Banyak yang bilang kalo Squidward Tentacles adalah gambaran manusia dewasa yang paling realistis. Gampang marah, benci pekerjaannya, dan cenderung nggak hepi. Ya, selama menonton serial Spongebob Squarepants, memang sangat jarang kita melihat Squidward nggak marah-marah. Ada saja yang membuat doi sebal, entah tetangganya yang super berisik dan kekanak-kanakan, pekerjaannya yang membosankan, bos yang pelit, dan rivalnya di bidang musik yakni Squilliam yang juga nyebelinnya minta ampun.
Semua itu menjurus ke satu fakta yang tampak tak terelakan, yakin Squidward teramat sangat menderita. Hidupnya penuh tekanan, pun minim prestasi dan apresiasi. Sekalinya dia dapat apresiasi, itu karena tubuhnya tergabung dengan Spongebob dalam sebuah episode berjudul SquidBob TentaclePants.
Di episode itu, Squidward secara nggak sengaja tergabung dengan Spongebob karena alat milik Sandy, padahal malam harinya Squidward kudu pentas. Para penonton justru bersorak ketika Squidward tampil, bukan karena permainan klarinetnya, melainkan karena tubuh unik hasil bergabung dengan tetangganya yang super udik itu.
Selain pada episode itu, apresiasi juga pernah dirasakan Squidward saat doi menjadi tampan maksimal dan dipuja cewek-cewek Bikini Bottom. Ketampanannya itu hasil dari wajahnya yang kejedot berkali-kali. Dari sini, saya bisa bilang bahwa semua apresiasi Squidward semuanya dimulai dengan tragedi.
Akan tetapi, sekalipun doi mendapat kesialan demi kesialan, tragedi demi tragedi, musibah demi musibah, saya justru merasa Squidward adalah sosok yang berhasil mencapai ikigai. Ikigai adalah konsep hidup yang dianut masyarakat Jepang agar menemukan kebahagiaan. Iya, dengan segala kekurangannya, Squidward ternyata memiliki semua aspek yang dibutuhkan untuk mencapai ikigai.
Mari kita mengulas apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai ikigai itu. Simpelnya, kita bisa dibilang ikigai kalau memiliki empat hal sekaligus yaitu apa yang kita sukai, apa yang kita mahiri, apa yang membuat kita dibayar, dan apa yang lingkungan butuhkan. Jika kita bisa memiliki semua itu maka hidup akan terasa bahagia dan memiliki makna.
Apa yang kita sukai jika bergabung dengan apa yang kita mahiri akan membentuk yang namanya passion. Iya, istilah paling edgy yang booming beberapa tahun ini. Lantas, apakah Squidward memiliki passion ini? Doi suka seni, tapi nggak gitu-gitu mahir. Di salah satu episode saat dia ngajari Spongebob, malahan Spongebob yang lebih jago dan karyanya terjual mahal, sementara karya Squidward nggak laku sama sekali. Doi suka main klarinet, tapi suara yang dihasilkan masih kalah merdu dibandingkan gembar-gembor knalpot RX King pas konvoi pemilu di Jogja. Satu-satunya yang doi suka dan ternyata juga jago adalah menari. Iya, Squidward sangat jago menari dengan tubuhnya yang begitu lentur. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa passion Squidward adalah menari.
Sementara itu, apa yang kita mahiri jika digabung dengan apa yang membuat kita dibayar, maka akan membentuk yang namanya profesi. Misal mahir ngoding dan dapet job bikin website, maka profesinya ya programmer. Misal jago nulis dan dapet duit dari nulis, ya profesinya penulis. Misal jago mbacot di media sosial dan pandai mengadu domba, lantas dapat duit, ya sebut saja buzzer.
Lantas, apakah Squidward memiliki sesuatu yang disebut profesi? Doi kerja di Krusty Krab sebagai kasir, tetapi bahkan jadi kasir nggak perlu keahlian muluk-muluk. Pun Squidward nggak suka-suka amat jadi kasir. Makanya, kondisi di mana doi bermanfaat bagi lingkungan pada konsep ikigai—dalam hal ini lingkungan kerja—dan dibayar, adalah sesuatu yang disebut “pekerjaan”, bukan “profesi”. Makanya, bekerja di Krusty Krab belum membuat Squidward memiliki “profesi”.
Doi baru memiliki profesi apabila bisa menghasilkan duit dari apa yang doi mahiri. Menjual karya seni? Halah, nggak bakal laku. Ngadain konser? Mentok yang nonton sekumpulan ubur-ubur, itu juga buat nyetrumin Squidward karena mainnya jelek. Satu-satunya profesi yang bakal doi dapatkan adalah bergabung dengan grup Boys Who Cry, salah satu boyband papan atas dan paling hits di Bikini Bottom. Mentok nggak bisa gabung ke formasi, Squidward bisa jadi tim koreografi mereka dengan bekal kemampuan menari yang handal. Tetapi, nyatanya Squidward ngajar seni juga. Bagi doi, seni adalah keahliannya, dan ternyata dapat duit juga dari ngajar. Selama ini kan kita yang merasa doi nggak mahir di kesenian, tapi bagi doi, ya doi mahir banget. Mahir lah, wong sampe punya murid.
Bagian terakhir dari ikigai adalah apa yang kita sukai bertemu dengan apa yang lingkungan butuhkan. Akan membentuk sesuatu yang disebut ‘misi’. Misal ada yang demen ngasih makan kucing-kucing liar, berarti sudah menyalurkan kesukaan sekaligus bermanfaat bagi dunia perkucingan. Masalahnya, apakah Squidward memiliki ‘misi’ ini? Apakah dia memiliki sesuatu yang disukai dan bermanfaat bagi lingkungan? Jawabannya adalah ada.
Ya, Squidward sangat suka seni mesi doi nggak mahir, dan doi juga mengajar di bidang kesenian sesekali. Mengajar seseorang sudah pasti bermanfaat bagi lingkungan, benar? Urusan Squidward ngajarinnya ngaco apa enggak sih hash mbuh ya, yang penting dia melakukan yang dia suka dan ternyata bermanfaat.
Jadi, berdasarkan semua analisa itu, Squidward ternyata memiliki semua hal untuk mencapai ikigai. Memang nggak sempurna karena doi nggak berada di satu titik yang langsung merangkul keempat hal pembentuk ikigai itu. Squidward masih kudu kerja di tempat yang nggak doi suka, masih kurang mahir urusan main klarinet, masih kurang bisa bermanfaat bagi lingkungan, tetapi seenggaknya doi punya semua faktor pendukung ikigai sekalipun nggak jadi satu.
Dan sekalipun nggak murni ikigai, seenggaknya Squidward ternyata nggak seburuk itu hidupnya. Doi memiliki kebahagiaannya sendiri dan bisa sesuka hati melakukan hal yang doi suka.
Squidward baru bisa dikatakan sempurna mencapai ikigai jika doi mau resign dari Krusty Krab dan fokus ngajar seni, atau ngajar nari, atau gabung ke manajemen Boys Who Cry menjadi tim koreografinya. Kalo Squidward beneran mau fokus ke profesi-profesi yang saya sebut tadi, doi bakal hidup lebih bahagia, penuh makna, banyak apresiasi, banyak uang, dan nggak bakal kehabisan duit kalau hanya buat nuku cangkemu yang sering ngolok-olok doi terus.
BACA JUGA Review ‘Wonder Woman 1984’ yang Ternyata Mirip Misteri Ilahi Indosiar dan tulisan Riyanto lainnya.