MOJOK.CO – Tuduhan Eko Kuntadhi ke karakter animasi Nussa, jadi babak baru stigma “Taliban” digunakan untuk menuding pihak yang berbeda di akar rumput.
Eko Kuntadhi tiba-tiba jadi viral dengan kicauan serius saat menuduh bahwa Nussa itu Taliban. Salah satu pegiat media sosial ini coming out of nowhere memberi punchline tanpa set up apa-apa ke netizen Indonesia.
Katanya kartun Nussa itu mengampanyekan Taliban. Buset.
Begini punchline-nya.
Apakah ini foto anak Indonesia? Bukan. Pakaian lelaki sangat khas Taliban. Anak Afganistan.
Tapi film Nusa Rara mau dipromosikan ke seluruh dunia. Agar dunia mengira, Indonesia adalah cabang khilafah. Atau bagian dari kekuasaan Taliban.
Promosi yg merusak! pic.twitter.com/iLKMVVCGEi
— Eko Kuntadhi (@eko_kuntadhi) June 19, 2021
Nggak lucu ya?
Ya maklum sih, emang cuma segitu kualitas punchline kalau tidak dibarengi dengan argumentasi apik dan hasrat menggebu-gebu keburu pengin nuduh sembrambangan. Lagian, nyambungin label Taliban di Afghanistan dengan kampanye kekhilafahan itu kan jelas kejauhan, Mas Bro. Bedain ISIS sama Taliban aja nggak bisa ini orang. Pffft.
Ketimbang sebagai sebuah serangan untuk Nussa, saya malah melihat ini sebagai bentuk baru dari kelompok—saya menyebutnya—ultra-nasionalis guna memberi stigma kepada mereka yang berbeda atau terlihat menganggu kelompok yang lagi berkuasa.
Masih inget dong dengan kasus KPK? Bagaimana lembaga yang pernah mendapat kepercayaan tinggi dari publik ini, digembosi dari dalam. Dan upaya itu muncul dari istilah sepele yang sederhana kayak gini: Eh, KATANYA ada Taliban di KPK.
(((Katanya)))
Gosip murahan itu pun dipercaya… atau dipaksakan jadi kepercayaan ke masyarakat. Tuduhan yang nyata-nyatanya tak terbukti, bahkan sampai sekarang.
Uniknya, orang-orang yang menuduh itu tak peduli amat meski tudingannya tak berdasar dan tidak benar, bahkan begitu KPK berhasil digembosi habis-habisan. Semua pada bodoamat, yang penting hasil dari tuduhan itu ada: revisi UU KPK dan non-aktifkan pegawai yang mengusut kasus-kasus besar di Indonesia.
Persis kayak tuduhan Amerika Serikat zaman George W. Bush (Jr.) ke Sadam Husein yang katanya punya senjata pemusnah massal pada era 2000-an awal. Terus Irak diserang gila-gilaan, dan setelah habis nyerang sampai Irak babak belur, ternyata senjata pemusnah massal itu cuma omong kosong doang.
Hal yang sama juga rupa-rupanya sedang dipraktikan di Indonesia akhir-akhir ini, pakai istilah “Taliban”. Jika kemarin KPK babak belur dengan isu itu, karakter animasi Nussa pun mengalami hal yang serupa. Dituduh sedemikian rupa hanya karena pakaiannya.
Dulu istilah “kadrun” alias kadal gurun pernah dipakai untuk disematkan pada mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Namun agaknya, kadrun terlalu lekat dengan narasi elektoral, jadi itu bukan stigma yang bisa awet digunakan.
Dan kini, agaknya pegiat-pegiat sosial media mulai kreatif memakai istilah baru yang lebih peka-jaman. Sesuatu yang lebih lentur digunakan. Agar asosiasi untuk radikal, bisa diteruskan di tahun-tahun mendatang.
Ini supaya orang atau lembaga yang tertuduh bisa segera merunut pada citra Taliban di Afghanistan sana. Dan karena asosiasinya radikal, maka mereka yang tertuduh itu akan dianggap berbahaya menurut Kakak Pembina Indonesia.
Soalnya, masyarakat kita memang sudah didesain supaya nggak demen dulu sama yang radikal-radikal, maka jika apapun disematkan sama asosiasi radikal, ya habis lah itu.
Di sisi lain, tuduhan sembrambangan Eko Kuntadhi ke karakter animasi Nussa ini setali tiga uang dengan bagaimana white supremacy di Amerika Serikat, terutama pada era Donald Trump.
Bagaimana mereka yang berkulit gelap, kerap diasosiasikan sebagai kriminal, berbahaya, makanya mereka harus “dididik” atau “dikendalikan” atau—kalau dalam konteks Indonesia: “dibina”.
Di Indonesia tudingan serupa dengan memanfaatkan label kayak gini sudah muncul dalam aneka rupa.
Zaman Orde Baru, kita kerap mendengar seseorang mendadak dituduh jadi komunis atau simpatisan PKI karena mereka yang berseberangan dengan Soeharto dan kroni-kroninya. Maklum, saat itu istilah teroris, taliban, dan radikal belum ada.
Asosiasinya saat itu toh juga bukan radikal, tapi komunis. Dan komunis itu “sah” dianggap musuh negara, dan karena negara dasarnya Pancasila, maka mereka yang melawan negara juga dianggap melawan Pancasila.
Dan itulah wujud Indonesia sejak dulu. Siapa yang berkuasa, merekalah yang akan memakai jubah Pancasila supremacy. Jubah sakti yang tidak bisa disentuh, tidak bisa dikritik, dan tidak bisa diganggu gugat. Siapa aja yang berani nyentil penguasa, maka akan langsung dibenturkan sebagai sosok yang “tidak pancasilais”.
Dan dalam proses itu, pembuktian tidak lagi penting, karena orang cenderung ketakutan duluan dan buru-buru ingin berada di pihak yang memakai “jubah” Pancasila ini.
Uniknya lagi, jika pada umumnya stigma semacam ini muncul dari sikap resmi pemerintah atau kelompok yang punya kuasa, label-label ini belakangan justru muncul “seolah-olah” dari akar rumput. Di-create sedemikian rupa oleh buzzer-buzzer yang bermunculan di media sosial, lalu tiba-tiba pemerintah akan mengafirmasinya sebagai “keresahan publik”.
Persis kayak Eko Kuntadhi ujug-ujug menyematkan label “Taliban” ke Nussa. Tanpa perlu penjelasan berbusa-busa. Bagi mereka yang punya sentimen senada dengan Eko Kuntadhi, maka mereka akan segera mengamini tanpa bertanya-tanya lagi.
Ranah pembuktian yang terjadi pun jadi absurd karena dalam situasi saling tuduh ini, semua mendadak jadi serba-terbalik. Bukan orang yang menuduh yang harus membuktikan tuduhannya, tapi justru yang tertuduh yang harus klarifikasi: bener nggak tuduhan itu.
Kasus Nussa ini juga menunjukkan, bahwa hal yang mengkhawatirkan sebenarnya bukan pada kicauan Eko Kuntadhi ini saja, melainkan bagaimana seseorang bisa dengan enteng memberi label ke pihak lain, tanpa perlu memberi penjelasan.
Dan bukan tidak mungkin, apa yang disematkan ke karakter Nussa ini jadi pintu gerbang untuk tudingan “taliban-taliban” selanjutnya.
Di masa depan, saya khawatir, siapapun yang dianggap mengganggu kekuasaan, bisa saja diisukan sebagai taliban. Ketika itu terjadi, maka pihak yang tertuduh akan disibukkan dengan klarifikasi demi klarifikasi, sembari menunggu penguasa menciptakan regulasi untuk menyingkirkannya.
Jika hal semacam ini dibiarkan, tudingan-tudingan serupa bakal muncul ke depan di sekitar kamu, saya, kita. Kamu yang terlalu kritis ke pemerintah, kalian yang terlalu vokal menyentil kebijakan-kebijakan negara, bukan tidak mungkin akan disematkan stigma serupa ke depannya.
Persis seperti yang dialami KPK, mirip yang sedang dirasakan oleh Nussa.
BACA JUGA Agar Film ‘Nussa dan Rara’ Nggak Dibacotin Buzzer Lagi dan tulisan POJOKAN lainnya.