Meskipun kerap dianggap sudah tidak relevan, TV dan program-programnya beberapa kali malah menyuguhkan hiburan yang tetap mengasyikkan. Beberapa acara entah itu sinetron, reality show, atau bahkan acara talkshow juga pernah mengambil hati banyak orang. Tidak banyak acara, memang, tetapi ada lah satu atau dua yang membuat kita kembali menyalakan TV lagi. Salah satunya adalah FTV, yang dulu (nggak tahu kalau sekarang) selalu menyuguhkan hiburan yang menyenangkan.
Kalau bicara FTV, rasa-rasanya kok seperti ada ruang tersendiri di hati kita. Kita pernah disuguhi banyak sekali FTV dengan cerita-cerita yang menarik, dan menggugah hati. Ya, meskipun ceritanya berkutat di urusan cinta-cintaan, tapi itu malah jadi daya tarik tersendiri. Memang cerita FTV ini tidak sebagus film. Namun, ia juga tidak se-membosankan dan se-lebay sinetron. Jadi, untuk “barang konsumsi”, FTV ini berada dalam porsi yang pas, lah.
Dulu, sekitar sepuluh sampai dua belas tahun lalu, FTV pernah merajai televisi kita. Dalam satu hari, bisa tiga sampai empat FTV yang bisa tayang. Biasanya, ia tayang pada jam 10 pagi, 1 siang, dan 10 malam. Bahkan ada juga beberapa FTV yang tayang pukul 8 pagi. Tentu yang paling favorit biasanya FTV jam 10 malam karena biasanya ia punya setting atau latar belakang cerita di Bali atau di Jogja.
Seperti kita tahu, Bali dan Jogja ini adalah lokasi favorit untuk cerita FTV. Tidak perlu ditanya alasannya karena kedua tempat ini punya ciri khas tersendiri. Seperti ada kekhasan yang membuat sebuah FTV berbeda dari FTV-FTV dengan setting lain. Meskipun hanya sebatas ornamen untuk memperindah cerita, tapi kekhasan yang dimiliki Bali dan Jogja ini mampu mengubah cerita FTV ynag tadinya receh, menjadi sedikit lebih “keren”.
Selain bahasa atau logat, ada banyak sekali hal-hal yang bisa digali dari kedua tempat tersebut. Bali dengan ornamen bangunannya yang memperkuat cerita, atau dengan kultur “anak pantai” yang sedikit mengangkat cerita receh FTV. Jogja pun sama, bisa mengangkat berbagai macam kekhasan seperti angkringan, Malioboro, atau busana Jawa untuk memperkuat cerita. Agak berbau romantisasi, sih, tapi ya setidaknya ada unsur lokalitas yang dibawa, lah. Meskipun sepertinya, ini sudah tidak relevan lagi sekarang.
Bali dan Jogja sebagai setting berbagai macam cerita FTV juga membuat saya “jatuh cinta” dengan FTV. Dulu, semasa saya SMP dan awal SMA, saya cukup sering menonton TV. Selain untuk menonton sepak bola dan Upin Ipin, tujuan lain adalah untuk menonton FTV. Biasanya, saya menunggu FTV yang tayang pada pukul 10 malam.
Lantaran saya sering memutar FTV baik yang baru atau lawas, saya sampai hafal beberapa pemainnya. Masih ada Ben Joshua, Vino G. Bastian (saat itu masih sering main FTV), Prisia Nasution, Kadek Devie, hingga Bunga Zainal. Kalau berlatar Bali, kisah cintanya tentu tidak jauh dari urusan pantai. Kalau di Jogja, ya sudah tentu Malioboro, penjual angkringan, atau kusir andong. Tidak jauh-jauh dari itu, lah.
Di zaman sekarang, rasa-rasanya kok ya jarang ada FTV semacam ini lagi. Entah trennya sudah berbeda atau memang TV sudah tidak butuh tayangan FTV lagi untuk menaikkan rating. Saya tidak tahu. Namun, sebagai penonton FTV yang duu pernah addict, saya masih merindukan FTV berlatar Bali atau Jogja. Persetan soal romantisasi, yang penting ceritanya bagus.
Sumber Gambar: YouTube Surya Citra Televisi (SCTV)
BACA JUGA 7 Tahap Menciptakan Alur Cerita FTV Khas SCTV dan tulisan Iqbal AR lainnya.