MOJOK.CO – Habib Bahar bin Smith ditetapkan sebagai tersangka atas kasus ujaran kebencian. Bagaimana sih sosok penceramah yang keras ini bisa tetap disukai oleh jamaahnya?
Setiap orang punya selera untuk memilih ulama yang mau didengar dan diacu dalam kehidupan sehari-hari. Pilihan ini kadang-kadang disesuaikan dengan bagaimana orang itu lahir dan besar dalam lingkungan yang seperti apa, sampai pada pendidikan macam apa yang ia terima sepanjang hidupnya.
Jika bicara kiai, maka ada orang yang lebih memilih petuah-petuah KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) atau almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) misalnya. Atau untuk kategori “Kiai Kampung” beberapa orang suka mendengar KH. Anwar Zahid atau Gus Muwafiq yang sering melekatkan guyonan di sela-sela ceramahnya.
Meski begitu, ada juga yang suka mendengarkan ceramah Teuku Zulkarnain atau bahkan Alfian Tanjung. Beberapa ada yang lebih memilih menyukai Ustaz Abdul Somad, Ustaz Khalid Basalamah, atau Ustaz Adi Hidayat. Beberapa yang lain mendengarkan Ustaz Felix Siauw.
Jika bicara soal habaib, beberapa orang juga suka mendengar ceramah beberapa Habib. Seperti Habib Muhammad Lutfi bin Yahya, almarhum Habib Anies bin Alwi al-Habsyi, Habib Rizieq Shihab, atau bahkan yang paling muda dan sedang banyak dibicarakan belakangan ini; Habib Bahar bin Smith.
Nama yang terakhir ini begitu fenomenal karena baru saja mendapat status tersangka dari Kepolisian. Habib Bahar diduga melakukan pelanggaran soal ujaran kebencian mengenai ras dan etnis serta pelanggaran ITE.
Habib Bahar dilaporkan karena diduga menghina Presiden Jokowi dengan kata-kata “banci”. Selain itu, Habib Bahar juga diduga menumbuhkan kebencian terhadap etnis Cina. Apalagi uraian itu disebutkan dalam ceramah di depan jamaah yang baru diketahui kemudian terjadi dua tahun silam di Palembang.
Menurut kuasa hukumnya, Habib Bahar merupakan korban diskriminasi dari institusi Kepolisian. “Secara lugas kami kuasa hukum menyatakan bahwa justru klien kami adalah korban perlakuan diskriminasi dari rezim yang sedang menguasai dan membajak negara,” kata Aziz Yanuar, Kuasa Hukum Habib Bahar, dilansir dari CNN.
Sebelumnya, ketika Reuni 212 berlangsung, Habib Bahar juga sudah menyampaikan untuk tidak akan meminta maaf kepada Jokowi soal penghinaan tersebut. Menurutnya, dia lebih rela masuk penjara ketimbang harus meminta maaf kepada pihak yang telah menyengsarakan rakyat. Yang tentu saja tudingan itu mengarah ke Jokowi.
Perlu diketahui sebelumnya, Habib Bahar sebenarnya sudah sering berurusan dengan pihak Kepolisian. Tahun 2012 misalnya, Habib Bahar pernah ditangkap ketika konvoi aksi sweeping sampai melakukan pengerusakan Café De Most di Jakarta Selatan, lalu melakukan penyerangan ke jamaah Ahmadiyah di Kebayoran Lama pada 2010, sampai yang terakhir ujaran kebencian kepada Jokowi yang sedang diproses Polisi kali ini.
Kalau kita cermati dan melihat ceramah Habib Bahar lewat video-video yang tersebar, memang penyampaian beliau terhadap materi-materi ceramah sangat keras. Bahkan berjam-jam, pemuda berusia 33 tahun ini kuat untuk terus berteriak di hadapan jamaahnya. Kekuatan yang menunjukkan jiwa mudanya begitu besar dan meluap-luap.
Dalam sudut pandang tertentu, Habib Bahar begitu mirip dengan gaya ceramah Habib Rizieq soal ketahanan untuk mengelola emosi jamaahnya. Bahkan boleh dibilang ceramah Habib Bahar, jauh lebih keras ketimbang Habib Rizieq.
Bahkan dalam salah satu ceramahnya, Habib Bahar pernah sempat meminta jamaah di hadapannya untuk membakar hidup-hidup siapa pun orang yang mengenakan logo PKI—alih-alih melaporkannya ke Kepolisian.
Terlepas dari hal itu, agak mengherankan sebenarnya ketika mubalig yang punya cukup banyak jamaah yang militan ini tetap digemari. Satu-satu hal yang masuk akal, ya karena setiap jamaah punya representasi ulama yang diikuti sesuai dengan latar belakang kehidupannya masing-masing.
Bagi jamaah yang merasa kehidupannya belakangan ini begitu sulit, merasa bahwa kehidupan beragamanya diganggu, lalu menganggap beribadah dipersulit oleh pihak-pihak yang berkuasa. Besar kemungkinan ia akan mengikuti ulama-ulama yang sangat vokal anti-pemerintah.
Hal ini bisa saja dilihat dalam narasi-narasi ceramah Habib Bahar. Persoalan yang dibahas memang (hampir kebanyakan) soal umat Islam yang berada pada posisi korban. Islam dinarasikan sebagai pihak yang lemah di hadapan Pemerintah, maka dari itu perlu untuk melawan biar tidak dibinasakan.
Dari narasi “playing victim” itu lalu muncul naluri-naluri survival. Dan yang namanya naluri bertahan hidup, akan sangat wajar jika langkah-langkah yang dilakukan sering tidak masuk akal sampai menyerempet batas-batas kemanusiaan. Lha gimana? Narasi yang dibangun adalah bertahan hidup ala kalian atau kami, golongan suci atau golongan sesat, sampai pada tataran membunuh atau dibunuh je.
Bagi jamaah yang merasa kehidupan selama ini baik-baik saja, adem ayem, tenteram, dan damai. Tentu akan terheran-heran dengan materi-materi (dan cara penyampaian) dakwah Habib Bahar. Lugas, keras, bahkan sangat kasar.
Berbeda dengan jamaah yang melihat kondisi umat Islam di Indonesia baik-baik saja, jamaah yang mengikuti Habib Bahar melihat bahwa Indonesia dan umat Islam di dalamnya sedang dalam kondisi sakit. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk menuntut “perbaikan” itu dari pihak orang lain. Menimpakan kesalahan itu ke pihak-pihak lain.
Apakah pilihan itu salah? Hm, tidak sepenuhnya juga.
Sebab itulah yang dinamakan selera. Selera untuk memilih ulama yang sesuai dengan kebutuhan jamaah masing-masing. Bisa jadi ada latar belakang kehidupan si jamaah membuatnya percaya bahwa langkah damai dan meneduhkan tidak bisa menyelesaikan segala macam persoalan.
Apalagi dengan masih banyak orang-orang yang pro dengan Habib Bahar, hal itu menunjukkan bahwa memang ada jamaah yang suka dengan ceramah yang keras tanpa pandang bulu. Dan representasi itu mereka temukan pada sosok Habib Bahar. Dan oleh karena itu mereka mengikutinya.
Sedangkan jamaah yang suka dengan ceramah adem, berhaha-hihi, sambil cengegesan?
Sudah pasti tidak akan doyan mendengar ceramah Habib Bahar. Sebab mereka percaya kalau usai mendengar ceramah agama itu yang didapat harusnya hati yang teduh dan damai. Bukan yang grusa-grusu dan emosian.
Jadi wajar kalau referensi mereka nggak bakal jauh-jauh dari Gus Dur, Gus Mus, Habib Luthfi, atau Gus Muwafiq.