Alun-alun Utara kembali menjadi ruang privat Keraton Yogyakarta sejak disahkannya, UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Kondisinya kini selain sudah berpagar, juga dikembalikan ke bentuk aslinya yang tidak lagi tertutup rumput, tapi pasir.
Mojok bertemu dengan beberapa warga di Jogja, mendengar cerita mereka terkait pengalaman masa lalu di tempat itu yang masih dikenang.
***
Di sebuah gerobak angkringan di sisi barat Alun-alun Utara Jogja yang sedang tidak buka, Toni Setiawan (49) sedang duduk sendirian. Sesekali ia mengecek ponselnya. Tapi lebih sering matanya yang tertutup kacamata hitam memandang ke sekitar. Melihat suasana siang di sekeliling yang lengang.
Pasir hitam yang terhampar menutupi permukaan tanah Alun-alun Utara terlihat tepat di seberang jalan. Terlihat padu dengan siang yang mendung di tengah musim penghujan beberapa waktu belakangan.
Becak yang ia miliki terparkir di pinggir jalan. Becak bercat merah itu belum sekalipun merasakan hangatnya diduduki penumpang hari ini. Belakangan tak setiap hari ada orang yang minta diantar menggunakan becak.
“Kalau ada, paling sehari satu atau dua penumpang saja,” katanya ringan saat saya temui Kamis (27/10).
Pundi-pundi rupiah yang Toni dapat dari menarik becak tentu tidak bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Tidak setiap hari ia dapat penumpang. Jika dapat pun hanya satu dua tarikan saja. Sehingga, selain menarik becak, demi memenuhi kebutuhan ia juga menjadi tukang parkir di area ia duduk sekarang.
Kendati begitu, kendaraan yang parkir di sana juga tidak terlalu banyak. Banyak hal yang tidak sama lagi seiring berubahnya wajah Alun-alun Utara yang sejak 2021 lalu dilindungi pagar besi.
Sejak kecil Toni sering menghabiskan waktu di Alun-alun Utara Jogja. Ia tinggal di Klaten, tapi kakek dan nenek dari garis ibu tinggal di Kampung Rotowijayan yang letaknya di sisi selatan Keraton Yogyakarta. Kampung itu dikenal dengan para abdi dalem pembuat kereta keraton di masa silam.
Tempat bercengkerama keluarga yang murah-meriah
Sembari mengisap sebatang rokok yang saya berikan, ia mengenang jauh ke belakang. Saat masa sekolah medio akhir 1970-an hingga awal 1980-an, setiap akhir pekan atau libur, ia akan datang ke tempat kakeknya tinggal.
Setiap berada di sana, tempat mencari hiburan dan bersenang-senang yang murah meriah dan mudah dijangkau tentu alun-alun ini. Tempat tersebut belum dipagari dan alasnya masih berupa tanah dan rerumputan. Banyak penjual jajan dan mainan yang membuat anak-anak girang.
“Kalau sedang di sini, simbah pasti ngajak jalan-jalannya ke alun-alun,” kenangnya.
Di masa itu, area yang di tengahnya berdiri kokoh dua beringin besar yang bernama Kiai Dewadaru dan Kiau Janadaru ini penuh dengan orang-orang bercengkerama. Banyak keluarga yang mengajak anaknya untuk menghabiskan waktu dengan hiburan sederhana. Menggelar tikar dan membeli jajan dari pedagang asongan.
“Dulu banyak bener yang menggelar tikar. Penjualnya macem-macem di dalam. Kalau malam, sukanya beli ronde diminum sambil duduk-duduk di atas rumput,” ujarnya.
Apalagi kalau malam Minggu, Toni ingat setiap jengkal Alun-alun Utara bak dipenuhi manusia. Pemandangan dan suasana yang saat ini sudah tidak bisa ia lihat dan rasakan lagi.
Kenangan-kenangan itu masih mengendap kuat di benak Toni hingga puluhan tahun setelahnya. Lelaki ini sejak 2006 sudah pindah dan menetap di Jogja. Sejak saat itu juga hidupnya tak jauh-jauh dari alun-alun ini.
Tempat melepas resah yang hidup hingga dini hari
Ketika beranjak dewasa, buat Toni, selain jadi tempat mencari rezeki alun-alun juga menjelma menjadi tempat ia melepas resah. Kalau tengah malam tidak bisa tidur, ia akan lari ke sini. Sebab buatnya, apa saja ada di dalam.
“Tengah malam, butuh hiburan, saya bisa ke sini. Lapar mau makan apa aja ada, duduknya bisa sembarang di area yang luas ini,” terangnya.
Di waktu yang berbeda, Supardi (60), seorang warga yang tinggal di kampung sisi timur Keraton Jogja juga bercerita bahwa tempat ini jadi ia melepas resah. Ia ingat betul, dulu ketika suasana hati sedang runyam karena ada masalah di rumah, ia akan ke alun-alun.
Supardi saya temui di sebuah sore saat sedang duduk sendirian bersandar di trotoar. Bersandar pada pagar yang mengitari alun-alun. Sepeda tua yang ia gunakan berkeliling sore itu diparkir di pinggir jalan.
“Sekarang masih bisa dinikmati [alun-alun], tapi dari luarnya saja,” ujarnya berbahasa Jawa.
“Susahe nek saiki yo raiso nikmati karo lingguhan ning njero, biasane ting mriki iso tukar kawruh kalih konco [susahnya sekarang tidak bisa dinikmati sambil duduk-duduk di dalam, biasanya di sini bisa berbagi cerita dengan kawan-kawan]. Di rumah jenuh, di sini bisa senang,” terangnya.
Supardi begitu semangat ketika menceritakan kenangan-kenangan yang tercipta di area ini. Bahkan ia berujar bahwa ibunya dulu, sudah berdagang di sisi utara Alun-alun Utara sejak masih muda hingga punya anak dua belas. Supardi mengaku anak kelima.
“Ibu kulo dodolan ting ringin pojok niko, sadean dodolan, enten trek-trekan kalih jaran kepang (Ibu saya dulu jualan di bawah pohon beringin sana, jualan mainan, ada mainan truk sama kuda kepang),” kenangnya.
Selain itu, seorang perempuan bernama Endang Budiyati (45) mengaku dulu sering melihat kebersamaan warga di sekitar sini. Melihat ibu-ibu senam pagi dan tertawa riang melepas beban kehidupan. Penampakan lain yang sering terlihat adalah anak-anak yang bermain di dalam. Baik sekadar berlarian maupun bermain sepak bola bersama. Namun buatnya, semua itu tinggal kenangan saja.
“Sekarang ibu-ibu di sekitar sini tidak bisa lagi senam. Mungkin bisa tapi di tempat lain. Sayang sebenarnya alun-alun sebesar ini tidak bisa dimanfaatkan karena ditutup dan terkunci rapat,” ujar perempuan yang kerap membantu saudaranya berjualan di salah satu lapak dekat Alun-alun Utara.
“Kebersamaan warga yang biasa terlihat seperti hilang,” sambungnya.
Baca halaman selanjutnya