MOJOK.CO – Kalian mungkin tersinggung jika disebut sebagai buzzer Jokowi. Kalian mungkin membatin, “Dih, kawal #orangbaik kok dibilang buzzer? Enak aja!”
Halo, Zer? Gimana kabarnya? Semoga selalu sehat, selalu dinaungi kebahagiaan. Oh, iya jangan lupa ngopi. Udah pesen dulu aja deh. Bayarnya sendiri-sendiri tapi.
Bersamaan dengan surat ini saya ingin sampaikan selamat karena telah berhasil mengawal Pakde Jokowi selama beberapa tahun ini dengan sukses. Wabilkhusus belakangan ini berhasil mengawal keputusan Pakde Jokowi yang jebul ikut mendukung revisi UU KPK—yang rencananya akan disahkan hari ini.
Saya tahu, kalian mungkin tersinggung jika disebut sebagai buzzer Jokowi. Sebab, kalian mungkin merasa sedang mengawal #orangbaik sehingga langkah apa pun yang kalian lakukan adalah langkah yang baik untuk negeri.
Mungkin karena selama ini konotasi buzzer itu nggak positif-positif amat. Kesannya kayak kerja untuk kebaikan tapi dibayar gitu. Padahal sebenarnya, ya nggak masalah aja sih. Soalnya, yang jadi masalah itu kan kalau udah kerja tapi nggak dibayar. Lagian dibayar karena udah kerja kan emang udah hak. Ya nggak apa-apa dong.
Jadi gini, Zer. Saya sedih sekali menyaksikan soal tudingan dari teman-teman buzzer Jokowi yang menyebut para pendukung KPK adalah sekelompok manusia yang melihat KPK benar-benar suci, melihat KPK tak perlu dikritik, melihat KPK sebagai lembaga superbodi yang tak perlu diawasi.
Oke deh. Tudingan ini memang tak sepenuhnya keliru. Beberapa pembela KPK dan mereka yang mati-matian menolak revisi UU KPK yang diajukan DPR RI itu memang ada yang membabi buta membela KPK. Seolah-olah KPK ini nggak bisa dikritik, dan kalau ada yang mengritik KPK maka golongan pengkritik itu bakal dicap sebagai pro-koruptor.
Padahal, kalau kita mau lihat-lihat lagi dari situasi sebaliknya. Keriuhan ini sebenarnya hampir sama saja kalau dari sisi pihak yang mengkritik keputusan Jokowi.
Sekarang jadi pemandangan umum kalau ada pihak yang mengkritik Jokowi lalu orang itu dicap sebagai kampret lah, pendukung Prabowo lah, golongan pucuk tai lah, pro HTI lah, pro khilafah lah, sampai dianggap menghina lambang negara lah. Waduh, kok jadi sulit banget sih sekarang kalau mau mengkritik Pakde?
Apa buzzer Jokowi itu paham, kalau antara kalian dengan mereka pembela KPK garis keras itu punya kesamaan? Sama-sama ogah kalau junjungannya dilucuti kehormatannya?
Apa kalian buzzer Jokowi ini paham, ketika kalian menggantungkan harapan begitu tinggi sama Pakde, sebenarnya itu sangat bisa dipahami. Sebagai seorang presiden yang lahir dari rakyat jelata tanpa koneksi politik seperti presiden-presiden sebelumnya, kalian merasa Jokowi bisa mengerti permasalahan rakyat. Itu pandangan yang lumrah saja.
Tapi kenapa kalian tidak bisa melihat itu dari sisi sebaliknya?
Apa salah kalau ada sebagian rakyat yang menggantungkan harapan setinggi itu kepada KPK untuk mengatasi—setidaknya kasus korupsi di negeri ini? Lalu apa salah kalau ada bagian dari masyarakat yang marah kalau KPK (dianggap) dibatasi kemampuannya dalam memberantas korupsi?
Memang betul, menciptakan lembaga superbodi yang tak tersentuh kayak KPK itu bisa berbahaya. Menjadikannya jadi abuse of power. Apa pun yang menyentil KPK akan dianggap sebagai pihak yang bermasalah dengan komitmen pemberantasan korupsi.
Tapi jauh lebih berbahaya lagi kalau menciptakan tokoh superbodi yang tak bisa disentuh untuk disentil sama sekali ketika kebijakannya dianggap membahayakan. Terutama soal persetujuannya dengan revisi UU KPK. Belum dengan rencana RUU KUHP yang memuat pasal penghinaan presiden segala.
Gimana kalau ke depan, kami ini mau mengkritik keputusan Pakde tiba-tiba dianggap dalam kategori menghina? Soalnya sebagai delik aduan, semua orang itu bisa saja merasa terhina ketika dibilang, “Wah, kamu tampan sekali. Saking tampannya sampai sekarang masih aja jomblo.” Oke, karungin tuh!
Hal kayak gini beneran dialami Faisol Abod Batis ketika memaparkan data konflik agraria di era Presiden Jokowi. Ngasih data, etapi kok ditangkap?
Apa sebagai rakyat, kita hanya boleh diam-diam aja sama segala macam keputusan beliau? Lalu bedanya dengan jenderal-piye-penak-jamanku apa dong?
Bahwa penolak revisi UU KPK secara brutal itu memang ada, ya itu benar. Memang ada kok, harus diakui itu. Tapi menolak premis kalau ada juga pembela KPK yang juga menginginkan ada revisi UU KPK tapi tidak dengan poin-poin bermasalah yang diajukan DPR RI, itu juga seharusnya jangan dilupakan.
Beberapa poin yang diajukan DPR RI memang oke, tapi beberapa poin lainnya benar-benar aneh sekali. Masa iya buzzer Jokowi tidak melihat itu sebagai sesuatu yang aneh sih?
Kalau soal wewenang SP3, agar tersangka korupsi yang tidak segera disidang ke pengadilan bisa dikembalikan martabatnya. Atau agar KPK tidak bisa sembarangan menuduh pelaku korupsi. Bagian itu saya pikir tidak begitu bermasalah.
Tapi kenapa buzzer Jokowi tidak melihat lembaga KPK dimasukkan sebagai bagian dari lembaga pemerintahan itu sebagai permasalahan ya? Kenapa buzzer Jokowi tidak melihat independensi KPK sedang dicabut sebagai masalah ya? Atau kenapa buzzer Jokowi tidak melihat penyadapan yang harus izin itu sebagai masalah ya?
Apa buzzer Jokowi melihat kalau KPK yang sekarang memang bermasalah? Oke, deh. Misalkan saya sepakat dengan itu. Sepakat kalau KPK sedang ada masalah. Lalu apa kalian tidak memerhatikan bahwa lembaga yang mengajukan revisi itu tidak jauh lebih punya masalah lagi?
FYI aja sih, pada akhir 2018 silam, DPR pernah disorot oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), karena kinerjanya benar-benar ambyar. Bahkan Fadli Zon sendiri, Wakil Ketua DPR, meminta buruknya kinerja DPR RI itu untuk dimaklumi. Artinya, ada pengakuan lho di sini.
Nah lho? Gimana bisa saya percaya dengan pihak yang kinerjanya buruk, merevisi undang-undang sebuah lembaga yang kinerjanya selama ini lebih baik (ya tak selalu baik memang, tapi yang jelas tidak lebih buruk)? Bahkan secara awam, hal itu sama sekali nggak mashoook.
Padahal, masih ada lho para pembela KPK yang melihat kalau keputusan ini diambil terlalu buru-buru. Apalagi melempar tudingan ada “Taliban” di KPK sehingga revisi UU KPK ini harus segera diambil. Meski tudingan “Taliban” ini sampai sekarang belum pernah dibuktikan secara utuh.
Bagaimana bisa melemparkan tudingan “Taliban” yang belum terbukti, lalu memberikan solusi yang nggak berkaitan. Menuding “Taliban” di tubuh KPK, lalu kasih solusi dengan revisi UU KPK soal penyadapan dan status ASN pegawainya? Sampai membela mati-matian dengan mengangkat Ketua KPK baru yang punya latar belakang bermasalah.
Ibarat menuduh sebuah warung bakso ada babinya, lalu belum juga memberi bukti kalau warung itu beneran pakai daging babi, udah main gusur aja pakai Satpol PP. Ya kalau memang sedari awal pingin gusur, udah sih gusur aja, nggak usah nuduh-nuduh kalau warung itu ada babinya.
Kalau memang sedari awal pingin bisa ngatur KPK, bilang aja sih kalau memang kepengin bisa berada “di atas” KPK. Pake muter-muter sampai tuduh-tuduh ada “Taliban” segala. Eh.
BACA JUGA Kapok, Rakyat Kena PHP Jokowi Soal Revisi UU KPK atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.