Jurnalis Dandhy Dwi Laksono adalah penulis yang kami kagumi. Selain aktif dengan kegiatan dokumenternya di WatchdoC, ia juga responsif menanggapi isu politik terkini lewat status-statusnya di Facebook. Jernih, perspektifnya tidak klise, dan kental dengan data, itulah ciri khasnya. Termasuk ketika menanggapi eskalasi represi militer kepada orang-orang Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Kemarin, sehari sebelum peringatan wafatnya aktivis HAM Munir Said Thalib, kabar itu muncul di Facebook. Dandhy dilaporkan ke Polda Jatim karena status Facebooknya berjudul “Suu Kyi dan Megawati” (dimuat ulang Aceh Kita) dituduh mencemarkan nama baik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi. Pelapornya adalah organisasi sayap PDIP bernama Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem). Dengan memanggul nama “demokrasi” dan fakta bahwa yang dirangkai dalam tulisan Dandhy tersebut adalah fakta sejarah, pelaporan itu justru membuat Repdem sedang mencemarkan nama baiknya sendiri.
Berikut keterangan Dandhy soal pelaporan itu dan respons rekan-rekannya di Facebook.
***
Dandhy Dwi Laksono: SOLIDARITAS ITU. Kawan-kawan, terima kasih untuk semua reaksi dan solidaritasnya yang belum dapat saya balas satu per satu. Juga mohon maaf untuk rekan media yang sepanjang hari berusaha menghubungi tapi belum sempat saya respons.
Pertama, seperti halnya kita semua, saya juga terkejut dengan pelaporan itu. Alih-alih mendapat kiriman artikel bantahan atau perspektif pembanding, yang datang justru kabar pemolisian.
Kedua, kawan-kawan pengacara dari berbagai lembaga bantuan hukum maupun individu-individu, menyarankan agar semua respon terkait kasus ini hendaknya terukur. Saran ini agak mengganggu kebiasaan saya yang cenderung lebih spontan. Tapi mereka banyak benarnya.
Yang sedang kami lakukan adalah mengumpulkan informasi apakah ini semata sikap reaksioner sekelompok partisan politik yang memanfaatkan “pasal-pasal karet” dalam UU ITE dan KUHP, atau sebuah varian represi baru bagi kebebasan berpendapat tanpa mengotori tangan dan citra kekuasaan.
Meski keduanya sama-sama ancaman bagi demokrasi, namun kesimpulan atas kedua hal itu tentu menuntut respons yang berbeda.
Ketiga, hari-hari ini banyak persoalan yang menuntut perhatian publik lebih besar, seperti kasus petani Kendeng yang mengalami kriminalisasi dan pembongkaran tenda keprihatinan di Jakarta, peringatan 13 tahun pembunuhan Munir, dan melanjutkan solidaritas terhadap warga Rohingya.
Bahkan, ada pelaporan tiga media massa terkait kasus Novel Baswedan, pemenjaraan para pemrotes proyek pembangunan alun-alun di Gresik, pemenjaraan pengacara yang selama ini mendampingi nelayan di Bangka, kriminalisasi warga Banyuwangi yang menolak tambang emas dengan delik penyebaran komunisme, hingga terbunuhnya warga di Papua dalam sebuah insiden dan aparat pelakunya hanya divonis meminta maaf.
Dibanding kasus-kasus tersebut, apalagi penangkapan 4.996 orang Papua sepanjang 2016 dan tragedi Rohingya, kasus pelaporan ini tentu tidak ada apa-apanya.
Tapi kami juga sadar, pelaporan ini telah memicu keresahan umum yang daftar korbannya telah dan bisa lebih panjang, dan karenanya harus disikapi melampaui kasus individu yang butuh mediasi atau perdamaian. Sebab memang tak ada yang perlu dimediasi atau didamaikan dari tulisan itu. Secara pribadi, saya tidak pernah punya masalah dengan kelompok partisan itu atau pihak yang mungkin menggerakkannya. Karena itu, sekali lagi, respon dan pernyataan yang lebih terukur sedang disusun oleh kawan-kawan yang mendampingi kasus ini.
Keempat, langkah polisi atas pelaporan ini juga akan ikut menentukan sikap apa yang kita semua harus lakukan di tahap selanjutnya.
Demikian, terima kasih dan sungguh merasa terhormat dengan segala solidaritas yang telah kawan-kawan tunjukkan.
Salam.
Eko Sulistyanto: Om Ade Armando dilaporkan, Kak Jonru dilaporkan, Bro Dandhy Dwi Laksono dilaporkan, Koh Ahok dilaporkan, Tuan Buni dilaporkan, pemerintah juga dilaporkan. Publik makin terbiasa menempuh jalur hukum.
Metta Dharmasaputra: Pelaporan Dandhy Dwi Laksono ke Polisi adalah sebuah kesalahan fatal yang justru bakal memukul balik PDIP sebagai motor demokrasi dan reformasi. Dalam banyak hal saya pun berseberangan pandangan dengan Dandhy, meski tak sedikit yang bersepakat dengannya.
Di kasus pajak Asian Agri, kami bahu-membahu. Tapi di kasus Century kami berjibaku. Hingga akhirnya bersepakat untuk tidak sepakat. Dan itu, wajar saja. Terakhir kami berkolaborasi dalam penayangan film “Yang Ketujuh” dari Kota Tua hingga XXI.
Apakah itu penanda sudah bersatunya pandangan? Rasanya jauh panggang dari api. Kami malah mungkin bisa saling mengejek dan berkelakar, neolib dan sospol (sosialis-populis) tak bisa dipersatukan. 🙂