Kuliah tatap muka langsung atau luring akhirnya kembali diselenggarakan setelah dua tahun pandemi Covid merebak di Indonesia. Saya pun akhirnya berkesempatan merasakan kuliah langsung di kampus Universitas Diponegoro (atau biasa disingkat Undip) setelah empat semester penuh kuliah sambil menatap layar Microsoft Teams.
Dua minggu lalu adalah pertama kalinya saya menjejakkan kaki di lingkungan Undip. Terasa sangat luas seperti memasuki kompleks akademi militer di kota asal saya. Bangunan besar bertingkat dan beberapa proyek bangunan yang masih dikerjakan mengesankan kebesarannya.
“Tidak heran UKT dan uang pangkal kuliah di sini mahal”, begitu batin saya.
Ditambah lagi Undip sempat ramai menjadi perbincangan di media sosial karena membuka jalur ujian mandiri kemitraan dengan uang pangkal selangit. Dari kabar yang beredar, ada sekitar 300 ribuan pendaftar dengan biaya pendaftaran 350-500 ribu rupiah.
Eits, itu baru kesan pertama. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menemui beberapa hal yang bikin saya bergumam “kok gini sih”. Dengan beberapa review yang mengatakan UKT dan uang pangkal Undip mahal, serta statusnya sebagai salah satu dari sepuluh perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia, pastinya ada harapan yang tinggi dalam benak saya.
Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan Undip untuk menghabiskan uang dari mahasiswa.
Pertama, membangun sarana transportasi di lingkungan kampus dan sekitarnya
Lingkungan Undip yang luas itu, tidak ramah pejalan kaki dan pesepeda. Cuaca Semarang yang panas dan kontur Undip yang berbukit-bukit menjadi faktor utamanya. Jalan kaki di sini, terutama siang hari, adalah sebuah cara yang efektif untuk kalian yang ingin mandi keringat.
Untuk saat ini memang sudah ada halte BRT atau Trans Semarang di dalam kampus, namun sayangnya belum mencakup semua fakultas. Jarak dari halte bus ke beberapa fakultas masih terlalu jauh. Sementara itu, jalan dari halte ke gedung fakultas tidak dilengkapi dengan sarana yang baik.
Situasi seperti ini berimbas pada kemacetan di sekitar kampus. Antrean kendaraan di gerbang utama sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar, terutama saat senja tiba. Tidak adanya sarana transportasi yang memadai membuat mahasiswa memilih naik kendaraan pribadi, entah itu sepeda motor maupun mobil.
UKT dan uang pangkal dari mahasiswa dengan jumlah yang naudzubillah banyaknya itu bisa dialokasikan di sini. Iya, Undip bisa loh punya bus kampus seperti milik UI. Tidak harus yang low deck bus mengingat kontur berbukitnya Undip. Bus ukuran medium seperti yang dipakai BRT sudah cukup, yang paling penting ada haltenya di setiap fakultas.
Kedua, membangun lift atau elevator
Undip adalah universitas yang terbuka bagi semua kalangan, termasuk difabel. Sayangnya, belum semua gedung bertingkat milik Undip dilengkapi elevator. Bahkan, di fakultas ilmu budaya tempat saya kuliah tidak ada gedung yang dilengkapi elevator. Situasi ini memaksa dosen harus repot-repot mengatur ulang jadwal penggunaan ruang kelas supaya mahasiswa difabel tidak perlu naik tangga.
Ketiga, mengembangkan aplikasi SIAP Undip
Sama seperti universitas lain di Indonesia, Undip juga punya aplikasi khusus untuk mahasiswa dan dosen. Namanya SIAP Undip, hanya dapat diunduh dari Play Store. Keterangan di Play Store aplikasi ini terakhir diupdate tahun 2020 atau dua tahun lalu. Untuk saat ini, sudah dua minggu kuliah dijalani, namun saya dan beberapa mahasiswa lain masih tidak bisa login di SIAP Undip. Selain itu, pengguna iPhone masih belum bisa menggunakan SIAP Undip karena aplikasi ini berbasis android dan hanya ada di Play Store.
Tolonglah Undip alokasikan dana untuk pengembangan aplikasi SIAP Undip. Update sangat diperlukan agar seluruh mahasiswa bisa menggunakannya dengan nyaman. Kasihan juga mahasiswa pengguna iOS yang sudah rutin membayar UKT namun tidak bisa menikmati ajaibnya SIAP Undip.
Tiga hal ini menjadi masalah yang saya rasa paling utama. Di media sosial pun jamak ditemui keluhan mahasiswa Undip tentang tiga hal di atas. Masih ada masalah lain seperti komputer laboratorium bahasa yang tidak semuanya dapat digunakan, wifi undipconnect yang sering tidak connect, dan LCD proyektor yang sudah usang sehingga tidak bisa menampilkan gambar dengan maksimal.
Akhir kata, Undip, jaya, jaya, jaya!
Penulis: Mahmud Khabiebi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Undip, Kampus yang Ramah untuk Perantau Newbie