Sudah berkali-kali ada guru dilaporkan orang tua wali murid dengan tuduhan tindak pidana kekerasan. Dunia maya bergerak. Terbelah dua. Sebagian membela para guru. Sebagian lagi membela orang tua wali murid.
Bagi yang membela orang tua wali murid, mereka mengatakan bahwa bukan begitu cara guru dalam mendidik anak. Bahkan ada selebtwit yang langsung ngetwit: “Gua belum pernah mencubit atau menjewer anak gua, kalau anak gua disentuh sama gurunya, gua lapor polisi. Peduli amat.”
Sementara yang membela guru, juga tak kalah kerasnya. Sebagian bilang begini, “Kalau semua ‘kejahatan’ anak dilaporkan balik ke polisi, penjara bakal penuh. Tawuran dilaporkan. Menyontek dilaporkan. Merusak fasilitas publik seperti mencoret-coret meja, kursi, dan tembok sekolah juga dilaporkan. Tapi para guru memilih tidak melaporkan ke polisi.”
Ada juga yang bilang, “Kalau gak mau dijewer guru ya didik saja sendiri anakmu.”
Perdebatan jadi seru tapi makin nggak bermutu. Lebih banyak gula daripada kopinya.
Kita semua pasti menginginkan hal ideal dalam hidup ini. Tapi kenyataan tidak selalu begitu. Banyak cewek yang menginginkan punya pacar seperti Agus Mulyadi: pintar, baik hati, rajin salat, dan lucu sekali. Tapi Agus hanya sanggup pacaran dengan satu cewek. Pahit, bukan? Lalu yang lain ya pacaran dengan cowok seadanya di dekat mereka.
Jadi, kalau kamu jadian sama cewek, jangan bangga dulu. Jangan-jangan sebetulnya cewekmu itu sebetulnya suka sama Agus. Tapi Agus sudah mendapatkan cewek yang ideal menurutnya.
Dalam pendidikan, idealnya, ada 3 pihak yang ‘wajib’ mendidik anak: Orang tua, komunitas, dan sekolah. Sekali lagi bukan hanya sekolah lho ya… Ingat itu. Camkan. Sebab seorang anak itu hasil perkenthuanmu. Maka carilah semua konsep pendidikan baik dari kitab-kitab suci maupun lontar dan lontara, selalu orang tua yang wajib duluan mendidik anak.
Sekolah bukan tempat penitipan anak. Sekolah adalah representasi hadirnya negara yang berkewajiban memfasilitasi pendidikan warganya. Jangan dibolak-balik ya, Maliiih…
Idealnya, tidak ada kekerasan apa pun di dalam proses belajar-mengajar. Sebagaimana idealnya tidak ada orang yang melanggar lampu merah di jalanan. Tidak ada yang jomblo di Indonesia karena persentase laki-laki dan perempuan hampir sama. Semua dapat jodoh masing-masing. Kecuali yang apes.
Idealnya juga, orang yang berangkat belajar ke sekolah adalah anak-anak yang ‘tuntas’ dididik dengan baik oleh keluarganya dalam hal adab. Bukan anak-anak yang kecewa dan marah kepada orang tua mereka. Bukan anak-anak yang menyimpan dendam kepada anggota keluarga mereka. Bukan anak-anak yang kecewa sehingga sekolah jadi wahana ekspresi melampiaskan emosi karena di sana bisa berkumpul dengan anak-anak sebaya mereka.
Idealnya, guru berangkat dengan wajah segar. Kesejahteraan yang baik. Tidak ada ancaman dipindah gara-gara Pilkada. Apresiasi kepada pendidik dari warga harusnya juga tinggi. Karena mereka, para guru, ikut membentuk karakter anak-anak mereka. Idealnya kan begitu.
Tapi hidup ini nggak ideal, apalagi negara ini.
Jadi, jika dalam kondisi seperti itu, ada guru yang ‘sesekali’ menjewer atau mencubit anak satu semester sekali, ya nggak usah berlebihan dalam bersikap. Karena tidak ada yang menjamin anak-anak kita berangkat ke sekolah dengan jiwa yang sehat dari sebuah keluarga yang juga sehat.
Makin ke sini, makin ada kecenderungan orang tua yang aneh. Takut anaknya kena narkoba, dimasukkan ke pondok pesantren. Dari niatnya saja sudah keliru. Kalau anaknya bandel, sekolah diminta bisa ‘memperbaiki’. Lha itu sekolah atau bengkel mental…
Ya memang, sekolah termasuk pesantren, bisa punya kontribusi membangun mental anak didik. Tapi orang tua tidak bisa pasrah bongkokan begitu saja. Terima beres.
Lha ndasmu. Situ yang kenthu, sini yang ngelu…
Lagi pula, jumlah guru itu lebih dari 1,7 juta orang. Pasti tidak ada yang sempurna sebagai pendidik. Kalau ada guru yang tiap hari hobinya mukulin muridnya, itu sih wajib menggelandang oknum itu ke meja hijau. Namun, rasanya juga tak perlu berlebihan bilang, “Gurunya aja gemar nyubitin anak, sistem pendidikan bobrok, hasilnya banyak koruptor.”
Perkataan itu melanggar akal sehat.
Pertama, oke sistem pendidikan kita belum bagus, tapi apa ya benar sebegitu bobroknya? Kedua, apa korelasi langsung antara sistem pendidikan dengan jumlah koruptor? Seakan sistem pendidikan adalah variabel tunggal penyuplai koruptor di negeri ini. Ketiga, balik lagi, kok para orang tua cuci tangan dari pendidikan anak-anak mereka? Para orang tualah sejatinya pendidik utama para anak.
Logika sengkarut dan ruwet macam itulah yang kini berkembang. Lama-lama, makin banyak saja orang yang mudah menyalahkan sesuatu, tanpa diendapkan dulu. Laku mental yang sangat penting bernama ‘refleksi’ sepertinya sudah lama makin dijauhi. Mungkin karena diambil alih oleh bisnis pijat telapak kaki.
Tapi juga tidak bijak membuli para anak yang membuat beberapa guru dilaporkan ke polisi. Anak-anak itu juga korban. Mungkin korban ganda. Korban dari orang tua dan keluarga yang tidak mengerti bagaimana mengurus dan mendidik anak, korban dari lingkungan komunitas kota/desa/kampung yang tidak ramah terhadap mereka, juga korban dari sistem pendidikan yang belum baik. Jadi ya keliru besar kalau menyalahkan para anak tersebut.
Era ini memang serbacepat. Media sosial dan teknologi memfasilitasi itu semua. Tapi bukan berarti membuat kita juga cepat berkomentar, cepat menghakimi, dan cepat melaporkan seorang guru ke pihak polisi.
Diam dulu. Melakukan pijat telapak kaki. Eh, melakukan pengendapan pikiran. Melakukan refleksi.
Ngomong-ngomong, saya pernah juga sekolah SD, SMP, SMA, dan kuliah. Saya cukup sering ikut reunian. Di saat reuni itu, saya baru menyadari, guru-guru yang dulu galak itu, malah sering diundang, dipeluk dan dicium tangan penuh rasa terima kasih.
Kalau paragraf di atas kamu baca dan tafsirkan bahwa saya mendukung kekerasan di sekolah, ya nggak apa-apa. Namanya juga tafsir. Saya pun berhak menjawab: ah, teleklah kamu…