MOJOK.CO – Tanda tangan petisi online untuk melakukan boikot terhadap Nikita Mirzani semakin ramai. Memangnya fungsi boikot buat apa?
Petisi Change yang berisi seruan untuk melakukan boikot terhadap Nikita Mirzani rupanya semakin banyak ditandatangani. Awalnya, figur publik kontroversial tersebut muncul dengan melakukan sayembara berhadiah sepuluh juta untuk siapa pun yang berhasil mendapatkan data dan alamat netizen yang sudah menyenggolnya.
Akar masalahnya memang seputar itu-itu saja. Si figur publik nggak terima dikatain haters, lalu abuse of power dan melakukan upaya doxxing. Pola semacam ini pernah dilakukan oleh Rachel Vennya yang ketika itu melakukan sayembara serupa. Ya jelas si artis yang bakal menang. Sebab, selain mereka punya medium yang lebih besar, mereka juga sudah siap dana untuk orang-orang Indonesia yang mata duitan.
Tunggu dulu, memang tak ada asap jika tak ada api. Sebelum kemarahan Nikita Mirzani tersulut, sejumlah netizen memang bisa dibilang memantik masalah. Pada kasus Rachel Vennya, si haters rajin benar mengirimi pesan yang isinya seputar kebencian, mengata-ngatai, dan menjelekkan dear Buna. Begitu pula yang terjadi pada Nikita Mirzani, artis yang terkenal senggol bacok ini mungkin tipikal yang kalau nggak ribut nggak makan.
Mau netizennya, mau artisnya, sama saja sedang berdramaturgi. Yang luput dibahas adalah, imbas dari upaya boikot orang-orang semacam itu.
Membahas tokoh kontroversial semacam Nikita Mirzani dan pertikaiannya dengan haters atau tokoh lain bagi saya sama saja seperti berkubang di lumpur. Sekali nyemplung sulit mentas. Kalaupun bisa mentas harus mandi bersih. Tapi, demi kalian, saya bakal berenang sekalian nih!
Keresahan saya pribadi tentang upaya boikot adalah efek kelanjutannya. Pun banyak orang yang tak paham betul definisi “boikot”. Secara sederhana boikot adalah bentuk protes, pemaksaan, dan sebuah seruan dari publik terhadap suatu pihak yang dianggap merugikan. Istilah ini populer sejak perang tanah di Irlandia abad ke-18 dan konon diambil dari nama orang bernama Charles Boycott.
Boikot Nikita Mirzani juga sebuah seruan protes untuk menunjukkan bahwa sebetulnya cukup banyak orang yang tidak menyukainya. Secara politis, tujuan akhirnya memang pengin “menggulingkan” si artis dari dunia hiburan. Sayangnya semakin dipikir, upaya ini justru bisa menjadi klise dan sulit direalisasikan. Alih-alih bikin si artis tersungkur dari kariernya di dunia hiburan, kita justru bisa membuatnya semakin terkenal.
FYI, terkenal dengan citra buruk di Indonesia nggak masalah kok, yang penting terkenal. Kalau nggak percaya, coba tanya Vicky Prasetyo.
Upaya boikot yang melibatkan petisi online banyak dikaji melalui studi literasi digital. Petisi online adalah sebuah fenomena ketika media sosial bisa menjadi sebuah kekuatan untuk publik. Sebuah amunisi untuk menandingi “kuasa” dari kumpulan orang-orang biasa.
Orang dengan kuasa lebih, seperti tokoh terkenal, ya termasuk Nikita Mirzani dan Rachel Vennya, memang susah untuk diajak by one. Oleh karena itu, alternatif untuk melawan mereka adalah dengan melakukan seruan boikot ramai-ramai.
Lucu aja kalau saya ngajak duel Nikita Mirzani ya pasti ujungnya bakal ditanya: “Lah, lu siapa, bgsd!”
Boikot dan tanda tangan petisi sebetulnya manjur untuk dijadikan corong suara rakyat jika pihak yang digugat adalah suatu lembaga negara atau organisasi tertentu. Ini membantu banyak orang untuk menjelaskan sebenarnya apa yang digugat, apa yang berusaha dituntut, dan apa yang lebih diinginkan banyak orang.
Mekanisme ini mirip dengan memviralkan pelaku kejahatan seksual yang belakangan ramai. Protes dilayangkan lewat media sosial, paparan audiens diperbesar, masalah menyebar, aparat pun turun tangan. Jadilah “delik viral”.
Di Amerika, boikot dan tanda tangan petisi pernah ramai diserukan untuk brand Pepsi gara-gara iklannya. Kasus serupa juga banyak terjadi dan pengaruhnya jelas pada penjualan produk mereka. Nah, kalau boikot ke artis Indonesia kayak Nikita Mirzani, kira-kira apa yang terjadi selanjutnya nih? Masa sih cuma ngasih efek bully ke Nyai?
Paling banter, petisi boikot Nikita Mirzani menyadarkan lebih banyak orang bahwa blio adalah figur publik yang banyak dibenci, banyak dirutuki. Syukur-syukur kalau yang bersangkutan menyadari ketidaksukaan publik dan meredam tindakannya.
Tapi, apakah upaya ini bisa menggulingkan popularitasnya? Ya tergantung jika stasiun televisi budiman masih banyak mempekerjakan Nikita Mirzani, sungguh percuma. Kembali lagi, terma “popularitas” di Indonesia tidak mengenal citra baik dan buruk.
Masalahnya, seruan boikot Nikita Mirzani tidak ditujukan untuk lembaga yang punya kewenangan. Misalnya jika kita membuat seruan boikot Trans TV karena menampilkan Saipul Jamil sebagai predator seksual, tentu arahnya lebih terstruktur. Trans TV paham betul risiko buruk ketika orang-orang tak menonton mereka. Kita bisa tak kembali melihat Bang Ipul di televisi walaunya orangnya masih aktif joget TikTok.
Jadi, kepada masyarakat yang tensi kebenciannya terhadap Nikita Mirzani sudah mendidih, lebih baik menyusun taktik yang lebih jitu. Misalnya boikot acara yang menampilkan si Nyai, menuntut Instagram agar melakukan suspend terhadap akun si artis, atau upaya lain yang lebih ngasih imbas begitu.
Usul aja loh ini, takut dijadikan sayembara dan di-doxxing saya nih, data pribadi saya sudah punya publik soalnya. TBL TBL, tackut banget loooh.
BACA JUGA Menghitung Nafkah Penghasilan Nikita Mirzani, Artis Kontroversial yang Bergelimang Harta dan artikel lainnya di POJOKAN.