MOJOK.CO – Mahalnya rate card influencer atau selebgram kayak Rachel Vennya pernah turut jadi bahan gunjingan netizen. Sayangnya, menyalahkan tarifnya yang mahal cuma membuat kita tampak iri dengki.
Tentu saya pernah menganggap hidup ini berjalan begitu tidak adil. Influencer, utamanya selebgram yang cuma posting video 15 detik bisa menghasilkan dua digit. Jumlah itu hampir enam kali lipat UMR Jogja. Artinya karyawan dengan gaji UMR bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu setengah tahun, sedangkan influencer… cukup mengunggah video berdurasi sekitar 15 detik. Arghhh!
Jika mau dibandingkan, memang selamanya pendapatan influencer nggak akan masuk akal. Mereka nggak bercucuran keringat kayak kuli bangunan, mereka nggak mikir-mikir amat kayak content writer, mereka juga nggak perlu melalui beberapa tahap tes kayak PNS. Seterusnya kita akan terjebak pada terma sawang-sinawang tidak berkesudahan.
Rate card Rachel Vennya yang belakangan bocor, sempat jadi bahan julid sebab tarifnya mahal banget. Sekali mengunggah IG Story ia dihargai Rp12 juta, paling mahal adalah tarif IG TV seharga Rp100 juta. Bahkan tarif orang-orang intelektual saat jadi pembicara nggak bisa mencapai angka itu walau ia nyerocos menuangkan ilmu sampai belepotan. Kuatkan hatimu, Kawan. Terhitung sampai hari ini, endorsement dan iklan-iklan lewat influencer memang masih cukup efektif buat meningkatkan penjualan.
Gini deh, biar nggak tersesat, kita bahas dulu soal keuntungan ngiklan lewat influencer.
Beberapa rekan di Mojok pernah menjajal kedigdayaan selebgram dan figur media sosial. Semuanya sepakat bahwa endorsement mereka mampu mendongkrak penjualan, minimal buat tiga hari ke depan. Orderan lantas banjir, followers bertambah, lagi pula konten dari selebgram bisa disimpan dan dipergunakan untuk kepentingan promosi lain hari.
Dengan biaya Rp12 juta, keuntungan penjualan bisa berkali lipat lebih daripada itu. Keluar modal banyak, yang dihasilkan banyak. Makanya, sejauh ini influencer nggak pernah sepi endorse, sebab metode ini masih efektif. Walaupun, jujur aja, rate card influencer harganya banyak nggak masuk akal.
Semakin bagus engagement rate (ER) dari selebgram atau influencer, semakin bagus pula nilai penjualan pengiklan. Semakin ramai permintaan endorse dan semakin efektif unggahan si influencer, semakin mereka ingin menaikkan tarif. Sejauh ini kan memang yang diincar pengiklan adalah target penjualan, bukan value dari si influencer untuk merepresentasikan brand mereka. Kalau cari sosok buat kepentingan branding produk mah, mending cari brand ambassador sekalian.
Sampai sini clear ya, clear dong.
Jadi, kalau netizen berjulid dan ngata-ngatain rate card influencer itu kemahalan, selama stakeholder yang berbisnis nggak keberatan ya endorse bakal tetap jalan. Malah kadang, bentuk kerja sama bisnis ini cukup banal di Indonesia. Sebab, semakin si influencer punya kontroversi, ER mereka justru meningkat dan diamini para pengiklan. Ingat, ini bukan Korea Selatan yang menerapkan penalti buat figur publik bermasalah, bukannn. Di sini, artis settingan bisa makin tenar, sesalah apa pun mereka bisa minta maaf. Rakyat Wakanda pemaaf kok.
“Ah, tetep aja nggak adil, rate card influencer itu jumlahnya ngadi-ngadi, asal nembak angka.”
Ya memang, belum ada standarisasi dan lembaga yang berwenang memayungi bisnis endorse macam ini. Biasanya rate card influencer dibuat mana suka pakai ilmu kira-kira. Manajer mereka bertugas untuk mengatur alur iklan yang masuk dan bentuk kerja samanya.
Oke kita cari kelemahannya kalau kamu masih belum puas. Begini, saya yakin betul bahwa jenis bisnis macam ini mungkin nggak bertahan puluhan tahun. Ketenaran selebgram dan influencer itu naik turun, tren media sosial juga fluktuatif minta ampun.
Akan ada saat di mana selebgram dan influencer jumlahnya semakin banyak. Nggak mungkin semuanya terkenal, nggak mungkin semuanya banjir endorse. Akan ada saatnya juga netizen nggak terbeli dengan promosi lewat Insta Story. Bahkan penggunaan media sosial kayak Instagram juga tren yang suatu saat bisa berubah. Jadi, tugas influencer untuk menjaga rate card mereka tetap tinggi ya harus maintain citra diri. Harus bikin konten menarik, harus membuat hidupnya layak untuk diikuti sambil tetap menjunjung tinggi profesionalisme mereka dalam berbisnis. Tahu lah, kalau mulai nggak bisa profesional ya pengiklan bakalan ilfeel. Dan… nggak semua orang bisa melakukan hal ini. Pada akhirnya, tetap yang paling “kuat” yang bakal bertahan.
Orang-orang kayak Rachel Vennya mungkin populer banget di Instagram, tapi apa yang dia lakukan untuk maintain ketenarannya itu? Menikah lagi? Punya anak lagi? Bikin sensasi? Sebab, kita tahu persis blio nggak menawarkan skill apa pun kecuali skill membagikan kegiatan sehari-hari. Lho, betul kan. Kebanyakan selebgram memang begitu. Mereka berpikir keras untuk membuat diri mereka menarik di hadapan publik.
Beda dengan Dian Sastrowardoyo yang mungkin akan terus diikuti orang karena secara berkala blio aktif di dunia perfilman. Beda dengan para seniman yang memang banyak diikuti karena karya-karyanya, bukan karena kehidupannya.
Itulah kenapa banyak banget influencer dan selebgram yang mulai alih bisnis. Mulai bisnis kuliner, mulai produksi kerudung, mulai bikin brand sendiri, dan mulai cari modal buat wirausaha. Bagus lah, mereka sadar betul bahwa rate card adalah hal yang fana.
Sejauh ini memang belum ada penelitian ilmiah yang bisa benar-benar mengkritik rate card mahal influencer. Belum ada jurnal ekonomi yang menganggap bentuk kerja sama ini hanya menguntungkan satu pihak.
Yang kita tahu, kehidupan selalu berjalan sembrono, kadang tak adil dan menciptakan iri dengki. Apa lagi yang bisa kita lakukan selain bernapas manual dan kembali ke laptop, kerja lagi buat beli sarapan besok pagi.
BACA JUGA Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet dan artikel lainnya di POJOKAN.