Gelar akademik dicantumkan di medsos itu nggak masalah. Tapi, ingat, blunder itu nyata
Mempunyai kesempatan untuk menempuh studi merupakan hak istimewa yang patut disyukuri. Pasalnya, tak semua orang bisa memperoleh kesempatan tersebut. Bukan hanya masalah otak, biaya juga kerap kali menjadi halangan. Mau nguber beasiswa pun, persyaratan dan saingannya membludak. Dengan demikian, probabilitas untuk mencicipi bangku kuliah dengan bantuan beasiswa, boleh dibilang sangat kecil.
Makanya, banyak orang yang bersyukur banget ketika keterima dan lulus. Euforia mereka harus dimaklumi. Selama nggak berlebihan, nggak perlu dinyinyirin. Keterima susah, lulus jauh lebih susah. Hal itu bikin orang kadang memilih mencantumkan gelar di namanya.
Kalau dulu, pencantuman gelar biasanya dilakukan pada undangan pernikahan, fenomena ini kemudian merambah ke media sosial. Tidak jarang, dengan mudah kita bisa menemukan warganet yang mencantumkan perolehan gelar akademis di depan atau belakang nama mereka.
Sah-sah saja, benar. Tidak ada undang-undang yang melarang. Terlebih, jika memang institusi tempat orang-orang yang mencantumkan gelar tersebut mewajibkan pekerjanya untuk menulis di akun media sosial mereka, entah apa tujuannya. Bisa dimaklumi juga kalau pencantuman gelar tersebut karena mempunyai misi tertentu seperti personal branding. Biasanya ini dilakukan pada mereka yang bekerja sebagai self-employee dan menjadikan akun media sosial mereka sebagai akun bisnis.
Aneh sih, tapi masih bisa dimaklumi.
Namun, tak perlu menampik juga kalau memang ada orang-orang yang seolah ogah rugi. Sudah bayar mahal buat kuliah, percuma, dong, kalau followers mereka nggak tahu? Apalagi kalau gelarnya terbilang punya gengsi tinggi di mata masyarakat. Kalau perlu, sekalian pula cantumkan alumni mana, gitu. Semakin panjang gelar dan semakin tersohor perguruan tingginya, semakin tinggi pula kebanggaan yang dirasa.
Tentu saja, tradisi tersebut akan dibuntuti risiko yang mau tak mau kudu siap diterima. Apalagi kalau bukan sindiran warganet nyinyir kayak saya ini. Hehehe. Terlebih, kalau akun media sosial yang diberi gelar sepanjang rel kereta api tersebut tak lebih dari akun pribadi yang hanya dipakai untuk posting selfie atau aktivitas harian. Lalu, gunanya pangkat atau gelar itu buat apa? Mau dibilang buat menggaet calon konsumen, kok, nggak selaras sama kontennya.
Apalagi jika akun tersebut malah nyinyirin orang, dan bawa-bawa gelar akademik yang ia punya. Lha itu baru wajib dinyinyirin. Kalau logikanya masuk mah gapapa, lha kalau nggak? Kagak malu tuh sama gelar?
Maaf-maaf saja, sih. Jika akun medsos yang menampilkan gelar akademik tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan, orang yang melihat bisa menilai bahwa si empunya akun gila pengakuan dan overproud akan pencapaian.
Betul, bahagia orang itu beda-beda. Flexing sudah jadi hal yang biasa. Yang perlu digarisbawahi, pencantuman gelar pastinya akan diikuti oleh tanggungjawab yang besar juga. Nggak lucu, misal suatu kali terlibat debat kusir alias tubir di dunia maya, institusi serta prestasi akademis kita ikut terseret dan dijadikan peluru bagi netizen untuk menyerang balik seperti kejadian yang sudah-sudah.
Lagian kalau overproud sama gelar akademiknya ya, rasanya aneh banget. Kan yang kuliah bukan cuman dia doang. Yang punya gelar master kan bukan dia doang gitu lho. Bukan menegasi usaha dia ya, tapi kalau jadiin gelar sebagai “senjata”, rasanya kurang pas gitu lho.
Bebas aja kalian mau cantumin gelar akademik di medsos kalian. Tapi, ingat konsekuensinya. Potensi kita blunder di medsos itu besar banget, sedangkan manusia tempatnya bikin salah. Jadi, baiknya main aman aja. Pamerkan gelar akademik ke saudara atau tetangga yang banyak omong aja, biar diem, ketimbang di medsos yang nggak peduli kalian bergelar apa, ya nggak?
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kenapa Ada Orang yang Begitu Ambisius Hingga Punya 13 Gelar Akademik?