Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Saya Warga Nahdliyin, Tapi Tak Setuju Usul PBNU soal Presiden Dipilih MPR

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
28 November 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ketua MPR, Bambang Soesatyo, sampaikan usulan PBNU soal Presiden baiknya kembali dipilih oleh MPR. Lah, lah, kok malah mau balik ke gaya Orde Baru?

Sebagai warga Nahdliyin jelata yang cuma sibuk di urusan masjid kampung, saya terkejut dengan usulan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) soal wacana presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Usulan ini sebenarnya sudah ada sejak 2012. Muncul ketika Musyawarah Alim Ulama di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Beberapa kiai-kiai sepuh pada waktu itu merasa ongkos politik dan ongkos sosial dari penyelenggaraan pemilihan langsung Presiden oleh rakyat terlalu tinggi.

Entah kenapa, tiba-tiba hasil musyawarah pada 7 tahun lalu itu dianggap masih relevan dengan kondisi sekarang. Padahal situasi politik pada 2012 dengan 2019 sangat berbeda.

“Kemarin baru saja, betapa keadaan kita mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan. Ya untung tidak ada-apa. Tapi apakah lima tahun kayak gitu? Itu suara-suara para kiai pesantren yang semua demi bangsa demi persatuan. Tidak ada kepentingan politik praktis, tidak,” kata Kiai Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU.

Terang saja usulan ini segera disambut oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo alias Bamsoet. Maklum, dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPR, usulan ini jelas semakin meningkatkan potensi peran MPR dalam pemerintahan.

“Intinya adalah PBNU merasa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih bermanfaat, bukan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya lebih baik dikembalikan ke MPR ketimbang (dipilih rakyat) langsung,” kata Bamsoet.

Bahkan Bamsoet juga menyampaikan usulan PBNU yang lain soal menghidupkan utusan golongan MPR. “Karena keterwakilan yang ada di parlemen baik DPD, DPR, belum yang mewakili aspirasi kelompok minoritas sehingga perlu dipikirkan kembali adanya keputusan golongan,” tambah Bamsoet.

Oke, oke. Mari kita bedah satu demi satu kenapa usulan ini ada. Dan ayo kita lihat kenapa usulan presiden dan wapres perlu dipilih cuma oleh MPR, berdasarkan persoalan menurut PBNU.

Pertama. Soal ongkos politik.

Baiklah.

Jika berkaca pada periode Pilpres 2019, dana kampanye yang dibutuhkan kedua pasangan calon memang gila-gilaan.

Pasangan Jokowi-Ma’ruf melaporkan dana kampanye mereka sampai sebesar Rp130,45 miliar. Sedangkan pasangan Prabowo-Sandi melaporkan dana kampanye mereka sampai Rp191,5 miliar.

Tentu saja dana itu cenderung kecil sekali untuk ukuran Pilpres. Tapi jangan salah, dana yang dilaporkan itu cuma dana kampanye. Belum dengan dana-dana lain dalam bentuk laporan yang berbeda-beda.

Jika persoalannya adalah ongkos politik untuk pemilihan langsung lebih besar ketimbang pemilihan lewat MPR, secara matematika sederhana saja usulan ini benar-benar mengguntungkan elite-elite partai yang menduduki parlemen.

Iklan

Dan bagi rakyat kayak saya? Ya nggak ngaruh sama sekali, karena sejak dulu ongkos politik memang tak pernah berasal dari rakyat jelata.

Secara efisiensi anggaran, tentu ini mashook sekali. Hanya saja secara moralitas, ini malah memperlebar jurang ekonomi antara rakyat dengan elite-elite pemerintah.

Mereka yang semakin kaya bisa semakin bisa berkuasa karena duitnya semakin hemat untuk ongkos politik, dan di saat yang sama rakyat semakin ditempatkan pada posisi pasif dalam pemerintahan.

Artinya, keberatan ongkos politik itu hanya berlandas pada perspetif elite semata, tapi sama sekali tak peka terhadap urusan rakyat kismin kayak kita-kita.

Kedua. Ongkos sosial.

Benar memang. Keberadaan pemilihan langsung menyebabkan rakyat terbelah. Kondisi dua pilpres terakhir selalu panas.

Dari kacamata ini, barangkali Kiai Said Aqil Siradj bersama PBNU menggunakannya sebagai bahan evaluasi dengan usulkan pemilihan presiden via MPR kembali. Soalnya kalau dikasih ke rakyat, rakyat bisa perang sendiri-sendiri.

Padahal kalau Kiai Said mau jeli, alasan kenapa situasi bisa semakin panas justru bukan dari sana. Oke, pemilihan presiden langsung memang punya andil, tapi bukan itu satu-satunya yang bikin kita jadi kayak “perang saudara” sendiri.

Menurut saya, satu hal yang lebih patut disalahkan dari situasi ini ya karena adanya penetapan presidential threshold yang dibikin sama anggota DPR.

Lho, lho kok bisa gitu?

Kalau kita lihat, pada Pilpres 2014 silam keterbelahan memang sudah ada. Hanya saja saat itu sifatnya lebih organik. Kebetulan saja pasangan calon yang maju hanya dua. Artinya potensi konfliknya menjadi 100 persen. Sebab masing-masing pendukung hanya punya satu lawan.

Ini berbeda dengan Pilpres 2004 yang diisi 4 pasangan calon, lalu Pilpres 2009 yang diisi oleh 3 pasangan calon.

Potensi konflik pada 2004 hanya ada di kisaran 33,33 persen. Sebab, kalau kamu jadi pendukung salah satu capres, kamu punya tiga lawan yang harus dihadapi. Konsentrasi konfliknya terbagi ke tiga arah soalnya.

Hal yang sama juga berlaku pada 2009. Potensi konfliknya juga cuma 50 persen. Sebab kamu punya dua lawan yang harus dihadapi. Konsentrasi konfliknya terbagi ke dua kubu berlawanan.

Uniknya, ketika anggota DPR paham kalau Pilpres 2014 adalah pilpres paling brutal dalam sejarah Indonesia karena cuma memuat dua paslon, mereka malah bikin formula yang tak memungkinkan adanya paslon baru dalam pertarungan dua kubu tersebut di Pilpres 2019.

Artinya, konflik pada Pilpres 2014 itu memang “sengaja” dipertahankan pada Pilpres 2019. Seperti sengaja banget mau bikin konflik 100 persen di arus bawah.

Dan itulah yang menjadi wajah pada Pilpres terakhir. Pertarungan yang menggugurkan potensi paslon lain karena presidential threshold. Sebuah syarat minim sebuah partai bisa mengajukan calon presiden. Sekurang-kurangnya 25 persen dari total populasi anggota DPR.

Anehnya, kursi anggota DPR yang ada berasal dari pemilu periode sebelumnya. Artinya kalau pemilu sebelumnya cuma dua kubu, yang model begini nggak bakal berubah-ubah ke depannya sampai kiamat.

Jika memang ingin mengurangi potensi konflik sebagai konsekuensi dari adanya pemilihan langsung, seharusnya presidential threshold inilah yang harus dihapus, bukan malah mengubah pemilihan langsung balik ke zaman batu Orde Baru lagi.

Munculnya usul kembali pemilihan presiden via MPR ini seolah-olah berkebalikan dengan doktrin warga Nahdliyin sendiri.

“Al-muhafazhatu ‘ala qadimis-shalih. Wal akhdzu bil-jadiidil-ashlah.”

Merawat tradisi yang baik, dan berinovasi dalam hal baru yang lebih baik.

Atau jangan-jangan PBNU punya doktrin yang berbeda nih sekarang?

Ketiga. DPR dan DPD belum mewakili aspirasi kelompok minoritas makanya perlu dibikin utusan golongan di MPR.

Menaikkan fungsi MPR karena alasan DPR nggak optimal jelas sangat tidak mashook. Ini yang jadi persoalan kan anggota DPR, kenapa tiba-tiba malah mau nambah anggota lagi di jajaran MPR untuk melengkapi kekurangan DPR?

Seharusnya ya DPR itu lah yang harus dievaluasi gede-gedean. Lha wong kelompok mayoritas saja nggak didengerin kok sama mereka selama ini. Udah gitu, selalu minta dihormati lagi di setiap kesempatan.

Mau bukti? Lah itu, yang demo soal UU KPK di beberapa daerah Indonesia itu apa namanya kalau bukan fakta kalau DPR memang nggak mau dengerin aspirasi rakyat selama ini. Udah didemo gede-gedean aja bisa tetep ngeyel, kok sekarang beralasan perlu ditambah fungsi MPR untuk dengerin yang minoritas.

Udah usul dan dukung MPR punya wewenang milih Presiden, sekarang minta tambahan orang lagi. Hadeeh.

Situ aja nggak percaya sama rakyat untuk bisa milih presidennya sendiri, gimana rakyat bisa percaya sama orang-orang kayak situ? Minta dipercaya tapi dilandasi dari ketidakpercayaan sama rakyat sendiri itu maksudnya gimana coba?

Duwasar sembrambangan.

BACA JUGA NU Memang Ormas Penuh Humor, Beda dengan Muhammadiyah atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.

Terakhir diperbarui pada 28 November 2019 oleh

Tags: dprmprpbnupilprespresidensaid aqil
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Doktor termuda di UGM, Jogja ingin jadi presiden. MOJOK.CO
Sosok

Doktor Termuda UGM Usia 25 Tahun Ingin Jadi Presiden RI, Meneruskan Sepak Terjang BJ Habibie di Bidang Eksakta

6 November 2025
Jurusan Ilmu Politik di UHO mengecewakan. MOJOK.CO
Kampus

Nekat Kuliah Jurusan Ilmu Politik di Kampus Akreditasi B, Berujung Menyesal Tak Dengar Nasihat Ortu

3 Oktober 2025
UI kampus perjuangan tapi BEM-nya kini terbelah. MOJOK.CO
Catatan

UI sebagai Kampus Perjuangan Kini Terbelah dan Hilang Taringnya, Tak Saling Mendukung dan Searah

4 September 2025
Komentar seorang pedagang cendol lulusan SMK terhadap kenaikan gaji DPR. MOJOK.CO
Ragam

Rintihan Pedagang Cendol di Jakarta, Kerja Mati-matian Hanya Dapat Upah Kecil demi “Menggaji” DPR agar Hidup Sejahtera

28 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.