Ada banyak hal yang memengaruhi hidup saya, dan warnet adalah salah satunya. Ia adalah entitas yang, boleh dibilang menjadi padepokan yang menempa dengan keras hidup saya yang sebetulnya memang sudah keras.
Seperti yang banyak orang ketahui, jauh sebelum menjadi penulis, redaktur, ataupun tukang edit foto, saya pernah bekerja menjadi seorang penjaga warnet (lebih sering disebut sebagai OP warnet). Tak tanggung-tanggung, saya pernah mengenyam bangku warnet di tiga warnet yang berbeda.
Empat tahun saya berkarier di balik meja operator warnet, dan pengalaman yang saya dapatkan tentu saja selalu layak untuk dikenang.
Menjadi OP warnet adalah saksi betapa dunia internet sudah menampakkan tanda-tanda kebesarannya sejak lama, sejak orang sok-sokan mbokep di lalatx atau lihat foto penampakan dan mengukur peruntungan jodoh di primbon dot com.
Empat tahun menjadi seorang OP menjadikan saya punya banyak kisah interaksi dengan para user warnet yang saya jaga.
Bagi seorang penjaga warnet, yang paling menyenangkan adalah mendapatkan user warnet yang ramah OP. Apa itu user ramah OP? User yang masuk bilik dengan tertib, login billing dengan nama yang enak dibaca, ngenet untuk mencari artikel tugas, diselingi dengan bermain facebook, tanpa yutuban, durasinya lama, dan di akhir perjumpaan, ia ngeprint berlembar-lembar. User model begini sangat saya sukai, sebab selain menyenangkan dan tidak banyak rewel, ia juga menyumbang pemasukan setoran melalui durasi mainnya yang lama dan uang ngeprint yang tak sedikit.
Akan tetapi, tentu saja user seperti ini sedikit jumlahnya. Lebih banyak user yang menyebalkannya setengah modiaar.
Saya misalnya, pernah mendapatkan user yang, begitu masuk bilik, ia langsung pasang headset, buka yutub (Iya, saya bisa tahu apa yang dibuka oleh user saya), cari lagu kesukaannya, dan langsung nyanyi dengan suara keras tanpa sadar bahwa dirinya sedang memakai headset.
“Putar ke kiri e, nona manis putarlah ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri…”
“Diaaaaaaa, Isabellaaaa, lambang cintaaaa yang laraaaa…”
Bedebah betul.
Apakah itu user yang paling menyebalkan? Ooo… Tentu saja tidak. Ada yang lebih menyebalkan (dan menyedihkan) lagi, yakni user yang begitu masuk bilik, langsung buka situs streaming bokep. Mereka adalah user yang selalu saya awasi dengan ketat, sebab kalau saya tak cekatan, akibatnya fatal: bilik warnet saya bakal bau amis.
Beberapa bokepers yang cukup cerdas biasanya disambi main facebook sembari menunggu streamingan bokepnya penuh. Sedangkan bokepers yang goblok bisa dengan tanpa malu-malu mengundang saya ke biliknya dan kemudian meminta tolong saya untuk mendownloadkan videonya.
“Mas, tulung downloadke film unyil sing iki, ya?” pintanya.
Orang-orang jenis inilah yang membuat saya mendapat pengetahuan baru, bahwa di luar sana, bokep ternyata punya banyak nama lain: video sepep, film unyil, film ihik-ihik, dan nama-nama nggatheli lainnya.
Apakah ada yang lebih menyebalkan lagi? Jelas ada. Dia adalah user yang berkali-kali protes karena koneksinya lemot.
“Mas, Ini kok koneksinya lemot banget, sih?” protesnya langsung dari bilik.
Begitu saya cek, ternyata dia buka lebih dari 25 tab di browser. Ha bajingan.
Nah, kalau yang paling menyebalkan, tak lain dan tak bukan adalah user yang satu ini: anak-anak SD yang tinggal tak jauh dari warnet.
Bedes-bedes kecil ini kalau main, Masya Alloh, sungguh bikin emosi. Lha gimana nggak emosi, mereka main mentok cuma dua ribu rupiah, tapi mainnya rombongan: satu bilik diisi lima orang.
Terhadap user ini, saya ingin sekali bersabar dan mengamalkan konsensus populer tentang pelayanan dalam bisnis: pelanggan adalah raja.
Tapi tentu saja saya selalu berubah pikiran, sebab akal sehat saya mengatakan, tak ada raja yang ngenet cuma habis dua ribu rupiah.
Selain itu, raja itu harusnya satu, bukan rombongan.