Sekira empat tahun lalu, publik dikejutkan oleh Qian Fenglei, seorang miliarder China yang membagi-bagikan iPhone 6 kepada teman-teman sekelasnya di SMA dalam sebuah acara reuni. Bagi banyak orang, hal ini mungkin sangat fenomenal, mengingat iPhone 6 sendiri saat itu seperti yang kita ketahui merupakan salah satu ponsel dengan banderol termahal. Namun bagi si Qian, bagi-bagi iPhone ini layaknya ritual bagi-bagi biasa yang tak terlalu spesial, pasalnya, ia memang terkenal sebagai miliarder yang nyah-nyoh bin bloboh alias dermawan. Tahun sebelumnya saja, Dalam acara reuni serupa, Qian membagi-bagikan iPhone 5 kepada teman-teman SMA-nya.
Bagi banyak kawan-kawan Qian, kesuksesan terasa sangat tak terduga. Maklum, sebab saat SMA, Qian memang bukan siswa yang cerdas dan menonjol.
Kisah serupa Qian ini belakangan terjadi juga pada bapak saya.
Beberapa tahun yang lalu, bapak saya diundang ke Bangka Belitung untuk menghadiri acara reuni oleh salah seorang kawan sekelas sewaktu SMP.
Undangan yang jelas sangat haram untuk ditolak, karena seluruh akomodasi tiket pesawat dan penginapan sudah disediakan oleh si pengundang.
Acara reuni tersebut kelak menjadi tonggak sejarah bagi bapak saya, karena melalui jalan reuni itulah, bapak saya akhirnya bisa kesampaian naik pesawat untuk pertama kalinya. Pengalaman naik pesawat tersebut selanjutnya akan menjadi bahan pamer dan olok-olok bapak kepada saya karena saya sama sekali belum pernah naik pesawat. (Saya baru kesampaian naik pesawat setengah tahun setelahnya, dan itu lebih dari sekali, sehingga olok-olok soal naik pesawat justru berbalik pada bapak).
Ada 40 orang yang diundang dalam acara reuni tersebut, dan hanya sekitar 30 orang yang bisa hadir.
Si pengundang, sebut saja Pak Badrun sengaja mengundang kawan-kawan satu kelas semasa SMP karena terdorong oleh rasa rindu yang sedemikian besar sekaligus untuk menyambung tali silaturahmi.
Seluruh akomodasi reuni ditanggung pribadi oleh Pak Badrun. Pak Badrun kala itu menjabat sebagai salah satu petinggi Kepolisian di Bangka Belitung, jadi tak heran jika ia mampu merogoh kocek yang cukup besar untuk mengagendakan acara reuni tersebut.
Dalam reuni kecil-kecilan namun cukup meriah itu, Pak Badrun dengan entengnya membagi-bagikan 30 unit ponsel Blackberry Davis kepada seluruh peserta reuni, tak terkecuali bapak saya. Katanya sebagai cindera mata, sekadar kenang-kenangan atas pertemuan temu kangen generasi gaek yang sudah lama tak bertemu.
Sebagai manusia yang hanya dengan punya hape berlayar warna dan dering poliponik saja sudah cukup berbahagia, tentu bapak merasa bagai kejatuhan durian runtuh tatkala diberi satu unik Blackberry. Benar-benar acara reuni yang sangat tidak mengecewakan. Sudah diberikan akomodasi,disangoni, eh, masih dikasih hape Blackberry.
Setelah acara reuni usai, sesampainya di rumah, bapak langsung bercerita soal blackberry barunya itu, dan saya langsung antusias, namun bukan pada blackberry-nya, melainkan pada sosok pak Badrun-nya. Saya pun kemudian memaksa bapak untuk bercerita lebih jauh tentang Pak Badrun. Saya ingin tahu bagaimana kehidupan masa sekolah seorang Pak Badrun sang pejabat tinggi polisi yang begitu entengan mau membagikan Blackberry pada ketigapuluh kawannya tersebut.
“Badrun itu dulunya siswa biasa-biasa saja, blas nggak menonjol, juga nggak pinter, tapi kalau dibandingkan sama bapakmu ini ya jelas masih pinteran dia, sih.”
“Kalau nggak pinter dan juga nggak menonjol, Lha kok dia bisa jadi petinggi polisi, Pak? Apa pak Marcopolo punya kerabat atau orang dalam di kepolisian?” tanya saya penasaran.
“Lho-lho, kamu itu lho, kok gampang banget suudzon sama orang. Sejauh yang bapak tahu, sih, dia itu nggak punya kerabat orang dalam, yah, namanya juga nasib, sering nggak bisa disangka, Gusti Alloh kan maha berkehendak.”
Saya pun mengamini apa kata bapak, kita memang susah menerka nasib, terlebih jika hanya berpatokan pada kehidupan masa kecil.
Seseorang yang waktu kecilnya biasa-biasa saja, bisa jadi di waktu dewasanya justru tumbuh menjadi seseorang yang luar biasa. Sama halnya seperti Qian Fenglei yang dulu sewaktu SMA bukanlah seorang siswa yang brilian, bahkan malah pernah hampir putus sekolah, namun di usia dewasa, Qian justru tumbuh menjadi seorang pengusaha yang sukses dan makmur.
Orang Jawa bilang, ‘duren-duren, roti-roti, mbiyen-mbiyen, saiki-saiki’.
Sewaktu kecil, kita mungkin hanya A, tapi saat dewasa, kita bisa saja menjadi Z. Kita tak akan pernah tahu, akan jadi apa kita dan orang-orang di sekitar kita di masa depan. Yang pasti, perubahan tersebut sering kali mengejutkan kita.
Saya punya banyak Kawan yang saat sekolah dia biasa saja, bahkan cenderung goblok. Namun setelah dewasa, ia sukses menjalankan bisnis yang membuat dirinya mampu meraih kemantapan finansial.
Sebaliknya, banyak kawan-kawan sekolah saya yang dulu saya pandang sebagai siswa yang cerdas dan lumayan pandai, saat dewasa justru terkesan menjalani hidup dengan sangat berat.
Tentu hal seperti itu tak bisa berlaku general. Ada juga yang sedari kecil memang cerdas, kemudian saat dewasa mampu bekerja menjadi seorang pejabat yang sukses dan makmur.
Pun ada yang memang sejak sekolah terkenal goblok dan blangsak, begitu dewasa, hidupnya jauh lebih blangsak lagi.
Intinya, kehidupan masa sekolah tak bisa dijadikan sebagai patokan nasib masa depan.
Saya jadi teringat dengan guyonan lawas, bahwa siswa yang duduk di barisan depan, kelak punya kesempatan menjadi dokter. Siswa yang duduk di barisan tengah, biasanya akan menjadi pasien. Sedangkan siswa yang duduk di barisan belakang, biasanya justru menjadi pemilik rumah sakit.