Tulisan ini hanya berdasarkan perspektif dan pengalaman hidup saya saja dan siapa tahu rezeki pembaca tulisan ini tidak sama dengan saya. Mungkin lebih baik atau mungkin lebih sulit. “Ah nggak tuh, sebelum wisuda aja gue udah dapat kerja” atau “Ini mah masih enak, gue udah punya ijazah tapi nganggur sampe hampir 2 tahun.”
Mari kita mulai dengan sedikit menceritakan profil saya yang “terlihat lumayan” untuk perspektif mahasiswa yang belum selesai skripsinya setelah 6 tahun maba. Kuliah sarjana dan magister dapat saya tempuh hanya dalam tempo 5 tahun. Tapi, apakah status dan ijazah di tangan akan membantu? Ternyata TIDAK, saya yang tidak punya skill dan pengalaman kerja mumpuni ini hanya menjadi beban keluarga hampir 1 tahun dengan predikat “magister kok belum dapat kerja”.
Fase pertama, 2 bulan setelah lulus dan menerima ijazah
Luar biasa sekali perasaan di dalam hati. Tiap detik, jam dan hari, mulut saya rasanya kaku karena kebanyakan cengengesan sendiri. Gimana tidak full senyum, kerjaan saya hanya bermain dan tidur tanpa ada beban.
Sesekali saya main ke kampus sambil bercengkrama dengan teman-teman yang belum pada lulus. Rasanya menyenangkan sekali bisa ke kampus tapi tidak memikirkan tugas kuliah, hanya bermain, mengobrol, dan pastinya jajan di kantin.
Di fase ini sebenarnya saya juga apply kerja. Namun masih belum serius, sehingga hanya mendapatkan dua kali panggilan tes kerja yang tentu saja semuanya gagal. Dan apakah saya sedih? Tentu tidak karena saya masih sibuk bermain padahal ijazah di tangan tapi tetap pengangguran.
Fase Kedua 2-4 bulan setelah kelulusan
Fase ini membuktikan bahwa kehidupan monoton ternyata bisa bikin bosan juga. Mulai timbul kekhawatiran dan perasaan gelisah bagaimana karier saya ke depan? Apakah tetap menjadi pengangguran yang tidak berguna? Di fase ini saya sudah mulai aktif mengikuti job expo, dan tentunya membuat akun apply kerja seperti JobStreet atau jobsDB. Sesekali memantau pergerakan media sosial jika ada open recruitment perusahaan multinasional atau BUMN.
Usaha ini sukses membuat saya dipanggil mengikuti berbagai macam tes kerja di berbagai perusahaan. Bakan sudah sampai psikotes dan wawancara. Dalam seminggu, saya bisa satu atau dua kali mengikuti tes kerja. Tapi hanya tes saja dan tidak pernah diterima. Ijazah saya makin terlihat nggak berguna.
Fase ketiga, 4-6 bulan setelah kelulusan
Percayalah, buat laki-laki yang memiliki ijazah tapi nganggur selama 6 bulan itu sangat membuat frustasi. Tiba-tiba saja circle pertemananmu terasa mengecil, ada yang sudah lulus dan pulang kampung, ada pula yang sudah bekerja bahkan sibuk mengurus keluarga. Tentu mereka memiliki kesibukan yang lebih berfaedah daripada sekadar nongkrong bersama pengangguran seperti saya. Di fase ini saya sudah sangat malu untuk berjalan-jalan tidak jelas atau nongkrong di kampus.
Ketakutan sesungguhnya adalah ketika bertemu seseorang dan menanyakan: sudah lulus kan? Kerja di mana sekarang? Seandainya dahulu saya sudah mengenal pasar saham atau kripto pasti saya tinggal bilang, sibuk trading online. Sayangnya di zaman itu, gopay saja belum ada apalagi mengenal trading online.
Seketika saya menjadi makhluk paling antisosial yang hanya suka menatap laptop dan berharap notifikasi email panggilan kerja. Kehidupan terasa gelap, bermain terasa hambar, mengobrol dengan orang terasa garing dan memiliki pacar ketika menganggur adalah sebuah bencana.
Saya menjadi lebih sering bertengkar dengan pacar karena masalah sepele dan menjadi lebih sensitif jika ada yang menanyakan ‘Kok belum dapat kerja?” Hubungan dengan orang tua juga menjadi jauh karena malu jika melihat wajah mereka atau mendengar suara mereka di telpon yang lirih menanyakan kabar.
Fase keempat, 6-8 bulan setelah lulus
Percayalah ini adalah fase terberat ketika menganggur padahal pegang ijazah. Seketika hidup berubah menjadi sangat suram. Uang jajan dikurangi orang tua karena mereka sudah masuk masa purnabakti. Hal yang wajar memang, malah yang tidak wajar adalah saya yang sudah dewasa dan lulus kuliah tapi masih mengharap uang jajan dari orang tua.
Keadaan semakin parah ketika saya gagal di open recruitment salah satu perusahaan BUMN yang paling ingin saya masuk di antara seluruh perusahaan di Indonesia. Masih teringat di memori saya, salah satu pewawancara memberi nasihat seakan saya sudah gagal walaupun belum pengumuman.
“Mas, nanti kalau tidak diterima di sini jangan sedih. Saya lihat psikotes mas bagus-bagus saja. Cuma kayaknya Mas lebih cocok kerja di lingkungan ilmiah atau industri kreatif, soalnya pola pikir Mas saya lihat tidak cocok buat pekerjaan yang aplikatif di sini.”
Kalimat itu benar-benar menghancurkan saya. Di masa itu, saya belum memahami bahwa sebenarnya beliau sedang memberikan nasihat dan motivasi. Tapi, saya sudah terlanjur kecewa. Apalagi 2 minggu kemudian saya benar-benar tidak lolos tahap akhir. Saya sempat merasa kalau ijazah saya itu nggak ada gunanya.
Bak tersambar petir lalu tertimpa gajah, pacar saya juga pergi meninggalkan saya. Lebih sesaknya, dia langsung punya pacar baru. Yah walaupun setelah beberapa lama saya sangat mensyukuri dia telah pergi meninggalkan saya. Namun saat itu, pikiran saya benar-benar kacau, berat saya yang 71 kilogram dalam tempo kurang 10 hari sudah menjadi 62 kilogram.
Fase Kelima, 8-10 bulan setelah kelulusan
Di fase ini saya sudah tidak mau tahu dengan dunia kerja. Saya menghabiskan uang saya untuk traveling ke berbagai kota. Bahkan saya pernah mencoba traveling ke Kuala Lumpur padahal kantong benar-benar tipis.
Selain itu, saya “terpaksa” untuk lebih dekat kepada ALLAH SWT. Saking tidak punya kerjaan, saya bisa 5 waktu salat ke masjid. Dan ini seumur hidup baru saya lakukan ketika jadi pengangguran. Puasa Senin-Kamis juga saya lakukan dengan niat awal supaya hemat, namun setelah dijalani badan dan pikiran terasa nyaman juga.
Di fase ini, saya mulai menjalin silaturahmi kembali dengan relasi yang saya dahulu hindari. Tidak disangka, ketika saya sudah tidak pernah lagi apply kerja, salah satu relasi saya mengajak saya untuk ikut bekerja di kantor konsultan SDM-nya yang baru berdiri 1 tahun. Karena masih berbentuk konsultan kecil, tentu karyawannya tidak banyak dan beliau mengajak saya tanpa melalui proses recruitment.
Setelah mendapatkan pekerjaan, pikiran saya mulai fresh. Tawaran mengajar juga lumayan berlimpah padahal saya tidak pernah melamar. Namun, setelah satu tahun bekerja saya penasaran juga dengan tes CPNS. Yah coba-coba saja setelah itu dan alhamdulillah diterima. Ijazah saya jadi agak berguna.
Penulis: Mochammad Wahyu Ghani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Manfaat Tersembunyi dari Jadi Pengangguran.