Setelah menikah, banyak tamu dan kerabat yang memberikan nasihat pernikahan kepada saya. Tentu saja semuanya adalah nasihat yang baik dan menyenangkan.
Dari sekian banyak nasihat pernikahan yang masuk, nasihat yang sangat saya ingat dan saya resapi betul adalah nasihat dari kawan saya, Fauzan Mukrim. Lelaki dengan dua anak yang lucu itu memberi saya sebuah nasihat yang agak nyeleneh.
“Selama tidak prinsipil, ikuti apa kata istrimu.” Begitu kata lelaki yang sering dijuluki sebagai ayah semua bangsa itu. Konon katanya, nasihat itu adalah nasihat turun-temurun dalam lingkungan keluarganya. Ia dulu mendapatkan nasihat itu dari ayahnya (atau mertuanya?)
Hati saya tentu saja memberontak mendapat nasihat yang sepintas lalu tampak begitu tidak adil itu.
Saya mencoba membantahnya tipis-tipis. “Tapi, Mas,” kata saya. “Nasihatmu itu justru punya potensi memunculkan masalah baru. Sebab aku dan Kalis pasti bakal berdebat, mana yang patut dianggap prinsipil, dan mana yang tidak.”
“Kalau soal itu, aku tidak ikut campur. Itu pinter-pinter kamu saja.”
Belakangan, saya baru sadar bahwa nasihat kawan saya itu benar dan valid. Ia semacam nasihat yang lahir dari endapan pengalaman empiris banyak lelaki.
Keyakinan saya akan nasihat yang “agak nggak adil” itu semakin meninggi saat membaca sebuah berita di Kompas.com tentang seorang istri yang menginjak kemaluan suaminya sampai pingsan. “Kronologi Istri Injak Kemaluan Suami Hingga Pingsan, Awalnya dari Cekcok.”, begitu judul beritanya.
Membaca berita tentang seorang istri yang menginjak kemaluan suaminya ini benar-benar membuat saya ngilu dan sadar, betapa cekcok dengan istri bukanlah hal yang biasa, ia adalah salah satu hal paling berbahaya.
Tentu saja tak susah bagi saya untuk membayangkan kengiluan setelah membaca tersebut. Lha gimana, lha wong biji kena sentil sedikit saja rasanya setengah mati sakitnya. Apalagi diinjak. Pastilah sakitnya jauh lebih kolosal.
Saya mulai berpikir, lebih menyakitkan mana bagi seorang lelaki, diinjak harga dirinya, atau diinjak batang dan bijinya?
Saat membaca berita di Kompas itu, saya sedang berada di sebuah warung kopi bersama Kalis, istri saya. Ia sedang sibuk membalasi pesan dari kawan-kawan di grup WhatsApp.
Iseng, saya melirik sandal yang dia pakai.
“Lis,” kata saya, ia menoleh, “Kalau boleh tahu, sandal yang kamu pakai itu mereknya apa, sih?”
“Scholl, Mas.” Jawabnya sambil melirik sandal miliknya.
“Coba aku pinjam.”
Saya pun kemudian meraih sandal wedges tersebut dari kakinya. Saya periksa bagian alasnya. Saya getok dengan punggung jari saya. Keras.
Saya letakkan lagi sandal itu. Dan saya semakin ngilu.
“Ada apa sih, Mas?”
“Nggak, nggak ada apa-apa,” sambil kembali mengalihkan pandangan saya ke layar ponsel, kembali membaca berita yang bikin ngilu tadi.
Sejenak kemudian, saya melirik Kalis. Ia tersenyum. Ia tak tahu, bahwa di telapak kakinya, bukan hanya ada surga untuk anak-anak saya, tapi juga ada nasib kesehatan reproduksi saya.