Burjo, warmindo, atau apalah sebutannya, punya kaitan yang amat erat dengan mahasiswa Jogja. Banyak yang hidupnya terselamatkan gara-gara nasi telur, banyak orang kaya yang menapak tanah setelah makan di warmindo. Dan, yang paling penting, banyak cerita cinta dimulai, dan kandas di warung ini.
Warmindo memang ruang aman untuk para mahasiswa Jogja. Banyak yang menjadikan warung ini sebagai pelarian dari suntuknya rumah, banyak yang sekadar makan di warung ini karena tak punya pilihan. Tak jarang juga yang menjadikan warung ini sebagai tempat pacaran karena kiriman orang tua tak kunjung datang.
Untuk saya sendiri, yang menghabiskan masa mahasiswa dan kerja di Jogja, burjo selalu punya tempat yang spesial di hidup saya karena tanpa kebaikan dari Angga, penjaga burjo Kimcil (yang sayangnya sudah kukut), saya tak akan bisa menyelesaikan bab 4 skripsi saya.
Warmindo memang tempat yang spesial, meski, hal yang sama kadang tak berlaku untuk makanannya.
Memang tak banyak yang bisa diharapkan dari warung yang memang lekat dengan kaum proletar. Secara umum, sebenarnya makanan di burjo tak buruk. Banyak warmindo yang sebenarnya terkenal akan masakannya yang benar-benar enak. Tapi, selalu saja ada beberapa yang tak menjaga kualitas, terlebih untuk beberapa menu makan ini.
Disclaimer, saya tak menjatuhkan usaha warmindo. Sama sekali tidak. Tapi, baiknya Anda beri perhatian lebih pada menu-menu ini.
Nasi sarden
Saya yakin betul, nasi sarden adalah salah satu menu warmindo yang paling diminati mahasiswa. Masalahnya adalah, terkadang, untuk beberapa warung, justru menu ini tak laku-laku amat. Untuk saya pribadi, saya justru menghindari makanan ini.
Bukan, bukan karena saya tak suka makan sarden. Justru saya suka banget. Masalahnya adalah, beberapa warmindo tak mengecek kelayakan sarden yang mereka jual. Pengalaman saya pribadi, pernah mendapati nasi sarden berisi ulat. Sejak saat itu, saya menghindari sarden di warmindo. Moh, risiko.
Sambel warmindo
Gorengan hangat warmindo akan lebih nikmat disantap dengan sambal. Sumpah, tak ada kenikmatan yang bisa mengalahkan kriuk gorengan mongah-mongah yang berlumur sambal…
Kecuali jika Anda makan jam 4 pagi.
Terkadang, ada burjoan yang tak mengecek kelayakan sambalnya. Apakah khilaf? Bisa jadi. Tapi ada warmindo yang entah kenapa, tiap saya datang pas pagi-pagi, sambalnya ya nggak diganti. Padahal kita tahu, sambal itu salah satu makanan yang nggak bisa tahan lama jika tak diolah secara khusus.
Pengalaman pribadi, saya pernah kena diare karena sambal basi warmindo. Ini bukan diare karena nggak kuat pedes lho. Saya suka banget sama pedes malah. Ayam geprek cabe 10 masih sepele buat saya, dan saya salah satu orang di kantor Mojok yang kuat sama pedas. Tanya aja sama Mbak Intan, redaktur Terminal yang selalu nanya, “Pedes nggak, Kik, sambelnya?”
Setelah tragedi sambal basi, saya menjalani sekitar 4 tahun tanpa sekalipun menyentuh sambal warmindo. Saya baru doyan sambal warmindo setelah ngekos di daerah Hartono Mall Jogja (sekarang berganti nama jadi Pakuwon Mall). Itu pun karena saya tahu betul kapan sambalnya dibuat dan diganti jam berapa.
Nasi goreng
Meski menu warmindo ini yang paling sering saya pesan, saya justru punya trust issue sama nasi goreng di warmindo. Kenapa tetep pesan kalau punya trust issue? Nggak tahu. Pokoknya pesen aja.
Trust issue-nya bukan pada kualitas nasi. Saya yakin nasi warmindo nggak mungkin basi, kualitas beras pun nggak ngaruh ke nasi goreng. Masalahnya, kadang Aa’ burjonya nggak jago dalam masak nasgor. Nggak jarang saya mendapati nasgor yang nggak rata bumbunya, masaknya waton cepet, atau bahkan tak berbumbu.
Serius ini, saya pernah ngembaliin nasgor yang nggak ada rasanya sama sekali.
Es teh warmindo
Kalau ini, saya beri red flag karena ada beberapa faktor. Pertama, saya sendiri nggak begitu suka ngeteh. Ini agak lucu karena saya berasal dari daerah plat AD, yang nggak main-main sama kualitas teh mereka. Teh HIK Solo dan sekitarnya nggak bisa dipandang remeh. Mereka bisa jualan nasi bandeng yang nggak enak, tapi nggak akan jualan teh nggak enak.
Kedua, agak nyambung sama alasan pertama, karena saya ragu sama kualitas tehnya. Kadang, es teh burjo itu kok ya tehnya nggak enak. Kadang kelewat sepet, kadang kok ya encer, kadang malah kelewat kental. Setidaknya, hal itu bikin saya konsisten beli air putih es doang, atau ya es kopi sasetan.
Menu warmindo yang saya anggap red flag ini memang preferensi pribadi. Tapi, bukan berarti saya nggak lagi makan dan minum di warmindo. Saya bisa nggak cocok sama beberapa menu, tapi nggak akan juga nge-cancel warung cuman karena beberapa menu.
Jadi, jangan ngamuk gitu to, sumet sek rokoke, ben tenang, Lur.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pembuktian Resep Rahasia Bikin Indomie Seenak Buatan Warmindo!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.