4 Salah Kaprah tentang Jurusan Ilmu Politik yang Sudah Terlanjur Dipercaya

4 Salah Kaprah tentang Jurusan Ilmu Politik yang Sudah Terlanjur Dipercaya Mojok.co

4 Salah Kaprah tentang Jurusan Ilmu Politik yang Sudah Terlanjur Dipercaya (unsplash.com)

Dulu saat ada pengumuman kelulusan dan saya diterima di Jurusan Ilmu Politik di salah satu PTN di Semarang, beberapa pertanyaan langsung berdatangan menodong telinga saya. “Nanti mau jadi anggota DPR, ya?” atau “Wah, jalan pintas jadi PNS, nih?” 

Awalnya pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang terdengar wajar. Bahkan, sering dianggap lelucon ringan. Tapi, lama-lama, saya sadar bahwa anggapan itu muncul justru karena masih banyak orang belum benar-benar paham apa yang sebenarnya dipelajari di Jurusan Ilmu Politik.

Memang benar, jurusan ini punya kaitan erat dengan pemerintahan dan aktivitas politik praktis. Namun, Ilmu Politik tidak hanya soal jabatan, parlemen, atau urusan kekuasaan semata. Oleh sebab itu, rasanya penting bagi saya untuk meluruskan beberapa pandangan yang sudah kadung dipercaya oleh publik. Tujuannya sederhana saja (tapi penting), agar adik-adik mahasiswa Ilmu Politik tidak terus-menerus dibayangi stereotip yang kurang tepat dan bahkan bisa menyakiti perasaan.

Jurusan Ilmu Politik bukan sekadar belajar menjadi politisi

Pandangan bahwa mahasiswa Ilmu Politik pasti akan menjadi politisi masih sering terdengar hingga hari ini. Bahkan, tak sedikit yang menganggap jurusan ini sebagai “gerbang awal” menuju kursi kekuasaan, seolah-olah kuliah di sini berarti sedang magang untuk menjadi anggota dewan di masa depan. Padahal, Ilmu Politik bukanlah sekolah kader partai. Di dalam kelas, mahasiswa lebih banyak membahas teori kekuasaan, dinamika sosial, dan bagaimana keputusan publik terbentuk melalui proses yang panjang dan sering kali ruwet.

Ilmu Politik justru mengajarkan bagaimana melihat politik secara ilmiah, bukan sekadar dari permukaannya. Mahasiswa dilatih untuk memahami perilaku politik masyarakat, menelaah kebijakan publik, hingga mengkritisi sistem kekuasaan yang sedang berjalan. Jadi, ketika seseorang memilih jurusan ini, tujuannya tidak selalu untuk terjun langsung ke politik praktis, melainkan bisa juga untuk memahami politik sebagai ilmu pengetahuan dan fenomena sosial yang membentuk hubungan antara negara dan rakyat.

Debat bukan satu-satunya senjata utama bagi mahasiswa ilmu politik

Masih banyak orang yang beranggapan, mahasiswa Ilmu Politik pasti pandai berdebat atau setidaknya gemar memperdebatkan berbagai hal. Stereotip ini muncul karena publik sering disuguhkan perdebatan politik di televisi. Entah dalam forum parlemen, acara bincang politik, atau panggung debat calon kepala daerah dan presiden. 

Akibatnya, kemampuan berdebat sering dianggap sebagai ciri khas utama mahasiswa politik, seolah kuliah di jurusan ini berarti latihan rutin untuk jadi juru bicara partai. Padahal, dinamika di ruang kuliah Ilmu Politik jauh lebih kompleks dari sekadar adu argumen.

Debat memang menjadi bagian dari proses belajar, tetapi bukan satu-satunya senjata utama. Mahasiswa Ilmu Politik dituntut tidak hanya mampu berbicara, tetapi juga mampu berpikir dan menulis secara analitis. Setiap argumen yang dilontarkan harus berakar pada teori, data empiris, dan pemahaman konteks sosial yang kuat. 

Dalam banyak kasus, kemampuan membaca situasi, memahami struktur kekuasaan, serta mengaitkan peristiwa dengan teori politik justru jauh lebih penting. Dengan kata lain, debat di jurusan ini bukan sekadar latihan retorika. Tapi, lebih pada cara untuk menguji sejauh mana seorang mahasiswa mampu berpikir kritis dan rasional terhadap realitas politik yang sedang dia pelajari.

Sering dianggap memiliki pengetahuan lebih soal hal teknis di pemerintahan

Pernah suatu kali, di acara keluarga, saya ditodong pertanyaan mendadak: “Kamu kan kuliah Ilmu Politik, tahu dong kenapa harga beras naik terus?” Saya cuma bisa tersenyum kaku sambil meneguk air mineral satu kendi.

Situasi seperti ini bukan hal baru sebenarnya bagi saya selaku mahasiswa Ilmu Politik. Di tongkrongan, ruang keluarga, atau media sosial, ekspektasi serupa selalu muncul: mahasiswa politik dianggap paham semua hal teknis tentang pemerintahan, jika bisa harus bisa memaparkan hal teknis mengenai efisiensi anggaran sampai pertimbangan mencampur pertalite dengan etanol.

Padahal, Ilmu Politik tidak bekerja di level teknis semacam itu. Kami tidak belajar menyusun APBN atau merancang kebijakan perdagangan secara rinci. Fokus kajiannya justru pada teori legitimasi, partisipasi, dan distribusi kekuasaan, bukan semata-mata menghafal tupoksi birokrasi. 

Jadi, kalau seorang mahasiswa Ilmu Politik tidak tahu hal-hal njlimet yang bersifat teknis, itu wajar. Bukan karena kurang baca berita, tapi karena politik itu dinamis. “isuk tempe, sore dele” begitu kata orang Jawa. Jika hanya butuh jawaban analisis masih bisa, tapi kalau disuruh menjelaskan secara detail ya wajar kalau mahasiswa Ilmu Politik angkat tangan.

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik dianggap terlalu oportunis dan haus jabatan

Terakhir, ada anggapan bahwa mahasiswa Ilmu Politik itu pasti oportunis dan haus jabatan. Jika sesuatu tidak menguntungkan atau berdampak bagi dirinya, biasanya langsung diacuhkan. Bahkan, tak jarang muncul persepsi bahwa mereka rela mengesampingkan prinsip atau etika demi kepentingan pribadi.

Akan tetapi, mari kita jujur sedikit, siapa sih yang benar-benar tidak memikirkan keuntungan pribadi? Bukan keuntungan yang merugikan orang lain tentu saja, tapi sekadar memanfaatkan peluang belajar, riset, atau memperdalam pengalaman agar bisa terus berkembang.

Jadi, jika terkadang terlihat pragmatis, itu wajar, manusia memang diciptakan untuk bertahan hidup sehingga akan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pilihan hidup yang akan diambil. Lagi pula, kalau masih ragu, coba lihat para politisi di parlemen. Tidak semuanya oportunis kan? Tentu saja, sebagian besar tetap menunggu peluang. Eh, maksud saya, tetap bisa profesional kok.

Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Dear Maba Jurusan Ilmu Politik, Tak Usah Risau Prospek Kerja Setelah Lulus, toh Memang Tidak Ada yang Bisa Diharapkan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version