MOJOK.CO – Dipukul, dipiting, dijambak, ditendang, dikeplak, disetrum polisi. Dari cerita Luthfi Alfiandi dan Ananda Badudu yang sempat dan masih ditahan gara-gara demo besar September tahun lalu, itulah yang mereka terima selama proses interogasi.
Kebalik sih menurut saya. Ketimbang melabeli setiap aparat jahat sebagai oknum sebagaimana kebiasaan pejabat, justru polisi baik itulah yang bisa disebut oknum. Artinya, jumlah polisi baik yang sadar betul mereka adalah penegak hukum dan karena itu harus taat prosedur hukum malah sedikit, sendirian, dan nggak bisa mewakili wajah institusinya.
Nggak heran kalau ada sipil yang benci banget sama polisi. Lihat saja, ironis sekali sebutan penegak hukum disematkan kepada polisi ketika situasinya seperti ini. Padahal, apa pun statusnya, masih terperiksa kek, tersangka kek, terdakwa kek, terpidana kek, hukum tak membolehkan polisi sembarangan gebuk orang.
Apalagi sampai nyetrum, kayak yang diakui oleh Dede Luthfi Alfiandi telah ia alami. Luthfi adalah remaja peserta demontrasi besar tolak RUU KUHP dan revisi UU KPK di Jakarta September tahun lalu. Fotonya sedang memegang bendera merah putih di demo itu, viral di media sosial, menjadikannya simbol gerakan #ReformasiDikorupsi.
Kemarin (20/1) sidang lanjutan kasus Luthfi diadakan di PN Jakarta Pusat. Luthfi telah berbulan-bulan ditahan polisi karena tuduhan melawan aparat, persisnya lagi, dituduh melempar batu ke aparat saat demonstrasi. Dalam sidang itu Luthfi buka-bukaan bahwa selama proses interogasi oleh polisi, ia disetrum agar mau mengaku telah melempar batu. Akibat tak kuat menahan siksaan, ia bilang terpaksa mengiyakan tuduhan itu.
“Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setengah jam lah. Saya disuruh mengaku melempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar.”
“Saya saat itu tertekan, makanya saya bilang akhirnya saya lempar batu. Saat itu kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga,” demikian keterangan Luthfi.
Pengakuan Luhtfi membuat aktivis dan musisi Ananda Badudu membuka cerita. Saat demo sedang memanas, ia sempat diciduk di pagi buta oleh polisi. Penangkapannya segera menggemparkan Internet. Siang tadi Nanda ngetwit bahwa hajaran polisi juga ia terima ketika diinterogasi sebagai saksi. Sekali lagi: sebagai saksi.
Mumpung lg rame ngomongin penyiksaan saat penyidikan, mau flashback dikit
Pas sy dibawa ke Polda dl sy pun dipukul, dipiting, dijambak, ditendang, dan dikeplak berkali2.
Saat itu sy gabisa ngmg apa yg sy alami krn
1. Diancam pidana baru
2. Mau disomasihttps://t.co/GFr9NZd28k— Ananda Badudu (@anandabadudu) January 21, 2020
Yg lebih aneh lg setelah mendapat semua perlakuan itu, saya keluar sebagai saksi. Wtf. Sejak kapan saksi dijemput subuh2 dan diperlakukan spt itu?
— Ananda Badudu (@anandabadudu) January 21, 2020
Lucunya (nggak lucu aslinya), Nanda juga mengalami hal lain yang persis sama dengan Luthfi: berhenti disiksa karena polisi sadar sedang menginterogasi sosok terkenal. “Waktu itu polisi nanya, apakah benar saya yang fotonya viral. Terus pas saya jawab benar, lalu mereka berhenti menyiksa saya,” kata Luhtfi.
Mirip seperti Lutfi, makin siang sy diperlakukan lebih baik, mungkin krn di luar berita ttg sy waktu itu viral.
— Ananda Badudu (@anandabadudu) January 21, 2020
Pas di dalem jg ada penyidik yg mengenali saya lalu doi menyenandungkan “yang patah tumbuh, yang hilang berganti”. Saya bingung harus merespon gimana. Sungguh awkward moment yg awkward abis, wkwk
— Ananda Badudu (@anandabadudu) January 21, 2020
Sedihnya, kadang masih nongol tuh orang sipil yang membenarkan kekerasan yang dilakukan polisi. Alasannya, lah pendemonya juga melakukan kekerasan kok.
Kalian capek nggak sih berhadapan sama argumen kayak gini?
Kita nggak bisa bilang bahwa polisi atau tentara yang bunuh orang kayak di berita ini dan ini mencerminkan perilaku semua polisi dan tentara. Sampai sini, sepakat nggak? Ya udah, kalau sepakat, satu demonstran yang gemar baku hantam juga tidak mencerminkan bahwa semua demonstran kayak gitu. Logika “temanmu salah kamu juga salah” gitu malah jadi kayak logika balas dendam antarklan.
Entah apa yang sedang terjadi dalam tubuh korps Bhayangkari ini. Sebagai penegak hukum, perilaku melanggar hukum malah diborong aparatnya sendiri, mulai dari menghalangi penindakan korupsi, melakukan korupsi itu sendiri, memperkosa, melanggar HAM, sampai menjadi musuh kebebasan pers. Nggak usah sensi dulu kalau kamu polisi atau dekat dengan polisi. Daftar ini cuma mau benerin logika. Polisi selalu benar itu tidak benar. No fucking way lah.
Balik lagi ke interogasi yang isinya gebuk-gebukan, mestinya polisi malu berat ketika cerita ini bocor ke publik. Walau sebenarnya, sudah jadi rahasia umum bahwa interogasi tidak manusiawi kerap dialami kriminal kecil-kecilan (yes, cuma kriminal kecil-kecilan). Kalau untuk bikin seseorang ngaku polisi merasa cuma bisa pakai teknik baku hantam, sekalian aja Bli Jerinx SID dijadiin kapolri.
Lalu punchline-nya ini. Menurut Komisi Kepolisian Nasional, warga sipil bisa melaporkan polisi yang melakukan kekerasan selama interogasi. Lapornya ke… polisi juga. Persisnya lagi Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).
Saran yang masuk akal, tapi untuk melakukannya, hm… nggak deh. Diketawain Novel Baswedan nanti. Misal kelak sampe ngalamin digebuk polisi (amit-amit deh), mendingan bikin thread di Twitter. Jelas lebih efektif, dan ada bonus nambah mutualan.
BACA JUGA Penyerang Novel Baswedan Baru Ketemu, Puadahal Sketsa Wajah Uda Ada Sejak 2017 atau artikel lainnya di POJOKAN.