MOJOK.CO – Wacana dipasangkannya JK dengan AHY menuai banyak tanggapan. Ruhut Sitompol, mantan politisi Partai Demokrat, menganggap hanya ada sedikit kemungkinan JK rela jika disandingkan dengan AHY.
Partai Demokrat menginginkan Jusuf Kalla (JK) bersedia disandingkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon presiden dalam laga Pilpres 2019 mendatang. Wacana ini awalnya sempat dianggap berbahaya untuk petahana Jokowi. Pasalnya, jika ini terwujud, kekuatan sumber daya yang dimiliki Jokowi dapat berkurang. Apalagi ada yang menyebut, mereka bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi. Tua-muda, luar Jawa-Jawa, sipil-militer.
Namun, ketakutan yang muncul di awal tersebut justru saat ini berbalik. Banyak pihak yang merasa tidak yakin duet tersebut dapat terwujud.
Partai Nasdem mengungkapkan wacana poros ketiga sulit untuk terbentuk. Selain itu, hal ini juga terganjal dengan syarat ambang batas capres sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara di Pilpres 2004. Hal ini dikarenakan, sejauh ini duet tersebut hanya didukung oleh Partai Demokrat saja.
Selain itu, politikus Partai Golkar, Maman Abdurahman, menganggap sebaiknya AHY tidak dipaksakan untuk ikut berlaga dalam Pilpres karena masih sangat prematur. Ia berharap SBY akan bersikap bijak untuk hal ini.
Mantan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, justru menganggap JK tidak akan mau jika disandingkan dengan AHY sebagai calon presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Ada tiga hal yang diperkirakan akan menyebabkan JK enggan dengan duet tersebut.
Pertama, karena rasa sakit hatinya kepada SBY sejak Pilpres 2009 lalu tidak dapat hilang begitu saja. Saat itu, JK masih ingin mendampingi SBY sebagai Wakil Presiden. Namun, ternyata itu hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. SBY justru memutuskan untuk membentuk tim 8 yang bertujuan mencari pengganti JK.
Oke fix, ini jelas-jelas ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, terus didatengin lagi hanya karena ada maunya doang. Males nggak, sih?
Kedua, dalam perhitungan elektabilitas, angka AHY masih cukup rendah. Menurut data survei Indobarometer yang dilakukan pada 15-22 April 2018, di 34 provinsi dengan 1.200 responden, elektabilitasnya masih mencapai 2,0 persen saja. Hal ini sangat jauh dibandingkan Jokowi sebesar 40 persen dan Prabowo 19,7 persen.
Menurut Ruhut, hal ini dikarenakan karier politik putra sulung SBY ini masih terlalu dini. Ia juga merupakan politikus pendatang baru bagi perpolitikan Indonesia.
Elektabilitas AHY bisa menjadi lebih tinggi jika sebelum memulai laga Pilgub DKI 2016 ia telah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Modal politiknya masih dianggap kurang mumpuni dibandingkan Romahurmuzy yang menjabat sebagai Ketua Umum PPP atau Muhaimin Iskandar yang menjadi Ketua Umum PKB. Apalagi, karier terakhirnya di militer masih berpangkat mayor. Menurut Ruhut, pangkat ini masih sekelas kecamatan saja, sama seperti Kapolsek atau Koramil.
Dengan elektabilitas sekecil itu, sangat kecil kemungkinan JK bersedia untuk dipasangkan.
Ketiga, selain modal politik yang masih kurang mumpuni, modal kekayaannya pun masih belum bisa dikatakan besar. Kekayaan AHY dianggap tidak terlepas dari peran SBY. Ketika mengajukan diri sebagai Gubernur DKI 2016 kemarin, kekayaan yang dilaporkan nilainya cukup fantastis, yakni mencapai Rp21 miliar. Tentu saja hal ini membuat publik sulit percaya. Sebab, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2015 Tentang Peraturan Gaji anggota TNI menyebutkan gaji seorang mayor hanya mencapai Rp 2,9 juta.
Kalau kebanyakan masyarakat tidak percaya dengan kekayaan seorang tokoh karena dianggap hartanya lebih besar daripada yang dilaporkan, AHY justru mendapat stigma sebaliknya. Sungguh, AHY memang beda! (A/L)