Hiburan rakyat yang hilang
Alun-alun yang ditutup pagar besi membuat beragam hajatan yang biasa dihelat di dalam sudah tinggal kenangan. Salah satu acara tahunan yang paling meriah tentu saja Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS).
Bagi Toni, melihat keramaian sekaten membuat hatinya senang. Selain memang perayaan itu mendatangkan rezeki bagi para penjaga parkir sepertinya. Sekaten memang sudah menjadi magnet tersendiri bagi warga Jogja maupun wisatawan dari luar daerah.
Cerita tentang kebahagiaan melihat Sekaten juga dituturkan Kartilah (58). Perempuan yang berasal dari Jetak, Sidokarto, Godean, Sleman ini masih ingat betul dulu saat masa remaja ia rela jalan dari rumahnya ke Alun-alun Utara yang jaraknya sekitar 10 km untuk mendatangi perayaan tahunan tersebut.
“Jalan ramai-ramai sama teman di desa. Setiap tahun itu hal yang tidak boleh terlewatkan pokoknya, Mas,” ujarnya.
Saat beranjak dewasa, Kartilah akhirnya mencari nafkah dengan berdagang di sekitar kawasan tersebut. Ia mulai berjualan makanan sejak tahun 1995 dan masih berlanjut hingga sekarang. Sebagai pedagang, ia senang karena bisa melihat sekaligus mendapat manfaat puluhan edisi Sekaten. Hingga akhirnya perayaan itu benar-benar hilang.
“Setelah hilang, benar-benar berbeda. Apalagi sekarang dipagari, dagangan jadi sepi,” curhatnya.
Tak hanya menarik magnet bagi para pengunjung, pasar malam itu juga menarik pedagang dari berbagai daerah. Termasuk kelompok pedagang dari Minangkabau. Bahkan jika ditelisik secara sejarah, ada hubungan antara pedagang di Pasar Malam Perayaan Sekaten dengan kemunculan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Malioboro.
Pedagang dari Minangkabau kerap disebut sebagai salah satu kelompok yang awal menempati lorong-lorong di depan pertokoan Malioboro untuk berjualan. Eka Louis (41), salah satu tokoh pemuda Minang di Jogja mengatakan bahwa dulunya pedagang dari Minang itu berjualan di area perayaan Sekaten di Alun-alun Utara terlebih dahulu.
“Dulu memang banyak pedagang dari Minang yang kerap berkeliling Indonesia untuk berjualan di satu pasar malam ke pasar malam lain. Di Jogja itu tentu awal jualannya di Pasar Malam Sekaten,” paparnya.
Eka melanjutkan, para pedagang di Sekaten itu lalu melihat potensi berjualan di sepanjang Jalan Malioboro yang kala itu masih sepi PKL. Akhirnya lahan itu coba dimanfaatkan untuk berdagang sisa-sisa barang yang awalnya dijual di Sekaten.
Gelaran PMPS saat ini memang bergeser menjadi Pasar Rakyat Jogja Gumregah yang digelar di bekas kampus STIE Kerjasama di Jalan Jalan Parangtritis, Kalurahan Bangunarjo, Kapanewon Sewon, Bantul. Lokasinya sekitar 4 kilometer dari Alun-alun Utara. Acara ini sudah diselenggarakan 16 September – 16 Oktober 2022.
GKR Hemas yang membuka kegiatan tersebut mengatakan bahwa keberadaan pasar rakyat bisa mengobati kerinduan masyarakat terhadap PMPS yang absen karena revitalisasi Alun-alun Utara. Namun, tetap saja, nuansa dan kenangan yang tercipta pasti berbeda.
Setelah perubahan terjadi
Pasar Malam Perayaan Sekaten yang menjadi momen puncak keramaian Alun-alun Utara setiap tahunnya kini tinggal kenangan. Begitu pula acara-acara lain yang bersifat tidak rutin tetapi sesekali digelar di area seluas sekitar 300×300 meter ini.
Baik Toni, Supardi, hingga Kartilah yang punya banyak kenangan di area itu mengakui bahwa perubahan ini membawa kerapian dan ketertiban. Areanya lebih tertata dan bersih ketimbang dahulu. Namun, hal-hal menyenangkan yang dulu bisa dilakukan di dalam tidak bisa terulang kembali.
“Perubahan ini memang bagus sih jadi rapi dan tertib. Tapi ya kalau senang, senang dulu, banyak hal yang bisa dilakukan, banyak hiburan,” terangnya. Jadi, Lur, apa pengalaman berkesanmu di Alun-alun Utara Jogja?
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono