[MOJOK.CO] “Persekusi itu enak kalo soal kelamin. Kalo soal nalar kekerasan, ya nggak enak.”
Kemarin sempat heboh berita persekusi yang dialami oleh muda-mudi di Cikupa, Tangerang. Tragedi ini berawal dari kecurigaan ketua RT setempat bahwa mereka berbuat mesum. Ketua RT yang kepo ini lantas mengorganisir massa untuk melakukan penggrebekan di rumah kos tersebut, dan yang lebih ngerinya lagi, kerumunan massa barbar tersebut bukan hanya mendobrak paksa, malah juga merundung pasangan muda-mudi malang itu.
Udah gitu aja? Tidak, tindakan keji ini dilanjutkan dengan mengarak pasangan tak bersalah itu keliling kampung. Luar biasa biadab! Manusia kok ya ga ada kemanusiaannya sama sekali. Hih. Meski pihak kepolisian dengan sigap sudah menyelidiki dan menetapkan tersangka atas persekusi membabi buta ini, namun tetap saja luka yang dialami oleh kedua korban terutama secara mental, akan meninggalkan beban moral dan kesulitan pada mereka dalam menjalani hidup ke depannya.
Berita yang berkembang juga kemudian menjelaskan bahwa kedua pasangan itu tidak sedang mesum. Si lelaki datang untuk menyambangi calon istrinya. Tapi, masyarakat yang punya stok moral lebih tapi otak minus itu keburu curiga. Pokoknya tabayun itu nanti kalo ketahuan salah, kalo belum ketahuan salah, hajar dulu. Yang lebih ngeri, mereka dipaksa telanjang, melucuti pakaian si perempuan, dan menuduh mereka berzina. Bahkan dalam dunia binatang perilaku semacam ini tak pernah ditemukan.
Kalau diperhatikan, ini bukan pertama kalinya masyarakat kita melakukan glorifikasi persekusi atau menghakimi sesuka hati berjamaah dalam urusan berbau seksual, mesum, atau apalah namanya. Belum lama ini kasus rekaman video revenge porn juga menjadi topik panas, semua berlomba memaki, menuduh perempuan dalam video tersebut murahan, pecun, namun pada saat bersamaan juga tanpa segan ikut meminta link, melampirkan potongan video, diikuti jokes-jokes receh sampah yang menganggap manusia di dalam video itu sudah tak layak dianggap manusia hanya karena melakukan hubungan seks.
Ada yang salah dengan masyarakat kita.
Seandainya persekusi seperti yang dialami oleh pasangan muda-mudi tersebut, ditelanjangi, diarak keliling kampung, direkam dan disebarluaskan (ah, hatiku masih pedih membayangkannya), atau merundung di media sosial seperti yang dilakukan pada perempuan pemilik video revenge porn kemarin, seandainyalah dilakukan atas dasar agama, maka agama manakah yang mengajar mempermalukan orang lain sedemikian rupa?
Agama mana yang menyuruh pemeluknya bersikap barbar padahal mereka tinggal di negara yang memiliki dasar hukum? Misalnya moral yang dijadikan alasan, maka aduhai, manusia bermoral manakah yang akan berpikir menelanjangi orang lain sebelum duduk berunding saling mendengarkan?
Siapakah yang sebenarnya lebih tidak bermoral? Mereka yang dituduh mesum tanpa bukti kuat atau yang menuduh dan menghakimi dengan ganas? Ini jelas retorika, tapi banyak dari kita seolah lupa kalau otak itu digunakan untuk berpikir bukan berprasangka buruk doang. Atau moral seperti apa yang menyebarluaskan rekaman video seks orang lain, dan saat bersamaan menghujat seolah kita tidak memiliki hasrat seksual yang sama.
Moral seperti apa yang sedang kita jaga sebenarnya?
Akan tetapi, respons masyarakat kita berbeda 180 derajat jika dihadapkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Baik terhadap pasangan atau anak. KDRT sama sekali bukan berita baru, saban hari situs berita memuat berita pemukulan, pembunuhan, penganiayaan terhadap pasangan. Menurut data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan Indonesia, ada 259.150 kasus kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016, mencakup kekerasan seksual yaitu pemerkosaan dan pencabulan, kekerasan fisik dan psikis, dan perdagangan orang. Terhadap anak pula KPAI mencatat 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun ini, itu tidak termasuk kekerasan dalam bentuk fisik seperti memukul, melukai, yang dilakukan oleh orang-orang dekat atau anggota keluarga.
Tapi itu kan cuma angka, statistik belaka, lagian ini bukan Tirto, ini Mojok. Siapa yang peduli berapa anak-anak yang mati dibunuh keluarganya sendiri? Siapa yang peduli berapa banyak istri yang digebukin suaminya sendiri? Siapa juga yang peduli berapa keluarga yang mengalami trauma mental karena mengalami kekerasan menahun? Wong dalam agama memukul istri dan anak itu ada panduannya, situ mau melawan ajaran agama?
Bahwa kita kerap tak adil dalam membaca teks agama, itu kan urusan masing-masing. Kalo zina, itu baru urusan rame-rame.
Namun apa boleh bikin, ini Indonesia, Bung. Saya jarang melihat antusiasme netijen Indonesia beramai-ramai mengutuk, mencaci, menista pelaku KDRT serupa seperti memaki yang terlibat urusan berbau seks. Jangankan di media sosial, bahkan meski terjadi di depan mata dan sudah dalam tahap membahayakan nyawa sekali pun, kita bisa dengan gampang melengos sambil ngomong, “Ah, biarkanlah. Itu urusan rumah tangga mereka. Itu kan anaknya sendiri, kita nggak usah ikut campur.”
Lantas kenapa urusan kelamin orang lain kita merasa berhak ikut campur? Bah, macam mana pula ini? Ingin memaki tapi kok ya kebangetan.
Kebanyakan kita memang suka sekali ngurusi urusan remeh dan yang jelas sekali terang benderang bukan urusan kita. Lihat saja bagaimana kita heboh bukan main membahas Sunu dan Umi Pipik yang diduga nikah siri, seolah mereka nggak berhak memiliki apa yang disebut privasi. Banyak yang mencela Umi Pipik sebagai pelakor syar’i, menyuruhnya lepas hijab saja sebab tak sesuai dengan sikap tak bermoralnya yang merebut suami orang.
Ya kekgitulah memang bangsa ini, kalau sama perempuan bukan main dahsyat bencinya. Rina Nose memutuskan lepas hijab dengan alasan pribadi (ya sebetulnya dia nggak perlu ngasih alasan atau jelasin ke siapa pun sih) dihujat, katanya jadikan hijab mainan doang, muslimah jadi-jadian.
Sementara Umi Pipik udah pakai hijab mengikut syariat, malah disuruh buka hijab saja dan dipertanyakan moralnya. Kau tengoklah, perempuan bahkan nggak berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukannya dengan tubuh sendiri, bahkan dalam urusan sesederhana berbusana. Tapi, nggak ada pula yang nyuruh Sunu nggak usah pakai sorban atau jubah, karena nggak sesuai dengan kelakuannya yang nikah lagi tanpa izin istrinya, nggak ada yang mempermasalahkan moralnya yang nggak matching sama penampilannya yang islami. Kelakuan bangsa ini memang
Itulah kubilang, ada yang salah dengan masyarakat kita. Pemikiran kita gagal maju sejalan dengan kemajuan teknologi dalam genggaman kita. Kita lebih memilih memusatkan perhatian pada ranah pribadi paling dasar manusia, mengusik pilihan orang lain dalam soal pindah agama, menjadikan perempuan yang memilih membuka jilbab sebagai bahan cemoohan, membongkar urusan paling pribadi orang lain.
Kita gagal menjadi manusia yang berkemanusiaan. Aib orang lain kita korek habis-habisan, untuk kemudian mengunyahnya beramai-ramai. Ya, kita tak ubahnya bagai burung pemakan bangkai.