MOJOK.CO – Islam Nusantara sudah kenyang kalau dianggap sesat, tapi kalau Ramadan begini, produk jejak Islam Nusantara kayak “puasa bedug” sih nggak apa-apa.
Harus diakui, siang hari di bulan Ramadan merupakan salah satu bulan yang paling berat bagi anak kecil. Bagaimana tidak? Main petak umpet dan main bola jadi mustahil lagi dilakukan karena siang hari harus puasa. Masuk sekolah (sebelum era Bulan Puasa diliburkan full 30 hari), jadi terasa begitu berat.
Usai berbuka puasa, waktu bermain begitu sempit karena harus tarawih dan tadarus di masjid. Hampir waktu bermain yang biasanya dilakukan pada siang hari, terpaksa harus dilakukan di malam hari karena takut kalau siang nggak kuat puasanya.
Untungnya, ulama-ulama di Nusantara memahami tingkat kompleksitas masyarakat yang jadi umatnya kala itu. Nggak kebayang kalau ulama kita yang mengislamkan Nusantara ini gebyah uyah secara kaku menerapkan konsep agama Islam hanya sebagai hukum wajib-sunah-haram-halal.
Dibandingkan masyarakat Arab yang cenderung keras dan tegas, masyarakat Nusantara memang dikenal penuh dengan kelembutan dan pendekatan yang lebih persuasif. Itu yang bikin ulama Nusantara cenderung lentur dan ajarannya bisa sesuai dengan penerimanya di Nusantara.
Masalahnya ya, kita semua tahu, jejak-jejak Islam Nusantara ini yang kemudian mulai coba digerus oleh—entah apa namanya—gerakan-gerakan pembaharu yang belakangan muncul. Bahkan istilah Islam Nusantara pun dinistakan sebagai bagian dari penyesatan akidah.
Padahal ini sekadar istilah, tak ada yang baru sama sekali.
Toh, kalau pun tidak mau dengan istilah ini pun tak apa. Kalau nggak pakai sarung—karena muslim Arab pakai jubah, nggak usah pakai peci—karena muslim Arab pakai sorban, dan nggak usah pakai bedug—karena muslim Arab nggak mengenal bedug, ya nggak apa-apa. Nggak ada yang melarang.
Namun kan dengan kondisi iklim di Nusantara yang lembab—berbeda dengan Arab yang kering—memakai sorban akan lebih mudah gerah. Gampang berkeringat.
Kalau udah begitu badan jadi nggak nyaman dan panas, kalau udah panas, kesenggol dikit jadi gampang kesulut, kalau udah kesulut jadi mudah terbakar. Mudah marah. Nah lho, malah jadi masalah.
Udah dibawa selo aja.
Kalau ada orang kampung salat pakai baju singlet doang karena habis membajak sawah, dan kaosnya kotor, ya nggak apa-apa. Atau azan ashar jam 4 sore karena orang yang mau salat masih pada sibuk di sawah semua, ya nggak apa-apa.
Mau nebelin jenggot ya nggak apa-apa, tapi kan masyarakat Nusantara memang hormon pertumbuhan rambutnya lebih banyak ke kumis ketimbang jenggot. Kalau manjangin jenggot kok jadinya cuma seuprit di dagu kan ya jangan ngamuk kalau jadi wagu.
Jangan maksain sampai pakai minyak mahal biar bisa lebat kayak ulama-ulama Timur Tengah juga. Selain nggak berfaedah, substansinya malah nggak kena. Lebih bermanfaat duitnya disedekahin ketimbang cuma buat beli minyak Firdaus berkardus-kardus.
Dari gerakan-gerakan yang datang belakangan ini pula, pelan-pelan Islam Nusantara dianggap sebagai penyelewengan bahwa Islam di Nusantara secara akidah berbeda dengan Islam yang dibawa kanjeng Nabi Muhammad.
Sampai dibilang kalau ada Islam Nusantara, berarti ya bakal ada Islam Jawa, Islam Sumatra, Islam Papua, Islam Kongo…. Lah ya kan memang ada.
Masa iya Islam di Kongo yang sulit airnya mau disamain dengan Islam di Jawa yang banyak airnya?
Perkara fikihnya aja bisa beda. Yang di Jawa bisa sunah membasuh tiga kali, sedangkan di Kongo yang sulit air, wudhu pakai air saja malah bisa jadi perkara makruh sampai haram, karena masih ada kebijaksanaan menggunakan tayammum.
Air lebih bermanfaat untuk kebutuhan hidup. Untuk minum. Lebih mendesak.
Dengan begitu, jelas sudah beda konsep Islam di Kongo dengan di Jawa. Masa iya gara-gara perbedaan itu lalu orang Islam di Kongo dibilang sesat karena nggak sama persis dengan Islam kita atau Islam-nya Nabi Muhammad? Lalu dibilang nggak kembali ke Islamnya Nabi?
Ealah, padahal kalau mau buka-bukaan sih, justru pegiat Islam Nusantara lah yang kebanyakan paling gemar bersholawat di kala—orang yang bilang Islam Nusantara sesat itu malah nggak pernah mau melakukannya karena khawatir bid’ah. Jadi siapa dong yang lebih cinta Nabinya di sini?
Akan tetapi, kita patut bersyukur, karena ketika banyak tradisi dan perkumpulan ibadah yang disesat-sesatkan ternyata di Nusantara ini masih ada satu tradisi di Bulan Ramadan ini yang tidak disesatkan dan tidak jadi polemik, dan ritus yang sedikit itu adalah “puasa bedug”.
Sebuah ibadah puasa setengah hari. Nggak makan nggak minum dari subuh sampai azan duhur. Berbuka sejenak, lalu berpuasa lagi sampai magrib.
Nama puasa bedug kayak begini mah jelas nggak ada dalilnya dalam agama. Bahkan dalam pandangan fikih kontemporer, mau yang paling konservatif sampai yang paling progresif sekalipun, istilah puasa bedug nggak mungkin pernah mendapatkan legitimasi.
Jangankan legitimasi, dibahas dalam kitab aja nggak pernah.
Akan tetapi, ketika banyak masyarakat kita yang anti dengan istilah Islam Nusantara, tampaknya cukup banyak yang mengamini lelaku puasa bedug. Semua seolah sepakat kalau itu nggak apa dilakukan, toh puasa ini diperuntukkan untuk anak-anak yang belum balig. Yah, dianggap saja latihan. Nama puasa bedug pun nggak masalah.
Padahal kalau mau ikutin konsep sesatnya Islam Nusantara, kata bedug yang disematkan saja udah bid’ah, ini mana dipakai jadi istilah ibadah sakral lagi, sesakral puasa Ramadan. Jadi puasa bedug. Udah bid’ah, menambah-nambih ibadah, nggak ada dalilnya babar blas lagi.
Ya iya dong, mengadakan ibadah untuk melatih anak kecil kan sama sekali nggak ada dalilnya. Apalagi dengan model “meringankan” beban ibadahnya model puasa bedug begini. Ini jelas murni menggunakan akal untuk menuju ke keimanan. Bentuknya sudah kreativitas dalam beribadah.
Kalau hal begini ketemu sama umat yang suka komen model gini: “dalam beragama itu jangan mendepankan akal, tapi iman”… wah, ya ambyar ini kalau iman nggak dibarengi akal. Ya iman itu penting, tapi akal ya harus ada untuk melengkapinya.
Saya jadi suka heran aja dengan orang yang masih beranggapan kalau dalam beragama tidak boleh menggunakan akal untuk menerjemahkan agama kayak gini, mereka ini kalau baca ayat-ayat yang ada kalimat, “agar mereka berpikir” atau “supaya kamu berpikir” itu preferensi mereka ke siapa ya?
Pinisirin aja.