MOJOK.CO – Tahun baru dan hari Valentine adalah waktu langganan untuk satpol PP, ormas, dan siapa saja pihak kurang kerjaan untuk melakukan razia kondom dari pasaran. Daripada merazia barang legal, kenapa kalian nggak merazia kebodohan sendiri aja sih?
Trik ini saya tiru dari guru-guru sekolah dan para mubalig. Sesuatu yang rumit akan jadi mudah dipahami kalau dijelaskan menggunakan perumpamaan atau persamaan. Saya akan mencontohkan lewat satu cerita.
***
Syahdan seorang santri yang baru pulang belajar dari luar negeri galau minta ampun. Ia kemudian mendatangi kiainya untuk menanyakan tiga hal.
Kiai, katanya–tapi ini pakai bahasa saya sendiri, saya ingin menanyakan tiga hal yang membuat saya resah dan gundah.
Apa tiga pertanyaan itu, Nduk?–cerita ini aslinya pakai tokoh santri, tiap biar nggak mainstream, tokohnya saya ganti jadi santriwati.
Pertama, apakah Tuhan itu ada sementara kita tidak tahu wujudnya? Kedua, apakah takdir itu ada dan bagaimana cara kerjanya? Ketiga, mengapa setan yang terbuat dari api malah dimasukkan ke dalam neraka yang isinya api, api, dan api? Api ketemu api, di mana letak penyiksaannya, Yai?
Oh, aku akan menjawab ketiga pertanyaan itu sekaligus dengan satu jawaban. Ia kemudian menampar tangan si santriwati. (Adegan aslinya menampar pipi, tapi rasanya kok kasar banget untuk ukuran guru yang lagi ngajari muridnya.)
Lho, saya kok dipukul, Yai?
Ya, itu jawabannya. Coba sekarang, tanganmu setelah dipukul apa rasanya?
Sakit, Yai.
Sakit itu ada apa nggak?
Ya, ada, Yai. Wong saya sampai meringis begini.
Coba kalau sakit itu benar ada, tunjukkan ke saya, apa wujudnya?
Si santriwati klakep karena dia santriwati. Kalau dia Willy The Kid, dia akan klakep sambil mam ketoprak pedas cabe rawit 4%.
Waktu kamu datang ke sini, kamu tahu nggak kamu bakal saya pukul?
Nggak, Yai.
Itu takdir. Sekarang saya tanya lagi, kalau tangan saya ini dilapisi kulit, lenganmu dilapisi apa?
Kulit juga, Yai.
Kulit ketemu kulit kok sakit?
Santriwati itu klakep lagi sambil menatap lantai. Tidak ada ketoprak pedas cabe rawit 4% di sana.
***
Setelah bertele-tele di atas, mari kita masuk ke topik razia kondom.
Apa sih fungsi kondom? Sebagai alat pengaman ketika berhubungan seksual. Pengaman dari apa? Dari potensi kehamilan tidak diinginkan (birth control) dan dari peluang tertular penyakit menular seksual, seperti sipilis, herpes, dan HIV.
Siapa yang memakai kondom untuk berhubungan seksual? Ya pasangan, bisa yang sudah menikah, bisa yang belum. Kenapa pasangan yang sudah menikah memakai kondom? Karena dianjurkan tenaga kesehatan. Kenapa dianjurkan? Satu, jaga-jaga kalau memang belum pengin punya anak. Dua, karena pernikahan tidak menjamin seseorang hanya akan berhubungan seksual dengan pasangan sahnya.
(FYI, ibu rumah tangga adalah salah satu populasi kunci dengan HIV dan AIDS tertinggi di Indonesia. Mereka tertular dari suami.)
Apakah kondom satu-satunya alat kontrasepsi di dunia? Tidak. Apa lagi? Untuk fungsi birth control, ada coitus interruptus alias keluar di luar (RIP EYD), macam-macam KB, hingga steril. Sedangkan untuk pengamanan dari penyakit menular seksual, kondom adalah yang paling praktis.
Sekarang clear ya soal kondom. Sekarang, para tukang razia kondom adalah rombongan orang-orang yang percaya bahwa kondom hanya dan hanya digunakan untuk mencegah kehamilan, persisnya lagi dipakai oleh orang-orang yang belum menikah. Di lembaga agama, kondom untuk pasangan sah pun dilarang karena dogma seks adalah ibadah, tidak boleh dilakukan hanya untuk senang-senang.
Kondom ibarat gelas, terus gelas itu kadang dipakai untuk minum bir, entah Prost yang sering promo sampai Paulaner.
Terus saya nggak suka bir. Jadi saya mau razia gelas. Biar orang nggak bisa minum bir.
Padahal bir bisa diminum langsung dari botolnya. Atau kalau kepepet, pakai mangkuk. Kalau mau gaya jawa timuran, diminum pakai tatakan gelas. Dan hubungan seks pranikah seperti itu: Mau ada, nggak ada kondom, kalau udah konak mah tetep jalan terus. Jadinya malah seks berisiko.
Akibat gelas dirazia, orang lain yang mau pakai gelas untuk minum kopi jadi nggak bisa. Padahal udara sedang dingin dan enaknya minum dang kopi, makannya dang goreng, ududnya dang garam, hiburannya dangdutan. Kan kasihan, dia jadi nglangut.
Kalau memang orang-orang itu takut sekali rekan-rekan senegaranya suka seks bebas, mending pakai cara lain. Kita bisa pakai KB sebagai contoh.
Program KB bisa dibilang tidak berhasil (ciye, eufemisme) pada masa-masa awalnya. Lha emang ngasih target kebangetan, dari era orang beranak 7-10 dianggap normal, tahu-tahu pemerintah menurunkannya secara njeglek jadi 2 anak cukup. Propagandanya berhasil, orang-orang menganggap dua anak itu bagus. Tapi bagus aja, ngikutin mah emoh.
Terus lihat hari ini. Mana ada acara bikin-bikin monumen atau tugu program KB lagi kayak jaman dulu. Sementara bisa kita lihat, teman-teman kita, mas-mas dan mbak-mbak kita, mulai menurunkan produksi anaknya jadi di kisaran satu sampai tiga. Beberapa ada yang ekstrem nggak mau punya anak.
Kenapa bisa begitu? Salah satu alasannya: Karena membesarkan anak itu makin mahal, sementara kepastian kesejahteraan terus turun. Intinya takut nggak kuat membiayai terus anaknya malah hidup nelangsa. Mereka nggak mau anak mereka gitu dan secara sadar, mandiri, dan berdaulat, mereka memilih pakai kontrasepsi.
Begitu ya.
BACA JUGA Jangan Ajari Anak Bahaya HIV/AIDS, Ajari Mereka Selibat demi Agama atau artikel menarik lainnya di POJOKAN.