruan Tinggi. Sepengalaman saya, Ketika duduk di bangku sekolah, para siswa lebih pasif dalam proses belajar mengajar: Alias siswa lebih banyak mendengarkan guru. Beda cerita saat masuk ke dunia perkuliahan, mahasiswa-lah yang dituntut lebih aktif dalam proses belajar dan mengajar. Mungkin karena perubahan status kali, ya? Dari yang cuma siswa ketambahan maha di depannya.
Beberapa perbedaan dzhahiran (yang tampak) antara siswa dan mahasiswa yang paling mencolok antara lain:
Pertama, model berpakaian. Sebagian kampus dalam mengatur cara berpakaian mahasiswanya biasanya bebas asal sopan. Sedangkan siswa, hampir tak terkecuali semuanya wajib berseragam, mulai ujung kaki sampai ujung rambut.
Kedua, jam masuk. Mahasiswa diberi kelonggaran dalam hal menentukan jadwal masing-masing melalui pengisian KRS (kartu rencana studi) di awal semester. Di situ mereka bebas mengatur jadwal, jam, kelas kuliahnya sendiri, termasuk bebas memilih dosen killer (kalau mau). Sedangkan siswa, semua sudah ditetapkan, mulai jam masuk, kelasnya, dan gurunya. Beruntunglah para siswa yang sekolahnya belum atau tidak menerapkan full day school, kalian bisa bertualang dan bermain di kebon-kebon layaknya si Bolang.
Ketiga, penyajian materi. Ini point paling penting dan di atas sudah saya singgung sedikit. Intinya, proses pembelajaran yang dikehendaki dalam bangku perkuliahan itu harus terjadi yang namanya dialog-dialektika, tidak monolog seperti waktu sekolah. Mahasiswa dituntut aktif melalui presentasi menjelaskan makalah di depan teman-temannya sendiri. Sementara dosen berperan sebagai fasilitator saat diskusi kelas berlangsung dan menegur bila terjadi kesesatan yang terlampau ekstrem.
Alih-alih presentasi jadi tolok ukur perbedaan paling fundamental-substansial antar keduanya (siswa-mahasiswa). Namun, bagaimana jadinya kalau mahasiswa saat presentasi cuma membacakan ulang makalah? Lalu, apa bedanya dengan siswa TK yang sedang belajar mengeja bacaan?
Duh, gimana ya? Sama temen sendiri kadang nggak enak juga kalau menegurnya langsung. Namanya aja orang Jawa, rasa pakewuh (nggak enak hati atau takut menyinggung) dalam hal apa pun pasti sulit dihindari. Apalagi pas presentasi, di depan orang banyak.
Tapi ya, masak selama 4 semester saya kuliah, mahasiswa yang presentasinya dengan betul-betul menjelaskan bisa dihitung jari? Padahal, dengan adanya presentasi makalah para mahasiswa dilatih untuk mengasah public speaking-nya sebagai sarana terjun payung kelak. Eh terjun ke masyarakat, ding. Sesuai semboyannya, agent of change, iron stock, agent social control, atau apalah itu. Rasanya sulit terwujud jika salah satu prasyaratnya (public speaking) belepotan.
Mulai dari awal sebenarnya saya udah sebel. Bagaimana tidak? Materi makalah biasanya di-share ke grup kelas beberapa hari sebelum dipresentasikan. Niat hati supaya ketika sampai kelas bisa berdiskusi & berdialektika. Saya pelajari dahulu materi makalah tersebut, dalam mempelajari otomatis kan kita juga udah baca makalahnya, toh. Lah kok jebul tekan kelas dibacain ulang.
Kalau sambatan e Agus Mulyadi, “Duh Gusti… Paringono ekstasi.” Yo mabuk lho, Gus!
Mendapati spesies presentator demikian, seketika mood bertanya pun runtuh apalagi berharap tercipta ruang diskusi-berdialek dalam kelas. Duh, persis harapanku padamu, Dek, yang hanya kau anggap angin lalu.
Mungkin saja para presentator yang cuma membacakan makalah itu nggak tau aturan mainnya. Bisa jadi mereka mengira bahwa makalah juga harus dibacakan layaknya membaca puisi atau khotbah Jumat yang mana tidak perlu ada sesi tanya jawab. Kan nggak lucu tiba-tiba di tengah khotbah Jumat kemudian ada yang interupsi pengin bertanya? Bisa-bisa dicap sinting kalian nanti.
Kalaupun anggapan demikian benar, lalu untuk apa ada presentasi? Toh nggak akan ada yang bertanya, dialektika, adu argumen, dst, sebab sedari awal udah malas menanggapi pemakalah yang cuma membacakan ulang makalahnya.
Tentu bukan perkara mudah untuk mengubah kebiasaan para presentator yang sekadar membaca makalahnya saja, ibarat dosa tujuh turunan. Supaya kebiasaannya berubah, kamu harus jadi turunan kedelapan. Kadang saya bertanya menelisik, siapa sih sebenarnya pemrakarsa presentasi model begini? Duh, bakal jadi amal jariyah, tuh. Tapi entah baik atau nggak.
Untuk mengubah kebiasaan ini saya rasa perlu adanya sinergi antara mahasiswa dengan dosen. Mungkin saja para bapak dosen sampai merasa hal tersebut seakan sudah lumrahnya begitu, sambil geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Sembari diam-diam mengingkari presentator model demikian lantaran, “Apa boleh buat coba? Dari kakak-kakak tingkatmu kalau presentasi ya macam ini, sudah ditegur berkali-kali ya tetap begini.”
Dari sisi mahasiswanya, “Ah pokoknya presentasi.” Kata “pokoknya” tersebut bermakna, bagaimanapun caranya, entah makalahnya hasil copas, saat presentasi ya dibaca. Atau hanya maju ke depan setor wajah, ya pokoknya yang penting presentasi.
Andai kalian tahu, sebenarnya dalam relung lubuk hati kami (para audiens presentator) yang terdalam, kami berangkat ke kampus itu membawa secercah harapan agar masa depan kami lebih cerah. Berharap di kelas bisa diskusi dan berdialektika dengan kalian (presentator/pemakalah) sebagai bekal hari esok agar lebih baik dari hari ini yang kos-kosan, air, dan listrik pun telat membayarnya.
Dear, presentator atau pemakalah. Harapan kami sebetulnya nggak ribet-ribet amat. Cukup kalian punya persiapan se-perfect mungkin sebelum presentasi. Supaya ketika kalian mempresentasikan makalahnya, tidak dengan membaca! Meski nantinya pas njelasin plegak–pleguk, tapi kami tetap menghargai usaha kalian dengan tidak membacakannya ulang pada kami. Kita, tuh, sudah mahasiswa, bukan siswa TK lagi, ya.
BACA JUGA Terberkatilah Para Tukang Presentasi Tugas Kuliah Snob atau tulisan Rusda Khoiruz Zaman lainnya.