Saya punya usul jika pernyataan Pak Muhadjir tempo hari tentang “gaji guru honorer yang sedikit dibalas dengan imbalan surga” diganti begini; tidak ada gaji di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. Kalimat itu jauh lebih adem karena setidaknya ada unsur Gus Dur yang sampai saat ini menjadi panutan putera-puteri terbaik Indonesia.
Persoalan pendidikan mungkin menjadi masalah yang nggak penting-penting amat di Indonesia. Apalagi guru honorer di sekolah swasta kecil nan terpencil, gaji mungil, dengan murid-murid yang ‘agak’ jail; nggak akan jadi topik yang menarik. Ditambah lagi saya menulis artikel ini agak terlambat sebab kemarin-kemarin direpotkan dengan beban administrasi guru yang nggak memajukan malah memundurkan kinerja.
Sebelumnya, agar tidak ada yang melabeli saya sebagai sobat gurun saat membaca judul ini, saya mau menekankan bahwa saya ini perempuan yang kalo duduk kakinya suka dinaikkan ke kursi. Tentunya muskil dong, kalau saya pakai cadar. Hehehe.
Selama beberapa tahun menjadi guru, saya memang tidak pernah menempatkan persoalan gaji yang rendah sebagai persoalan utama para guru sekarang. Maklum, saya masih single, uhuk! Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana dengan guru honorer yang harus menghidupi banyak kepala? Saya agak miris walaupun segera saya tepis dengan pikiran “InsyaAllah barokah, rejeki sudah ada yang ngatur”.
Lah, itu kalau saya yang berbicara di dalam hati boleh dong, menjadikan agama sebagai pondasi saya dalam mengabdi di jalan pendidikan. Itu pun saya beraninya cuma bicara di dalam hati sebab takut menyinggung perasaan guru-guru yang benar-benar terhimpit bahkan harus nombok buat kebutuhan pembelajaran kayak Mbak Aprillia Kumala di tulisannya.
Nah ini seorang Pak Muhadjir Effendi, negarawan sekaligus senior aktivis di kampus saya, bisa-bisanya menyarankan guru ikhlas digaji surga. Bawa-bawa dalil agama adalah kemacetan berpikir pemerintah. Meskipun saya tahu memang mungkin tujuan Pak Muhadjir mulia; untuk mengajak guru-guru ikhlas mengabdi.
Kalau memang guru jelas digaji surga, saya pengennya usul kalau Pancasila cukup sila Ketuhanan saja. Idealnya, orang yang bertuhan sudah tentu berkemanusiaan, bersatu, serta bermusyawarah untuk mencapai keadilan. Tapi kan, tapi kan…
Negara didirikan bukan untuk barang bercandaan, Pak. Pendidikan adalah salah satu tujuan fundamen negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak boleh diganggu gugat. Mensejahterakan guru adalah bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa. Ngoten nggih, Bapak dan Ibu menteri?
Bapak dan Ibu menteri pernahkah turun dan menyaksikan langsung di sekolah-sekolah kami yang agak nggak menarik ini? Ada semacam inferiority complex yang dialami oleh kami yang berhadapan dengan murid yang lebih kaya dan parlente, sementara mereka dekil dan miskin. Oleh karena itu, kenapa banyak terjadi guru tidak berani berekspresi di dalam kelas sebab takut diprotes, dilaporkan ke dinas, bahkan dipenjarakan oleh orang tua siswa.
Saya berikan gambaran lain yang agak menyeramkan saat saya menjadi seorang guru honorer di sebuah sekolah negeri. Para guru honorer di sekolah negeri, selain berjuang dengan keterbatasan dana, mereka juga mengalami kesenjangan sosial dengan guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara alias PNS.
Betapa nelangsa saat saya bersama guru honorer lainnya diperas tenaganya sedangkan guru PNS cukup memantau dengan dalih “saatnya yang muda yang turun tangan”. Kejadian seperti itu sih masih biasa, namun yang menjadi heran saya, sebagian besar dari guru PNS tersebut tidak mencerminkan integritas yang tinggi sebagai guru.
Berdasarkan kenyataan yang saya temui di lapangan, guru PNS yang gajinya tergolong tinggi, tidak suka membelanjakan gajinya untuk bahan-bahan informasi seperti buku, majalah, dan lain sebagainya untuk meningkatkan wawasan mereka. Sebaliknya, mereka lebih suka membelajankan gajinya untuk kebutuhan konsumtif seperti baju, makanan, dan skinker dengan harga jutaan rupiah. Jiwa miskin ini menjerit gitu loooooch!1!1!1!1!
Tahu kan bapak dan ibu menteri sekarang, kalau kebijakan gaji-menggaji tidak sekedar mentok di masalah nominal semata tapi juga alokasi yang tidak merata. Sekaligus tidak ada perbaikan mutu pendidikan sebab gaji guru PNS tidak dialokasikan untuk keperluan penunjang wawasan.
Andaikan Bapak dan Ibu menteri mengikuti reality show “jika aku menjadi” kemudian bertukar posisi dengan kami sebagai guru honorer, sanggup?
Tolong stop marjinalisasi guru dalam pembangunan nasional, wahai pemerintah!
Biar pun guru honorer mendapat gaji yang horor, perut kosong tidak membuat kami berhenti berpikir. Apakah memarjinalkan guru adalah usaha kooptasi terhadap kekuatan rakyat yang dilakukan secara sistemis agar tidak menimbulkan perlawanan terhadap penguasa?
Wallahu’alam bishawab nggih, Pak Muhadjir? Setidaknya hati saya tenang karena kelak saya sudah punya kaplingan surga.Amin~
BACA JUGA Guru Honorer: Dilema Antara Cinta Mengajar dan Pendapatan dan tulisan Bibah Pidi lainnya.