Terlepas dari wabah tertawa di Tanganyika, Tanzania, pada tahun 1962 yang merenggut ratusan nyawa, tertawa adalah kegiatan yang banyak manfaatnya. Hasil penelitian di berbagai belahan dunia membuktikan bahwa tertawa mampu menghilangkan stres, mencegah penyumbatan pembuluh darah, memperbaiki sistem kekebalan tubuh, hingga, konon, memperpanjang usia seseorang. Sebab itulah manusia pada umumnya senang tertawa.
Meskipun manusia mampu tertawa tanpa rangsangan dari luar—ketika mengingat kejadian konyol atau menderita korsleting otak, misalnya—sulit membayangkan dunia tanpa kehadiran komedian. Dan dalam hal ini, tiap orang memiliki komedian favoritnya masing-masing.
Anda bisa jadi mengagumi Charlie Chaplin sebesar Anda menggandrungi Mr. Bean dan Warkop DKI dan Srimulat; mereka membuktikan bahwa menjadi lucu tak harus menghina orang dan mengundang penonton bayaran.
Generasi gawai saat ini barangkali merindukan Caesar YKS sembari diam-diam menunggu kehadiran program serupa; mengangkat ban truk dan adu panco dan bertukar joke dengan saling berteriak. Kadang memang menggelikan. Tapi, ah, siapa yang sebenarnya berhak menghakimi naluri ketawa orang lain?
Sementara saya—salahkah saya bila mengidolakan politikus?
Hal tersebut saya sadari kali pertama di era awal kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati, ketika itu ditanya wartawan mengenai bagaimana perasaannya yang dikalahkan oleh mantan menterinya sendiri. Blio menjawab dengan lantang:
“Saya nggak kalah dari SBY. Saya cuma kekurangan jumlah suara.”
Takjub saya mendapati Mbak Mega ternyata mampu melucu. Tetapi, sejak itulah saya mengidolakan politikus, seraya menduga bahwa era SBY akan disesaki beragam aksi jenaka mereka, dan betapa bahagianya saya mendapati dugaan saya tak keliru.
Masa pemerintahan SBY kemudian selalu saya rindukan, mengingat tak banyak politikus di era Presiden sebelumnya yang gemar merepet dan merajuk dan memaki. Dan, tentunya, melempar kursi dan benda apa pun saat sidang.
Meski SBY telah lengser dan membawa serta kader-kader partainya yang jenaka pergi dari Senayan, tingkah kocak politikus toh tetap tak berhenti. Namun, rupanya gaya melawak yang mengandalkan kursi dan meja dan mikrofon telah usai, berganti dengan kebiasaan senang bersumpah dan mencelakai diri. Agak-agak masokis, tapi kita harus tetap tangan karena ini tanda era baru telah dimulai.
Semua bermula di pengujung masa pemerintahan SBY. Ujian pelik berupa sengkarut korupsi Hambalang, yang dilakukan oleh petinggi partainya sendiri, membuat posisi SBY terpojok. Bendahara Demokrat berhasil kabur, menggondol uang hasil korupsi dan berkicau dari tempat persembunyiannya perihal nama-nama lain yang tersangkut kasus ini—yah, tak pernah ada manusia yang senang menderita sendirian, bukan?
Kicauannya kemudian membuat Anas Urbaningrum dicokok KPK.
“Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja saya korupsi di Hambalang, gantung saya di Monas,” ujar Anas Urbaningrum. Ketika itu ia masih berstatus tersangka, tampak cukup sehat dan waras sehingga membuat siapapun yakin bahwa ucapannya adalah penegasan dirinya yang tak bersalah. Ayolah, tak ada orang yang senang digantung di manapun, di monumen kebanggaan bangsanya sekalipun.
Hingga kemudian waktu membuktikan kalau Anas Urbaningrum bersalah. Namun begitu, ia masih ngeyel dan merasa dizalimi ketika vonis telah dijatuhkan. Entah berapa banyak orang yang menyarankannya untuk bersyukur tetap utuh dan hidup selama menjalani hukuman.
Saya pribadi tak pernah nyaman dengan humor sarkastik. Oleh sebab itu, saya gagal tertawa ngakak seperti dulu, saat proyek super toy dan blue energy berhasil membuat SBY tampak tak begitu pintar—ah, SBY, kapan dikau menjabat lagi? Saya lantas berdoa dengan tulus agar tak ada politikus yang berniat mencelakai diri lagi. Mereka, bagaimanapun, lebih lucu saat hidup ketimbang mati.
Doa saya tak terkabul. Sayang sekali.
Kali lain, sang daredevil tak berasal dari ranah politik. Ahmad Dhani, musisi pendukung Prabowo Subianto saat musim Pilpres 2014 lalu, menulis di akun Twitter pribadinya dengan melupakan kaidah tata bahasa. Ia menyalakan Caps Lock dan membubuhi banyak tanda pentung demi mengejar kesan dramatis.
“Saya akan potong kemaluan saya kalau Jokowi bisa menang dari Prabowo Subianto!! Itu sumpah saya!!”
Luar biasa, ini bukan sumpah main-main, mengingat sebagian besar pria waras lebih senang mati digantung di Monas daripada kehilangan kejantanan. Diucapkan oleh seorang Ahmad Dhani pula, bertambah yakinlah saya kalau Jokowi bakal keok.
Tetapi, Jokowi ternyata menang. Dan banyak orang kemudian bertanya-tanya: bagaimana nasib kelamin Ahmad Dhani?
“Nah, ini juga nggak pernah membaca berita. Dia nggak tahu kalau kita udah jumpa pers bahwa Twitter yang bilang saya potong kelamin itu palsu,” kilah Dhani kepada host “Dear Haters”, Iwan Setyawan, menanggapi sikap netizen yang tak sabar menanti dia memenuhi sumpah.
Syukurlah, ternyata kabar soal nazar Ahmad Dhani itu hanya rekayasa digital oleh oknum tak jelas. Dan memang sebaiknya begitu. Dhani butuh organ yang lengkap untuk bahagia dan tetap waras. Saya tak bisa membayangkan betapa makin norak dirinya seumpama ia betulan dikebiri.
Setelah Ahmad Dhani, pemain debus kali ini seorang Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Abraham Lunggana, yang kondang disapa Lulung, tampaknya diciptakan untuk menjadi seteru abadi Gubernur Jakarta, Ahok.
Pada mulanya, mereka berselisih paham dalam kasus korupsi pengadaan UPS, Uninterruptible Power Supply, di pelbagai sekolah di Jakarta. Lulung, yang saking marahnya hingga salah menyebut UPS dengan USB, melontarkan pernyataan yang membikin gemetar siapapun:
“…Saya tak terima nama saya disebut dalam skema aliran uang suap oleh Tempo. Saya punya anak-istri. Jika saya terlibat korupsi UPS, saya berani bersumpah, saya mati sekeluarga. Kubur hidup-hidup saya.”
Selang beberapa lama, ia kembali berikrar ganjil. Lulung, tampaknya, memiliki hormon adrenalin yang berlimpah ruah sehingga kecanduan tantangan. Selamat dari liang kubur tempo hari, ia kini melemparkan dirinya ke situasi pelik dan berdarah-darah yang sebetulnya sama sekali tak lucu.
“Saya mau iris ini, kuping saya, kalau dia mau ke independen,” ujar Lulung, menanggapi pilihan Ahok maju di jalur independen dan bukannya membonceng parpol. “Waktunya selama pendaftaran, kalau dia pendaftaran sama independen, nih, gua potong nih, sampai putus dua-duanya,” tambah Lulung sambil memamerkan kupingnya.
Harus saya katakan bahwa hari-hari menjelang batas pendaftaran adalah hari yang berat untuk dijalani Lulung. Walau bagaimanapun, Lulung adalah wakil rakyat, dan tugasnya yang utama adalah mendengar aspirasi rakyatnya. Maka, Anda bisa bayangkan dengan apa ia mendengar bila kedua kupingnya tak ada?
Namun, sungguh beruntung kita memiliki pemimpin yang bijak bestari seperti Ahok. Ia tahu bahwa Lulung orang yang nekat, maka ia tak sampai hati merusak penampilan rekan sekaligus rivalnya itu dengan sikap politiknya. Dengan legawa ia pun memilih berada dalam lindungan partai dan mengabaikan Teman Ahok yang selama ini berjuang mengumpulkan dukungan untuknya maju lewat jalur independen.
Semua itu demi keutuhan kuping Lulung belaka. Secara luas: demi dramaturgi kekonyolan khas para politikus kita yang menggemaskan.
Sebab politikus, dalam fungsinya yang paling minim, selalu berupaya membuat rakyatnya tertawa. Dan sama sekali tak ada kelucuan dari nyawa yang melayang atau organ tubuh yang terbuang. Apalagi kuping yang mesti putus hanya karena perselihan paham. Ahok sudah tentu mengetahui hal tersebut.
Saya kira, kelak akan tiba saatnya orang berbondong-bondong memutilasi diri demi menegaskan ucapannya. Percayalah, hal tersebut tak akan lama lagi menjadi tren. Di pojok sana sudah ada seorang pesohor yang diam-diam sudah merencanakan hal ini. Kita tunggu saja kabar baiknya.