Mayoritas orang saat mendengar kata cinta, pikirannya otomatis membayangkan hal-hal yang bisa bikin senyum-senyum sendiri. Pun demikian dengan saya. Kata cinta tampaknya memang identik dan selalu mengarah pada keindahan dan kebahagiaan; dan hal tersebut telah tertancap kuat di alam bawah sadar kita.
Bicara soal cinta, ada banyak kisah yang sering diceritakan dalam ceramah/kajian, buku, juga rutinitas rumpi emak-emak. Beberapa kisah cinta yang cukup banyak disinggung misalnya Romeo dan Juliet, Habibie dan Ainun, Nabi Muhammad dan Aisyah, Ali dan Fatimah, tak ketinggalan pula Andin dan Aldebaran. Bagi kita, alih-alih semua kisah tersebut memberi inspirasi, justru kisah-kisah termaktub membuat kita berkhayal dan berharap kisah cinta kita bisa sama dengan kisah mereka—setidaknya salah satunya. Artinya, bukan hikmah yang terkandung dalam semua kisah tersebut yang kita petik, kita sebatas mengambil kulit luarnya.
Kembali pada cinta-keindahan-kebahagiaan. Meskipun mereka bertiga (nampak) identik dan tak bisa dipisahkan, nyatanya tak semua karier cinta setiap orang mengarah pada keindahan dan kebahagiaan. Buktinya, ada beberapa individu yang—bukan karena keinginannya—harus menempati posisi sebagai pelarian orang lain. Tentu hal tersebut bukan hal yang indah dan membahagiakan, apalagi membanggakan. Kendati demikian, kalian tahu nggak sih kalau menjadi seorang pelarian itu ada aturannya juga. Nah, karena sudah banyak yang menulis tentang panduan menjadi pasangan yang baik, maka pada kesempatan kali ini saya akan memberikan panduan untuk menjadi seorang pelarian yang baik (santun dan berwibawa).
Pertama, bersyukur
Ha? Jadi pelarian kok bersyukur sih? Lha emang mau ngapain lagi kalau nggak bersyukur? Diratapi, disesali, ditangisi sebanyak apapun juga nggak akan memperbaiki keadaan; yang ada malah bikin tambah stres-tekanan batin-beban pikiran-depresi. Dengan bersyukur, insyaallah kita—maksudnya kaum yang dijadikan pelarian—akan terhindar dari hal-hal negatif tadi, udah gitu dapat pahala lagi. Iya, pahala! Pahala yang didapat berlipat-lipat lagi. Mulai dari pahala karena bersyukur hingga pahala karena terzalimi.
Pendapat saya di atas bukan asal-asalan lho, ya. Dalam psikologi, bersyukur merupakan salah satu bagian dari psikologi positif (psikologi yang berhubungan dengan kebahagiaan dan peningkatan hidup). Pada umumnya, bersyukur sebatas mencakup ungkapan terima kasih pada seseorang atau Tuhan. Namun, dalam psikologi cakupan dari bersyukur lebih luas; ia mengarah pada kondisi emosi yang selalu mengizinkan individu untuk senantiasa berbahagia atas apa yang dimilikinya.
Terus, cara bersyukur atas posisi sebagai sebagai pelarian itu gimana sih? Tenang, nggak perlu bingung. Tanpa disadari masyarakat Indonesia itu sangat pandai bersyukur. Diberi gaji yang pas-pasan, melihat inkonsistensi pemerintah terhadap keputusan mudik kemarin, tentu membuat kita semua geram-sakit hati-sambat. Tapi, nyatanya kita masih tak lupa bersyukur dengan cara berujar, “Yah…daripada nggak dapat gaji sama sekali”, dan “setidaknya masih bisa merayakan Lebaran dengan orang-orang sekitar di perantauan”. Jika terhadap hal-hal besar itu saja kita bisa bersyukur, tentu bukan perkara sulit dong untuk mensyukuri hal sekelas status pelarian.
Kedua, tidak menaruh perasaan dan tidak menuntut untuk naik ke level pasangan
Ini cukup sulit sih karena kita harus benar-benar menguatkan hati. Tapi, sulit bukan bermakna nggak mungkin. Sebenarnya yang kita butuhkan dalam hal ini adalah mengubah paradigma terhadap status pelarian yang sedang kita sandang. Jangan menganggap diri kita sebagai orang yang cuma dimanfaatin. Anggap aja kita sedang menolong seseorang yang tengah kehilangan tujuan hidupnya.
Dengan begitu, yang akan kita taruh pada seseorang tersebut nantinya adalah empati, bukan perasaan cinta atau benci. Jadi, kita akan terhindar dari baper dan dapat pahala juga—karena menolong orang lain—seperti bersyukur tadi. Konsep ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam jurnal Psikologika (volume 24, nomor 2) yang terbit pada Juli 2019 dengan judul Kebersyukuran: Studi Komparasi Perspektif Psikologi Barat dan Psikologi Islam. Dalam jurnal tersebut dituliskan bahwa outcome dari bersyukur adalah timbulnya dorongan untuk melakukan perilaku yang baik seperti menolong orang lain—meskipun toh orang tersebut telah menyakiti kita dengan menjadikan kita sebagai pelariannya.
Ketiga, memilih lagu yang merepresentasikan perasaan kita serta memberi semangat hidup
Musik bisa mempengaruhi mood itu nyata adanya—dan saya (mungkin juga hampir semua orang) telah merasakannya sendiri. Oleh sebab itu, kita mesti pandai-pandai memilih lagu. Jangan sampai, kita semakin larut dalam kesedihan karena memilih lagu yang nuansanya juga sedih.
Dalam hal kaitannya dengan status pelarian, lagu yang menurut saya recommended adalah lagu dari NOAH yang berjudul “Walau Habis Terang”. Lagu tersebut memiliki lirik yang sedih tapi instrumennya memberi semangat. Analoginya, lagu tersebut seperti seorang manusia yang menangis tapi ia tahu masih memiliki alasan untuk tersenyum. Jadi, kalo kita sedang menyandang status sebagai pelarian orang lain, maka “Biarkan semua…seperti seharusnya. Tak ‘kan pernah….menjadi milikku”.
BACA JUGA Pentingnya Patah Hati dalam Hidup Ini