MOJOK.CO – Thrift shop adalah tren jual beli baju bekas yang belakangan ini digandrungi anak muda. Tapi, semakin lama kok embel-embelnya yang ramah lingkungan itu ngaco sih.
Tren fashion baju bekas kini diberi nama fancy biar seolah-olah tampak Jaksel, thrift shop. Nama kegiatan saat beli-beli baju bekas ini pun berubah jadi kegiatan thrifting. Padahal, warlok Jogja bisa menyebut kegiatan ini sebagai ngawul alias belanja baju awul-awul. Ada juga yang menyebutnya sebagai “babebo” yang merupakan kependekan dari baju bekas bos.
Format jual beli baju bekas ini sebetulnya sudah lama ada di Indonesia. Dari saya TK juga udah ada yang jual. Berhubung saat ini yang jual anak muda dan konon baju-bajunya lebih berkualitas, akhirnya namanya diganti jadi thrift shop.
FYI aja nih, salah satu Redaktur Mojok, Audian Laili, bahkan punya pengalaman konyol tentang cerita babebo di masa kecilnya dulu. Mentang-mentang babebo dijual begitu serampangan, kadang ada yang nemu emas di saku-saku baju bekas. Tapi, tak jarang juga yang nemu ular sebagai surprise tiada tanding.
Ayah dan ibu saya menyebut thrift shop sebagai “rombengan”. Keluarga saya bukan tipe yang telaten ngulik baju bekas sampai nemu tren fashion hidden gem dari ngobrak-abrik tumpukan kain. Tapi, sejak dulu saya paham betul eksistensi thrift shop.
Dulu, beli baju bekas per biji hanya Rp5 ribu. Iya, goceng. Kalau dapat baju yang bahannya agak tebal, misal kain beludru yang masih baik atau jaket corduroy oke punya, harganya berkisar Rp10-15 ribu. Tidak peduli apa merknya.
Betapa gondoknya saya karena kadang-kadang bocah zaman sekarang menjual baju bekas seharga baju baru lokal, ratusan ribu rupiah. Mereka beralasan barang yang dijual langka dan berharga, baju bekas yang masih berkualitas, mereknya fancy pula. Ah, tapi siapa yang bisa menjanjikan, baju bekas tetaplah bekas pakai, preloved.
Saya pikir melakukan kegiatan thrifting dengan alasan berhemat itu kelewat klise untuk sekarang. Jika pilih hemat, Anda harusnya nggak sering-sering beli baju atau saling tukar saja dengan kawan. Beli baju bekas bermerek mahal, berkualitas, dan mahal dari segi ekonomi ya sama aja pemborosan.
Bila harga baju-baju di thrift shop tergolong mahal, sebetulnya masih bisa termaafkan walau sulit. Toh, beli baju bekas bukanlah sebuah kewajiban. Tapi, belakangan banyak antek pro thrift shop yang bawa isu-isu lingkungan terkait kegiatan mereka.
Jualan baju bekas dianggap menekan konsumsi fast fashion, memperpanjang usia penggunaan barang, sekaligus mengurangi limbah kain. Sebentar… kayaknya masalah ini nggak bisa dilihat dari satu sisi. Jangan-jangan “ramah lingkungan” itu hanya embel-embel promosi yang tujuan akhirnya bisnis lagi bisnis lagi. Klasik.
Thrift shop pada dasarnya ilegal
Thrift shop di Indonesia menjual barang-barang impor, limbah pakaian dari luar negeri yang dikirim berkarung-karung ke Indonesia.
Kalau melihat regulasinya, jelas. Impor baju bekal itu ilegal sesuai dengan Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Tapi, namanya juga negara Wakanda, semua yang ilegal bisa terasa legal di lapangan berkat backingan berbagai pihak.
Justru, lebih aman jika orang-orang berbisnis thrift shop dalam negeri. Baju bekas pakai orang-orang Indonesia sendiri. Ya tapi, gimana lagi. Kita sudah biasa menerapkan siklus yang lebih paten dan ramah lingkungan. Beli baju yang dipakai buat pergi-pergi, dipakai buat tidur sampai bolong-bolong, jadi lap dapur kemudian.
Ramah lingkungan, tapi mengimpor “calon limbah” baru
Gini aja deh, jika embel-embel ramah lingkungan itu benar-benar mau dipakai buat mendukung penjualan baju bekas, kita perlu persempit perspektifnya.
Pada dasarnya thrift shop populer di zaman Abang Kurt Cobain berjaya. Baju sobek-sobek, bolong, kedodoran, sampai desain kaos lawas memang populer lagi di Amerika semenjak grup band Nirvana jadi kiblat anak muda. Ini bagus buat perekonomian dan tujuan ramah lingkungan di Amerika.
Kesenangan thrifting menekan konsumsi fast fashion dan menumbuhkan gelora reuse, menambah panjang umur pakaian. Sayangnya, kalau baju-baju bekas dari luar negeri diimpor ke Indonesia, ujungnya justru menambah limbah dong, Cintaaa.
Lha, konsumen di negara pengimpor tetap beli baju-baju fast fashion, begitu pula dengan kita. Ada kampanye beli baju di thrift shop, tapi nggak ada kampanye menekan konsumsi belanja baju.
Jumlah limbah pakaian di negara kita dengan mudah bertambah. Industri baju bekas luar negeri menemukan “tempat sampah” baru untuk menyalurkan limbah dari sana. Lagi-lagi bisnis ini di Indonesia, punya misi demi cuan, bukan demi lingkungan.
Jadi, embel-embel ramah lingkungan yang dicanangkan lewat thrift shop itu masih sekadar nilai utopis yang secara aturan pun ilegal. Meromantisasi kegiatan ini demi kelancaran bisnis itu nggak asyik. Setidaknya nggak usah bawa-bawa isu lingkungan yang seolah luhur itu. Konsumtif ya konsumtif aja.
BACA JUGA Memilih Uniqlo ketika Pujha Fashion Mengubah Kultur Thrifting atau Ngawul di Yogyakarta dan artikel lainnya di POJOKAN.