Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Pramuka yang Menyenangkan Namun Kadang Bikin Muak

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
26 Agustus 2019
A A
pramuka
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Saya punya semacam love-hate relationships dengan Pramuka. Sejak kecil, saya sudah sangat menyukai Pramuka. Maklum saja, sejak kecil, saya sudah sering teracuni dengan sindrom petualangan: menjelajah, berburu harta karun, menaklukkan tantangan, tidur di alam liar, dan sebangsanya. Dan Pramuka, adalah entitas yang, setidaknya bagi saya yang masih kecil, sangat masuk akal untuk memenuhi hasrat petualangan.

Ketika SD, walau tak sesuai-sesuai amat dengan bayangan saya akan konsep petualangan, namun setidaknya, Pramuka toh berhasil membuat saya bahagia.

Pramuka membuat saya akhirnya bisa merasakan berkemah, ikut pesta siaga, dan yang paling penting, bisa membuat saya petantang-petenteng dengan seragam dilengkapi tali dan belati (yang tentu saja tidak tajam, sebab keberadaannya memang lebih bersifat hiasan pelengkap semata alih-alih sebagai alat pemotong). Bagi saya itu memang sangat keren dan sangat militeristik.

Oke, saya paham bahwa militerisme jaman sekarang sangat tidak keren dan tidak wuks, bahkan bagi beberapa orang cenderung menyebalkan. Tapi percayalah, dulu, bagi saya yang rumahnya berada di seberang kompleks akademi militer, melihat tentara dengan belati tergantung di ikat pinggang memang tampak sangat macho dan jagoan. Ayolah, Rambo yang pakai belati itu jauh lebih sangar ketimbang Inspektur Vijay yang pakai pistol.

Namun saat masuk SMP, Pramuka yang dulu saya kenal sebagai kegiatan yang menyenangkan dan penuh petualangan perlahan menjadi tidak lagi menyenangkan.

Senioritas dalam hierarki kepramukaan membuat segala kesenangan berubah. Dulu saat SD kita diasuh oleh kakak pembina yang tak lain dan tak bukan adalah guru kita sendiri. Sedangkan saat SMP, kita diurus oleh kakak kelas yang mentang-mentang lebih senior menjadi sangat menyebalkan. Mereka seperti gagap kekuasaan.

Saat masuk SMA, Pramuka menjadi semakin menyebalkan. Saya yang dulu sangat menyukai pramuka, dengan segala yang menyertainya (termasuk tali dan belatinya yang tidak tajam itu), kini menjadi sangat benci.

Kelak, perjalanan hidup saya kemudian justru mempertemukan saya dengan orang-orang yang ternyata tumbuh dengan baik salah satunya karena Pramuka.

Sebagai penulis, saya tak menyangka jika ada banyak penulis berbakat yang dulu adalah anak-anak Pramuka.

Saya merasa antara penulis dan pramuka kerap punya keterikatan. Saya pikir memang ada sehimpun syaraf di tangan yang membuat seseorang yang ahli tali-temali juga piawai dalam tulis-menulis.

Contoh yang saya pakai tentu saja adalah Puthut EA.

Banyak yang tak tahu, kalau Puthut EA yang penulis dan cerpenis jempolan itu dulunya merupakan pramuka pilih tanding. Seingat saya, ia bahkan sampai pernah ditunjuk untuk mewakili Rembang dalam sebuah ajang pramuka nasional (atau malah internasional? Saya agak lupa).

Itulah kenapa, kalau soal Pramuka, Puthut EA sangat otoritatif. Bahkan kalau kita perhatikan dengan teliti, setiap kedipan mata Puthut EA adalah serupa sandi morse yang memberontak untuk dipecahkan.

Penulis lain yang juga layak untuk dijadikan contoh adalah Pak Bondan Winarno almarhum. Penulis handal yang oleh banyak orang lebih dikenal sebagai ahli kuliner itu ternyata adalah anak Pramuka jempolan.

Iklan

Saking jempolannya, Pak Bondan yang Maknyus itu bahkan pernah memimpin penggalang Indonesia dalam ajang Jambore Pramuka Dunia di Amerika Serikat tahun 1967.

Contoh lain adalah Yusi Avianto Pareanom. Penulis yang novel terbarunya membuat saya tak henti-hentinya terkagum-kagum itu belakangan saya ketahui pernah menjadi Siaga terbaik se-Jawa Tengah. Tak heran, sebab jika diamati lekat-lekat, di balik tampang Paman Yusi yang tua namun ceria itu, memang tersirat kehidupan masa muda yang keras, masa muda yang penuh halang-rintang, masa muda yang hemat, cermat, dan bersahaja.

Nah, yang paling sahih dan dekat tentu saja adalah calon istri saya sendiri, Kalis Mardiasih. Penulis yang selalu membuat saya terkagum-kagum itu ternyata adalah seorang pramuka teladan. Saat SMA, ia bahkan menjabat sebagai ketua Pradana putri. Lebih dari itu, tulisan pertama dia yang tembus di koran (saat itu Solopos) juga adalah tulisan tentang reformasi Pramuka.   

Singkat kata, sebagai penulis, saya punya semacam hubungan emosional yang, walau nggak dekat-dekat amat, cukup berkesan dengan Pramuka.

Namun, seperti yang sudah saya tulis di atas, saya memang merasakan bahwa pada titik tertentu, Pramuka menjadi hal yang sangat menyebalkan.

Salah satu episode yang membuat saya begitu meyakini hal tersebut adalah sebuah kejadian yang terjadi saat saya kelas 1 SMA.

Saat itu, saya ditanya oleh Bantara, “Dek, kamu cinta sama tanah air nggak?”

Tentu saja saya jawab, “Cinta, Kak!”

Eh, bedebah, setelah saya jawab begitu, Si Bantara tidak tahu diuntung itu kemudian menyuruh saya untuk berbaring di tanah, “Kalau memang cinta, sekarang cium tanahnya!” Ujarnya sambil membentak.

Bangsat. Pramuka kok jadi goblok begini.

Belakangan saya agak merasa bersyukur, sebab apa yang saya alami ternyata masih belum ada apa-apanya ketimbang kawan saya. Amalia namanya.

Suatu ketika, ia pernah ditanya oleh Bantara, “Dasa Dharma pramuka yg kelima apa?”

Ia kemudian menjawab “Rela menolong dan tabah, kak.”

“Kalau begitu, kamu mau nggak nolongin kakak?”

“Siap, mau, Kak!”

“Petik bunga itu”, pinta sang Bantara sembari menunjuk bunga.

Kawan saya kemudian memetiknya, ia lantas memberikannya kepada Si Bantara, “Ini, kak.”

Bukannya berterima kasih, Si Bantara justru mengajukan pertanyaan lain. “Kamu tahu Dasa Hharma kedua?”

“Tahu, Kak. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.”

“Terus kenapa kamu petik bunganya?”

Modiaaaaaaaar.

Terakhir diperbarui pada 27 Agustus 2019 oleh

Tags: pramukaPuthut EA
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Di Era Digital, Gerakan Pramuka Perlu Terus Digalakkan  MOJOK.CO
Kilas

Di Era Digital, Gerakan Pramuka Perlu Terus Digalakkan 

14 Agustus 2025
Menjadi penulis jika ingin sejahtera maka jangan hanya fokus menulis MOJOK.CO
Ragam

Panduan untuk Calon Penulis agar Hidup Sejahtera, Karena Tak Cukup kalau Andalkan Royalti Saja

19 Januari 2025
Ngobrol Santuy Bareng Puthut EA Selain Soal Kepenulisan
Video

Ngobrol Santuy Bareng Puthut EA Selain Soal Kepenulisan

24 November 2024
Puthut EA: 25 Tahun Berkarya Rilis Buku Waktu yang Pendek untuk Cinta yang Panjang
Video

Puthut EA: 25 Tahun Berkarya Rilis Buku Waktu yang Pendek untuk Cinta yang Panjang

24 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.