Sosoknya punya peran penting dalam sejarah Indonesia. Ia ditugaskan oleh Bung Karno untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo agar setuju untuk menghilangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang jadi mukadimah Undang-undang Dasar 1945.
Sukarno berjanji, 7 kata tersebut akan kembali dibahas 6 bulan kemudian. Di kemudian hari karena kerap menagih janji itu pada Bung Besar, Kasman Singodimedjo masuk bui dengan tuduhan subversif.
***
Saat hadir pada pameran lukisan bertema Bung Karno yang diselenggarakan oleh Kantor DPC PDI Perjuangan Purworejo, pikiran saya justru tertuju pada sosok Mr. Kasman Singodimedjo. Saya pernah membaca buku karya Kusnan Kadari yang ditulis tahun 2017. Dalam buku itu disebutkan almarhum Jenderal A.H Nasution mengatakan bahwa pemuda pejuang selalu menyebut nama Sukarno-Hatta-Kasman Singodimedjo.
Pahlawan asal Desa Clapar, Bagelen, Purworejo
Sebelum kemerdekaan ia adalah komandan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sosoknya juga yang jadi pasukan pengaman saat dilangsungkan pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno-Hatta.
Mengapa saya langsung teringat dengan sosoknya? Kasman Singodimedjo adalah salah satu tokoh nasional kelahiran Purworejo, tempat saya tinggal sekarang. Ia lahir di Desa Clapar, Kecamatan Bagelen. Tahun 2018 ia mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah.
Soal Kasman dan Desa Clapar ini bukan hal baru bagi saya. Sebab sekira tahun 2019, saya pernah dimintai tolong mengantar putri bungsu Kasman Singodimedjo, namanya Prof. Dr. drg. Dewi Nurul Mustaqimah dan kerabat lainnya menghadap Bupati Purworejo RH. Agus Bastian alu mengunjungi Desa Clapar untuk nglarah sedulur, napak tilas singkat di desa kelahiran ayah beliau.
Pada Rabu 22 Juni 2022, saya akhirnya datang lagi ke Desa Clapar untuk menggali cerita tentang Kasman Singodimedjo. Saya bertemu dengan Bambang Suwaryo (71) keponakan Kasman Singodimedjo.
“Setiap tahun atau maksimal tiga tahun sekali, ia pulang ke Desa Clapar, ketemu dengan saudara-saudara dan warga di sini,” kata Bambang menceritakan sosok Jaksa Agung Indonesia periode 1945-1946 ini.
Saat masih hidup dan pulang kampung ke Bagelen, warga mengenalnya sebagai orang hebat yang tidak melupakan asal-usulnya. “Mr Kasman itu perawakannya tinggi, besar, hidungnya mancung, jika pulang kampung, pasti selalu bagi-bagi uang atau kain untuk kerabat dan warga, beliau sangat dermawan,” tambahnya menceritakan sosok yang juga pernah jadi Rektor Universitas Islam Indonesia ini.
Bambang mengatakan jika Kasman juga bukan sosok yang angkuh apalagi sombong. Dia orang besar yang tidak mau menunjukkan kebesarannya. “Sama saudara juga baiknya luar biasa, tidak pilih-pilih dalam komunikasi, kami kerabatnya tidak perlu mundhuk-mundhuk sama beliau,” terangnya.
Bambang lantas mengajak saya ziarah ke makam almarhumah Kartini, ibu Kasman Singodimedjo. Bambang lantas memetik beberapa kuntum bunga mawar dan asoka di depan rumahnya.
“Hati-hati ya mas, jalannya menanjak dan licin,” Pak Bambang mengingatkan saya yang mengemudikan motor, memboncengkannya. Makam almarhumah Kartini berada di bawah pohon besar. Nisannya kecil, subur lumut, sampai melapukkan ukiran nama yang tertera di badan nisan. Di sebelah makam itu, ada dua makam lain, ukurannya sama, sama-sama berlumut, menandakan umurnya yang sudah puluhan tahun.
“Yang dimakamkan di sini hanya ibu Mr Kasman, namanya Simbah Kartini,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, Eyang Singodimedjo suami dari Simbah Kartini wafat saat menunaikan ibadah haji. “Saya lupa tahunnya, tapi ingat saya dari penuturan orang tua, jika Eyang Singodimedjo wafat dan dimakamkan di Arab Saudi,” ungkapnya.
Ketika itu, katanya, ayah dan ibu Mr Kasman berangkat haji berdua. Konon, lama perjalanan haji kala itu adalah tiga bulan. Selesai ibadah, hanya Kartini sendirian kembali ke Indonesia, sedangkan almarhum Singodimedjo dimakamkan di sana.
Usai nyekar ke makam, saya lantas diajak ke bekas rumah masa kecil Kasman Singodimedjo. Tapi, sudah tidak ada rumah di sebidang tanah luas kurang lebih 1.000 meter persegi itu. Hanya hamparan kebun jati saja. “Sudah tidak ada bekasnya, paling sekarang masih ada sumur yang dulu digunakan keluarga Singodimedjo, sekarang airnya dimanfaatkan warga sekitar,” tuturnya.
Asal usul Mr. di depan nama Kasman Singodimedjo
Selepas berkunjung ke Desa Clapar saya membuat janji dengan Kusnan Kadari, dia adalah pemerhati sejarah sekaligus Kepala SMPN 26 Purworejo. Kusnan menulis buku Pahlawan Tanpa Gelar Pahlawan – Kasman Singodimedjo – terbit tahun 2019. Ia juga menjadi bagian dari tim pengkaji yang mengusulkan gelar pahlawan untuk Kasman Singodimedjo.
Kusnan Kadari memberikan gambaran yang lebih jelas tentang sosok Kasman Singodimedjo, termasuk tentang gelar Mr di depan nama Kasman, yang ternyata bukan “Mister” atau tuan.
Kasman Singodimedjo lahir di Desa Clapar 25 Februari 1904, tapi pada beberapa catatan ditulis tahun 1908. Diduga hal itu berkaitan dengan pencatatan tanggal lahir untuk kepentingan masuk sekolah.
Ayah Kasman Singodimedjo adalah seorang lebai atau modin, dan pernah bekerja sebagai carik atau sekdes, pernah juga sebagai gewapende politie dienaar atau polisi desa yang dipersenjatai. “Kalau ibunya berjualan kain dari satu pasar ke pasar yang lain,” ucapnya.
Kasman tumbuh besar menjadi sosok pandai dan mandiri. Bahkan, sampai membiayai pendidikannya sendiri, hingga membantu biaya pendidikan dua adik perempuannya Kasiyem dan Surtiyati.
Setelah lulus Hollandsch Inlandsche School (HIS) Kwitang Jakarta dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang, Kasman melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS), kemudian ke School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran.
Belum selesai, ia pindah ke Recht Hogeschool (RHT) atau sekolah hukum zaman Belanda. Setelah lulus RHT, Kasman mendapat gelar Mr. atau Mesteer van de Rechten alias gelar magister atau master dalam bidang hukum.
Menagih janji pada Sukarno
Mr. Kasman ini punya banyak peran dalam masa pergolakan fisik, tapi jalurnya lebih ke diplomasi dan lobi-lobi sehingga Indonesia bisa merdeka. Antara lain, ketika ia menjadi komandan batalyon (daidanco) PETA, ia mendorong daidanco lain untuk tidak menyerahkan senjata kepada Jepang/Sekutu, ketika mendengar Jepang kalah perang dari sekutu.
Kemudian, diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pada 18 Agustus 1945 bersidang merumuskan UUD 1945. Dalam persidangan itu juga muncul tarik ulur pendapat untuk mengubah bagian pembukaan UUD 1945 yang tertuang dalam Piagam Jakarta, yakni “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tarik ulur itu, kata Kusnan, begitu alot karena beda pendapat antara kelompok Islam dan nasionalis. Salah satu yang paling kuat memegang prinsip sesuai Piagam Jakarta yang disetujui Panitia Sembilan BPUPKI 22 Juni 1945, adalah Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo.
“Maka Sukarno meminta tolong kepada Kasman Singodimedjo untuk ‘melunakkan’ hati Ki Bagus Hadikusumo. Sukarno paham betul kedekatan antara Kasman dengan Ki Bagus,” tuturnya.
Menurutnya, Kasman menuruti permintaan tersebut karena ada janji bahwa isi Piagam Jakarta akan dibahas lagi setelah enam bulan. Janji itu disebut Kasman sebagai gentlemen agreement. “Akhirnya berhasil lunak, Ki Bagus Hadikusumo bisa menerima usulan perubahan Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa,” ucap Kusnan.
Kasman Singodimedjo juga menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) 1945-1946, Jaksa Agung RI pada 1945-1946, dan Menteri Muda Kehakiman 1947-1948. Kiprah luar biasa Kasman Singodimedjo lainnya adalah ketika ditunjuk Sukarno menjadi penasehat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag Belanda. Kasman mendampingi Bung Hatta dan M Roem.
Kusnan mengatakan, Kasman berupaya menagih janji gentlemen agreement tentang Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD 1945. Kasman merasa memiliki utang pada Ki Bagus Hadikusumo, yang akhirnya menyetujui perubahan Piagam Jakarta sesuai permintaan Sukarno. “Kasman memilih jalur diplomasi damai, tidak memberontak seperti Kartosuwiryo dengan DI/TII-nya. Tapi pemikiran Kasman itu yang menjadikannya musuh politik,” terangnya.
Karena menagih janji 7 kata yang hilang dalam Piagam Jakarta itu, Kasman dan Sukarno kemudian berseteru. Alhasil, Kasman pernah merasakan hidup di balik jeruji ketika ditangkap pada tahun 1958 karena dituduh subversif. Tuduhannya ingin mengganti Pancasila dengan Islam.
Hidup itu berjuang
Pada zaman Orde Baru pun serupa, Kasman yang dianggap cerdik pandai dan memiliki pengaruh, selalu dimata-matai oleh pemerintah. “Istilahnya Kasman Singodimedjo mendapat perhatian khusus, karena dianggap terlalu kanan,” ucapnya.
Meskipun Kasman gagal memperjuangkan gentlemen agreement, Mr Kasman Singodimedjo tetap sami’na wa atho’na kepada pemerintah, ikhlas. Ia tidak pernah memusuhi pemerintah atau pribadi Sukarno. Dibuktikan dengan Kasman melayat ketika Sukarno wafat tahun 1970, bahkan turut mengantar jenazah ke peristirahatan terakhirnya di Blitar.
Kasman Singodimedjo, kata Kusnan, memegang teguh prinsip “Hidup itu berjuang” dan “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin itu jalan menderita”. Hingga akhir hayatnya Kasman Singodimedjo terus berjuang, menyuarakan jika Pancasila belum dihayati dengan baik oleh masyarakat. Ketika berpulang tahun 1982, Kasman pun berpesan untuk dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta, bukannya menuntut harus di makam pahlawan.
Menyitir dari prinsip hidup itu, maka bagi Mr Kasman, hidupnya harus didedikasikan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan agama. Itu sudah dilakukannya sejak aktif menjadi pengurus Jong Java tahun 1923, kemudian mendirikan Jong Islamieten Bond tahun 1925, dan seterusnya. Sampai turut menandatangani Petisi 50 tahun 1980, sebagai bentuk keprihatinan atas kebijakan Presiden Soeharto yang menggunakan Pancasila untuk menekan lawan-lawan politiknya.
Apapun sikap pemerintah kepadanya semasa hidup, Kasman membuktikan bahwa ia adalah muslim yang nasionalis, loyal kepada bangsa, dan sangat demokratis.
“Ya sejak dulu, sebenarnya tidak memusingkan soal gelar pahlawan, paling penting adalah kami bangga memiliki saudara seperti Mr Kasman, kami tahu beliau sudah berjuang untuk bangsanya,” terang Bambang Suwaryo kepada saya, sambil ngopi dan makan mi rebus di warung dekat gilingan batu Desa Soko Bagelen, tak jauh dari rumahnya.
Reporter: Jarot Sarwosambodo
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Minggu Bersama di Tepikota, Menikmati Kuliner Jawa Timur di Jogja dan liputan menarik lainnya di rubrik Susul.