Salah satu pertanyaan yang seringkali saya jumpai ketika berkuliah di Jogja adalah perihal uang panai’. Bukan hanya terjadi di ruang kuliah dengan dosen atau teman-teman di kampus, namun hal ini juga terjadi setiap kali saya berjumpa dengan orang baru yang tidak berasal dari Sulawesi. Di meja-meja warung kopi misalnya, tidak terbilang sudah berapa orang yang begitu antusias menanyakan tentang uang panai’ begitu mengetahui bahwa saya merupakan perempuan Bugis tulen asli Bone.
Pembahasan uang panai’ seperti tidak akan mencapai masa berakhirnya. Hal ini akan terus ada selama masyarakat Bugis-Makassar terus berkembang biak, berketurunan, dan menanamkan nilai-nilai tradisi yang terdapat dalam suku mereka. Dan akhirnya, pada awal Juli kemarin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel membahas tentang uang panai’ dan mengeluarkan fatwa yang berlaku sejak hari itu juga.
Dalam fatwa MUI Sulsel, akhirnya diputuskan bahwa uang panai’ sifatnya mubah (boleh) selama tidak menyalahi prinsip syariah. Prinsip syariah yang dimaksud dalam uang panai’ adalah mempermudah pihak pria, memuliakan wanita, tidak manipulatif, jumlahnya dikondisikan secara wajar dan tidak memaksakan, merupakan bentuk komitmen, serta sebagai bentuk tolong-menolong dalam rangka menyambung silaturahim.
Maka sudah jelas bahwa uang panai’ yang dipaksakan, membuat pihak calon mempelai pria harus menjual harta bendanya ataupun meminjam uang ke bank, tidak sesuai prinsip syariah. Setidaknya demikianlah yang dapat disimpulkan dalam fatwa MUI tersebut. Batasan dibuat agar tak ada yang “tersiksa”.
Namun, bagaimana kenyataan yang terjadi di lapangan? Mengapa sebenarnya masyarakat Bugis-Makassar masih melanjutkan tradisi ini meskipun sudah banyak korban yang berjatuhan?
Saya tak kaget jika mendengar ada sepasang kekasih gagal menikah karena uang panai’. Saya bahkan mengenal beberapa pasangan yang harus kandas karena hal tersebut.
Pada 2015 lalu, teman saya bercerita bahwa ia batal menikah dengan pria yang dikenalnya. Ketika saya tanya mengapa, ia mengungkapkan bahwa pihak keluarganya tidak menyetujui jumlah uang panai’ yang diajukan calon mempelai pria. Hari itu saya tertohok. Bagaimana mungkin perasaan cinta sepasang kekasih bisa diabaikan begitu saja hanya karena perkara sejumlah uang?
Ketika adik saya menikah dan memberikan uang panai’ sejumlah lima puluh lima juta rupiah kepada calon mempelai wanitanya, beberapa karung beras, gula, dan terigu, semua orang terlihat begitu bahagia. Mama saya bahkan mengungkapkan rasa syukurnya sebab keluarga pihak wanita tidak mengajukan “harga” yang lebih tinggi. Sampai di situ tidak ada masalah sama sekali, semua pihak mencapai kesepakatan yang menyenangkan. Namun saat menjelang acara pernikahan, ketika orang-orang mulai ramai berkunjung ke rumah untuk membantu dalam mempersiapkan acara pesta, masalah mulai datang.
Misalnya ketika seorang tamu calabai tiba-tiba menghampiri saya yang sedang duduk di bawah terowongan sembari menyaksikan para Wedding Organizer (WO) menghias panggung pengantin. Tanpa aba-aba sebelumnya, ia langsung saja menodongku dengan pernyataan bahwa besok atau lusa ketika saya menikah, acaranya harus lebih megah dari pesta pernikahan adikku, dan tentu saja uang panai’ yang saya dapatkan harus lebih besar dari jumlah yang pernah diberikan adik saya pada calonnya. Pertimbangannya karena saya adalah kakak maka saya harus mendapat lebih banyak lagi, dan tentu saja karena saya akan mendapatkan gelar master.
Apa yang dikatakan calabai tersebut barangkali banyak benarnya, setidaknya apabila kita membicarakannya di kalangan orang tua Bugis-Makassar. Sayangnya saya bukan orang tua, dan saya tidak pernah mematok “harga” tertentu untuk diri saya sendiri. Apalagi harus membawa status sosial ataupun tingkat pendidikan yang saya capai.
Namun, mari kita kembali ke pertanyaan saya sebelumnya tentang alasan di balik tradisi menyiksa ini yang masih terus berlanjut hingga sekarang. Tidak ada jawaban lain kecuali gengsi yang begitu tinggi di kalangan orangtua Bugis-Makassar, gengsi yang sulit dikikis sebab tidak ada yang berani memulainya.
Seolah-olah bahwa setiap kali perempuan Bugis-Makassar menikah, maka harus selalu ada uang panai’ yang diberikan padanya. Sejumlah uang yang hanya dianggap dapat mempertahankan gengsi ataupun mengangkatnya apabila memenuhi standar pada umumnya masyarakat. Oleh karena itu apabila jumlahnya di bawah standar, atau justru tidak ada sama sekali, kamu perlu bersiap kehilangan muka, dan tentu saja siap sedia jika dituduh hamil duluan.
Tapi tentu saja tradisi menyiksa ini akan terus berlanjut apabila tidak ada yang mau memulai untuk menurunkan gengsinya, bukan? Apabila setiap kita hanya menunggu orang lain untuk memulainya, lalu sampai kapan kita harus menyiksa diri? Oleh karenanya saya tidak lagi menunggu, namun langsung memulainya dari diri sendiri.
Seorang perempuan Bugis menikahi laki-laki Jawa tanpa mewajibkan pihak lelaki membayar sejumlah “harga” yang sudah ditentukan.
Perempuan Bugis itu adalah saya.
Penulis: Hasvirah Hasyim Nur
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Alasan Mengapa Persepsi Uang Panai’ Mahal Itu Wajar