MOJOK.CO – Selama ini Toyota Innova dianggap tak tertandingi oleh mobil pabrikan lain hanya karena segi teknis. Padahal ada aspek di luar itu semua.
“Besok lagi kalau ada yang nulis di Otomojok, ya jangan yang fiktif lah,” kata seorang di rapat pimpinan kantor Mojok.
Semua orang yang mendengarnya bingung. Maklum, selama ini rubrik Otomojok di Mojok tidak pernah menerima tulisan fiktif.
“Fiktif? Yang mana emang, Pak?” tanya seseorang dari kami.
“Itu yang nulis soal ngejek-ngejek Alphard. Masak ada orang Jogja bisa pernah punya mobil Alphard sampai tiga? Sampai gonta-ganti lagi, mana dibilang lebih enak Toyota Innova lagi,” kata si pimpinan kayak nggak terima.
Kami semua tergelak mendengarnya.
Yang dibicarakan oleh si pimpinan adalah tulisan dari Edi AH Iyubenu, bos Basabasi Kafe dengan tulisannya yang berjudul “Produk Gagal Sih Boleh, tapi Jangan Alphard Dong“.
Kalau kamu malas meng-klik link judul tulisan tadi, tulisan tersebut intinya cerita soal ketidaksempurnaan Alphard menurut si penulis, dengan membandingkannya dengan Innova.
Bahkan demi membuktikan “tidak enak”-nya Alphard, Pak Edi (begitu saya biasa memanggilnya) sampai perlu beli tiga kali Alphard untuk menguatkan asumsi bahwa Alphard tidak lebih enak ketimbang Innova.
….
Oke, oke, saya tahu apa yang ada di pikiranmu.
Bagi orang yang ngerti otomotif, itu tentu bukan perbandingan yang pas. Premium MPV kok dibandingin sama medium MPV? Pfft, yang bener saja.
Hatapi gimana? Yang beli Alphard sampai tiga kali Pak Edi jeh, dan yang pernah punya Innova berkali-kali juga blio tuh? Hayaa tentu penilaian itu jauh lebih valid ketimbang orang yang tak pernah buang duit sebrutal Pak Edi demi bisa nulis soal otomotif.
Ingat—sekali lagi—ini soal valid lho ya, kalau perkara benar dan salah di dunia otomotif sih ya biarkan itu jadi urusannya Ridwan Hanif dan Fitra Eri saja.
Tapi tunggu dulu, saya bukan mau cerita soal Alphard di sini, saya justru mau cerita soal Innova. Sebuah mobil yang punya representasi sempurna bagi banyak sopir di Indonesia.
Setidaknya kesempurnaannya bisa divisualisasikan layaknya kejadian di awal tulisan tadi: sama Alphard yang ada satu tingkat di atasnya saja (baik secara kemewahan maupun budget) Innova ini kok tetep aja ada yang bilang lebih baik ya?
Hal-hal kayak gini tentu jadi pertanyaan terbesar saya. Mosok sih ini mobil nggak ada cacat-cacatnya blas? Atau setidaknya begini: kenapa sih pabrikan lain kayak nggak mampu menyaingi merek ini?
Ya, perkara Innova ini memang sudah jadi rasan-rasan lama di dunia otomotif. Ibarat balapan Formula One (F1), Toyota Innova ini kayak Lewis Hamilton dengan Mercedes. Sekeras apapun pabrikan lain berusaha, susah banget bisa tembus ke podium nomor satu pasar medium MPV.
Berlandas dari rasa penasaran itu, setelah lacak sana lacak sini, lalu mengingat masa lalu saya mengendarai mobil ini, saya baru sadar bahwa Innova memiliki banyak aspek yang tidak dimiliki pabrikan lain di luar urusan teknis.
Pertama: Sejarah
Seperti halnya Hamilton di dunia F1 yang pegang rekor juara dunia 7 kali (bersama Michael Schumacher) dan punya jejak sejarah luar biasa, Innova juga memiliki itu. Sejarahnya kelewat kuat.
Jejak Innova sebenarnya bisa terlacak sejak 1977, ketika pabrikan Toyota mengeluarkan serie Kijang (Kerja Sama Indonesia dan Jepang). Dari generasi pertama Kijang saja, banyak orang Indonesia generasi 1970-an akhirnya terpatok pada mobil satu ini. Baik secara performa mesin, bentuk mobil, sampai merek yang tertanam di alam bawah sadar.
Meski begitu, baru pada 1997, ketika Kijang generasi ke-4 muncul dengan embel-embel Kijang Kapsul lah “cuci otak merek” ke orang-orang Indonesia semakin masif. Bahkan body Kijang Kapsul inilah yang nanti jadi cikal bakal body Innova generasi awal.
Bahkan kalau mau rada-rada ekstrem, Kijang Kapsul inilah yang jadi cikal bakal banyak basic desain mobil keluarga setelahnya. Mau dari pabrikan Mitsubishi, Nissan, sampai Daihatsu. Mau itu Taruna lah, Kuda lah, sampai Livina pun (meski bentuknya lebih pendek dan segmennya beda) tetep saja dasar desainnya sekilas mirip-mirip kayak Kijang Kapsul.
Nah, gara-gara kepopuleran Kijang Kapsul pula, kebanyakan orang tua-orang tua kita punya patokan bahwa mobil itu ya harus Kijang, nggak ada yang lain.
Kijang sudah setara dengan Aqua untuk produk air minum, Odol untuk produk pasta gigi, dan Honda untuk produk sepeda motor. Merek dan imajinasi visualisasinya beneran tertancap begitu dalam.
Artinya, jika pabrikan lain mencoba mengusik dominasi Innova (walaupun sekarang udah nggak pakai embel-embel Kijang lagi sih), PR terbesar pertama mereka sebenarnya adalah: mencabut akar sejarah banyak keluarga di Indonesia soal mobil.
Dan itu—sudah bukan hanya urusan menang-menangan fitur kendaraan lagi.
Kedua: seperti sayur bayam masakan ibu
Ada salah satu kredo yang terkenal bahwa masakan ibu adalah masakan paling enak bagi setiap anak di dunia. Bahkan meski masakan itu hanya sekadar sayur bayam.
Nah, inilah poin berikutnya yang terjadi dengan Innova di alam bawah sadar orang-orang Indonesia.
Innova (ketika masih memakai embel-embel Kijang) menjadi patokan banyak keluarga di Indonesia. Hampir kebanyakan anak Indonesia generasi 1980-an dan 1990-an, punya persentuhan dengan Kijang. Baik karena dimiliki tetangga, Pakde, Paklik, atau mobil impian keluarganya sendiri di masa lalu.
Memori kolektif itulah yang kemudian membentuk pasar yang maha-luas untuk Innova di Indonesia. Kelahiran Innova yang berawal dari rahim Kijang tampaknya juga masih mewarisi jejak itu sampai sekarang.
Pada akhirnya, tak salah kemudian kalau tingkat kenyamanan berkendara dan desain pun akhirnya terpatok pada mobil ini, sekalipun ada puluhan sampai ratusan merek mobil lain yang punya kelebihan setara.
Ketiga: jadi motif dendam nostalgia banyak keluarga
Tidak sedikit orang ingin membeli Innova bukan hanya berlandaskan karena kebutuhan fitur-fitur kendaraan yang ditawarkan, tapi nostalgia masa lalu atau masa kecilnya.
Innova punya kesan mewarisi merek Kijang yang merupakan cita-cita tertinggi setiap keluarga era 1980-an, 1990-an, dan 2000-an awal, dan ketika si anak itu besar di periode sekarang (rata-rata mereka yang generasi X dan Milenial) bayangannya tentang Kijang yang kemudian beralih ke Innova ternyata tidak benar-benar berubah.
“Inilah mobil impian keluarga masa kecil saya, jadi saya yang sekarang juga ingin memilikinya.”
Nah, persoalan menjadi rumit bagi pabrikan lain di medan perang medium MPV adalah karena berlandaskan sejarah pula, kebutuhan suku cadang dan montir yang andal untuk ngurusin ini mobil jadi bejibun jumlahnya di Indonesia. Sekali lagi, ini karena faktor sejarah dan aspek nostalgia.
Artinya, hal tersebut menawarkan skill ultimate paling menakutkan dari produk ini, yakni: perawatan mudah+murah.
Dibawa ke bengkel mana pun semua montir mobil pasti bisa, suku cadang ada di mana-mana (bahkan konon di toko kalender pun ada), gampang diakali kalau lagi situasi darurat, dan yang paling penting untuk orang Indonesia: harga jual kembalinya masih begitu tinggi.
Kombinasi maut yang sudah jadi jaminan kemenangan layaknya Son Goku bersatu dengan Bezita.
Oleh sebab itulah, persaingan di ranah medium MPV Indonesia ini sudah bukan lagi soal urusan menang-menangan fitur kendaraan saja, tapi juga aspek-aspek lain. Terutama jika Innova ternyata tidak hanya mengandalkan aspek sejarah dan keunggulan merek saja, tapi terus berimprovisasi dengan teknologi.
Ini ibarat orang berbakat tapi juga jadi orang tekun sekalian. Kelar sudah yang lain.
Oleh sebab itu, jika boleh menyebut dua kata lagi untuk Toyota Innova, bagi saya, mereka sudah bukan merek mobil, tapi sudah mirip kayak kartel atau ormas.
Setidaknya itu kelihatan kalau saya mau menyebut produk Innova jelek di muka umum saja, saya mesti butuh keberanian yang luar biasa supaya tidak diserang oleh simpatisannya.
BACA JUGA Jangan-jangan Toyota Kijang Itu Ditanami Susuk dan tulisan ESAI lainnya.