Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Terkadang Kita Memang Harus Terjebak Dalam Rasa Iba yang Merepotkan

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
9 Maret 2020
A A
kakek panjual sapu
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Tentu saja, saya bukan orang yang makmur-makmur amat. Tapi saya juga nggak layak kalau disebut miskin. Gaji saya sebagai redaktur ditambah honor sebagai pemateri kelas menulis di sana-sini (uhuk!) masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dengan sesekali diselingi dengan gaya hidup semi-hedon.

Saya hampir selalu punya cadangan uang. Dan itu cukup bagi saya untuk membeli barang-barang yang mungkin sebenarnya tidak terlalu saya butuhkan.

Dan selayaknya orang kebanyakan, orang-orang yang hatinya masih cukup “manusia”, saya tak pernah tidak bisa iba pada orang-orang tua sepuh yang berjualan barang yang dalam perhitungan logika saya bakal sangat susah lakunya. Dan karena perasaan itu pulalah, saya sering membeli barang yang mereka jajakan kalau saya bertemu salah satu dari mereka.

Kalau pas di Indomaret, ada orang tua jualan makanan, maka tak butuh waktu lama bagi saya untuk ikut membeli dagangannya. Perkara makanan itu nanti dimakan atau tidak, enak atau tidak, itu urusan nomor enam. Nomor satu sampai lima tetap Pancasila.

Kalau ada ibu-ibu tua menjajakan hiasan rumah dan kerajinan, asal harganya masuk akal, maka besar kemungkinan saya bakal membelinya. Walau saya sadar, hiasan tidak akan menambah keindahan rumah saya dengan signifikan.

Kebiasaan itu memang kadang melahirkan semacam kepuasaan batin tersendiri bagi saya. Ikut menjadi perantara rejeki bagi orang lain yang dalam pandangan kasat mata saya, rejeki duitnya lebih seret ketimbang saya.

Namun tentu saja, ia kadang juga melahirkan pergulatan batin yang hebat juga.

Selalu ada kondisi di mana saya bingung untuk menentukan, bakal beli atau tidak. Utamanya bila yang dijual adalah barang-barang yang bakal membuat saya susah untuk membawanya.

Saya pernah bertemu di jalan dengan seorang tua dengan kondisi tubuh yang sangat bungkuk dan ringkih. Kondisi yang sudah pasti langsung memancing iba saya sebagai lelaki berhati lembut (uhuk!) dan mudah terharu.

Ingin sekali saya membeli barang yang ia jual. Tapi saya harus berpikir dua kali, sebab barang yang ia jual justru berpotensi bakal membuat saya repot sendiri: tangga bambu.

Ia berjalan, sedangkan saya naik motor. Ini dilematis. Saya mulai berpikir skenario apa saja yang bisa saya lakukan untuk menolong si penjual tangga, tapi juga tidak merepotkan saya untuk membawa tangganya.

Saking lamanya saya memikirkan berbagai skenario yang bisa diambil, tanpa sadar, motor saya sudah melaju jauh meninggalkan si kakek penjual tangga.

Semakin jauh jarak yang saya tempuh, semakin kecil pula niat saya untuk membeli tangganya. Namun semakin besar aneka pertanyaan asumtif yang kemudian muncul dan berputar-putar di kepala saya. Apakah si Kakek nanti bakal laku tangga jualannya? Kalau bukan saya yang beli, lantas siapa? Kalau saya harus putar balik untuk membeli tangganya, tidakkah itu konyol? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan asumtif lainnya.

Beberapa pertemuan saya dengan pedagang tua tidak berakhir dengan transaksi. Saya memutuskan untuk mengabaikannya dan berharap ada orang lain yang membeli dagangannya.

Iklan

Kelak, di Facebook, saya mendapati cerita menyedihkan. Tentang seorang pedagang kerupuk yang menangis karena kerupuknya tidak laku padahal kondisi dia sedang sangat kelaparan.

Saya mulai berpikir untuk mulai mengambil sikap, mulai menegaskan diri untuk tidak terlalu banyak mikir kalau ada pedagang tua yang dengan tampang melas dengan susah payah menjajakan dagangannya.

Saya ingin membulatkan tekad. Hingga pada akhirnya, saya mendapati kenyataan bahwa kebulatan tekad itu bisa melahirkan penyesalan.

Saya bertemu dengan penjual sapu. Jiwa iba saya langsung meluap-luap. Tekad saya bulat untuk membeli sapunya padahal uang di tangan kala itu sedang tidak banyak-banyak amat.

Harga sapu yang ia jajakan ternyata agak mahal. Tiga puluh ribu. Jauh lebih mahal dari harga pasaran sapu biasanya. Ah, tak apa. Mungkin ia sengaja menjual mahal karena sedang sama sekali nggak punya uang.

Saya kemudian membayar dengan uang pecahan lima puluh ribu. Kembali dua puluh ribu.

Ketika ia akan memberikan uang kembalian, saya melihat dengan jelas kantongnya yang penuh dengan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Ia mencoba mencari pecahan dua puluh ribuan di antara lembaran-lembaran lima puluh ribuan dan seratus ribuan.

Mendadak, semacam ada sesal dalam diri saya. Entah kenapa, saya jadi ingin mengibai diri saya sendiri. Sebab uang di kantong saya bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan uang yang ada di kantong tukang sapu itu.

Saya merasakan semacam hal yang oleh Prie GS budayawan Semarang itu, ia deskripsikan dengan “Betapa repotnya rasa iba jika kita harus mengibai seluruh derita yang ada di dunia.”

Ah, pusing. Apakah Anda pernah berada dalam posisi demikian? Semoga saja pernah. Biar saya tidak sendirian.

Terakhir diperbarui pada 9 Maret 2020 oleh

Tags: ibapenjualsapu
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Derita Penjual Gorengan, Sehari-hari Menghadapi Rumor yang Menjatuhkan Usahanya Mojok.co
Pojokan

Derita Penjual Gorengan, Sehari-hari Menghadapi Fitnah yang Bisa Menjatuhkan Usahanya

21 Juli 2025
Kurir Shopee Xpress Mojok.co
Pojokan

Penjual dan Pembeli Olshop, Berhentilah Merepotkan Kurir dengan Alamat Pengiriman yang Amburadul dan Tak Jelas

31 Juli 2021
penjual gelang anak kecil oleh-oleh tempat wisata rasa iba kasihan mojok.co
Pojokan

Menolak Dagangan yang Dijajakan oleh Anak Kecil Memang Tak Pernah Mudah

16 September 2020
kakek-kakek jualan
Esai

Lihat Kakek-Kakek Jualan Kok Yang Muncul Rasa Iba, Ya Kagum Dong Harusnya

6 Oktober 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.