MOJOK.COÂ – Berkali-kali saya pikir ulang, pasangan yang ngintilan dan pegang semua password medsos itu seharusnya layak dicerahkan. Kita semua butuh privasi. Bahkan ketika statusnya sudah suami istri.
Ponsel adalah privasi seseorang. Pacar kalian sama sekali tidak berhak tahu kata sandi medsos kalian bahkan ngubek-ubek pesan WhatsApp dari kawan-kawan kalian dan melakukan pemindaian pada direct message Instagram. Huft, hubungan seperti ini pasti melelahkan.
Kita semua kemudian mengenal gejala ribet ini dengan sebutan posesif. Di mana pasangan udah kayak malaikat Rokib dan Atid yang selalu memberikan penilaian atas apa yang kita perbuat.
Oke, soal privasi yang menyangkut penguasaan ponsel ini, kita harusnya nggak beda pendapat lagi. Kebangetan dong kalau masih pacaran aja udah saling mengikatkan diri begini, negaranya demokrasi tapi hubungannya otoriter. Haaash!
Khusus bagi kalian yang pasangannya belum tersadarkan alias masih posesif, cobalah mulai pikirkan skema penyelesaian atau hubungan kalian yang selesai saking toxicnya.
Setelah menikah, membuka ponsel satu sama lain bisa terasa lebih wajar. Karena pada dasarnya dalam hal keuangan, pasangan suami istri saja sudah rela untuk berbagi. Tidak ada yang salah dengan dua insan yang sedang mencoba menaklukan dunia ini.
Taaapi….
Kalian tetap nggak bisa mengklaim bahwa pasangan suami istri itu nggak boleh lagi punya privasi. Betul bahwa membuka ponsel suami itu nggak masalah, ibu saya sering melakukannya. Benar bahwa log in pakai medsos istri juga nggak masalah Mas Agus Mulyadi sering melakukannya. Tapi kalau bicara privasi, kita nggak bisa memperkecilnya dalam skala akses ponsel semata.
Saya menemukan sebuah cuitan ini tanpa sengaja dan merenungkannya dalam otak saya yang kadang njebluk mikirin Omnibus Law. Cuitan ini berisi sebuah opini, pendapat yang sah saja disampaikan. Saya rasa jika saya nggak setuju pun nggak masalah juga.
Unpopular Opinion.
Kalau udah berpasangan Privasi itu udah hilang. Baik laki atau perempuan. Sehingga tiap pasangan berhak untuk mengecek HP pasanganya.
kalau dilihat ga mau berarti ada yang disembunyikan. kalau main rahasia-rahasiaan mending ngedarin sabu aja.
— Ariaflutter ? (@ariafluttera) March 10, 2020
Saya bisa menyangkal cuitan ini dengan satu kalimat yang lumayan edgy.
Privacy is not secrecy, Baby.
Privasi secara singkat adalah sebuah kebebasan dan keleluasaan pribadi yang mana wujudnya nggak cuma saling lihat ponsel. Privasi seharusnya baik-baik saja jika diterapkan dalam kehidupan pernikahan, tapi kerahasiaan tidak.
Bayangkan saja jika suami menyembunyikan rahasia bahwa dia sebenarnya sudah kawin lagi. Lha kebacut! Informasi yang memengaruhi keberlangsungan hubungan seharusnya disampaikan, kalau nggak ya makin kayak api dalam sekam.
Jadi sebenarnya kepo ponsel pasangan sah kalian itu boleh kok, asal diizinkan. Kalau nggak diizinkan, tanyakan alasannya kenapa. Kalau jawabannya terbata-bata aa-eee-aa-eee, baru patut curiga. Rahasia apa yang dia siampan? Hmmm.
Privasi yang dibutuhkan orang yang sudah menikah minimal berupa menghabiskan waktunya sendiri tanpa suami atau istri. Hidup bakal menempatkan kita di berbagai permasalahan hidup yang mungkin bakal lebih kacau andai melibatkan keluarga.
Maka pasangan yang sudah menikah tapi tetap ngintilan itu harusnya mulai mawas diri dong. Pasangan kalian butuh yang privasi berupa kongkow sama kawan lama, sama squadnya di masa muda. Pasangan kalian butuh berorganisasi dan mingle biar makin banyak dapat koneksi. Dan ini jelaaas dia ingin pergi sendiri tanpa diikuti.
Tidak berbagi dalam pandangan politik juga termasuk dalam kebutuhan privasi. Sifatnya individual dan posisi suami istri dalam hal ini sama-sama warga negara. Setiap warga negara punya hak merahasiakan siapa yang jadi pilihan politiknya, harusnya pasangan nggak usah bertengkar mengenai hal ini dan lebih menghargai kalau satu sama lain nggak ingin ngomogin politik. Mumet, Lur!
Begini, rasanya membahas privasi dan mengklaim kalau kita semua butuh akan hal itu memang terdengar kejam. Tapi kalian perlu tahu bahwa pasangan yang sedang meminta sedikit keleluasaan bukan berarti nggak sayang.
Bapak saya contohnya, tidak pernah melarang ibu saya buat berangkat PKK, jadi aktivis bank sampah, ngurusin agenda ziarah ibu-ibu Muslimat. Begitu pula ibu saya yang nggak pernah melarang ayah saya reunian ke luar kota sendirian. Tapi mereka nggak pernah saling curiga soal perasaan sayang. Gayeng to?
Privasi pasangan bukan isu yang seharusnya dibikin ribet. Asal saling menyepakati dan paham betul bahwa instrumen privasi itu sesekali dibutuhkan, maka kehidupan pernikahan bakal lebih membahagiakan. Akad nikah kan bukan ikrar kepemilikan kayak zaman perbudakan.
BACA JUGA Merdeka dari Patah Hati dengan Potong Rambut atau artikel lainnya di POJOKAN.Â