MOJOK.CO – Gimana rasanya jadi Orang Sunda yang harus belajar bahasa Jawa di kota Arema?
Saya asli orang Bandung, Bandung coret alias Bandung Kabupaten sih lebih tepatnya. Saya lahir dan besar di sebuah daerah bernama Baleendah. Kalau kalian suka nonton tv, mungkin kalian familiar dengan nama itu. Maklum, daerah saya ini sering jadi tetangga Bikini Bottom karena tiap tahun kena banjir besar sampai mirip laut buatan.
Sebagai anak rumahan saya jarang sekali ke mana-mana, sekalinya saya pergi ke luar rumah saya langsung pergi jauh dan nyasar di Malang…
Kenapa saya bilang nyasar? Karena saya kira Malang itu ada di daerah Jawa Tengah. Jadi, nggak terlalu jauh dari rumah saya di Jawa Barat. Kalau saya googling sih cuman butuh 8 jam lah kalau naik kereta ke sana. Waktu sudah diterima di salah satu Universitas Negeri di Malang dan cek tiket kereta untuk daftar ulang, si anjir, saya baru sadar kalau itu ternyata itu Pemalang, bukan Malang… Ya, silakan ketawa…
Saya baru tahu kalau Malang itu adanya di jawa Timur, 17 jam kalau naik kereta dari Bandung. Dari Barat ke Timur Jawa, kebayang nggak jauhnya kayak apa? Pokoknya ketika saya sampai di sana, pantat saya sudah tipis dan rata saking kelamaan duduk di kereta.
Kesan pertama saya ketika sampai di Malang adalah: Malang itu mirip-mirip dengan Bandung. Udara dinginnya, suasananya, sampai macetnya juga sama. Mungkin yang bikin beda adalah di Malang kalau beli bakso harus ambil baksonya sendiri, di Bandung, sebagai Orang Sunda yang berjiwa juragan, saya terbiasa dilayani, alhasil waktu pertama kali beli bakso saya sampai berdiri sekitar sepuluh menitan sampai pedagangnya bilang, “Baksonya ambil sendiri, mbak.” Sejak itu saya langsung takjub atas kemandirian Orang Malang.
Selain masalah beli bakso, masalah kedua yang saya alami adalah masalah bahasa. Sebagai orang sunda asli, saya nggak ngerti pisan dengan bahasa Jawa. Parahnya, orang-orang di sini nggak peduli apakah saya bisa bahasa Jawa atau nggak, mereka selalu mengjak saya berbicara dengan bahasa Jawa. Jadinya, ya mau nggak mau saya harus belajar bahasa Jawa supaya tidak dikucilkan dari pergaulan.
Pengalaman saya belajar bahasa Jawa ini terbilang sedikit konyol. Waktu itu, kata pertama dalam bahasa jawa yang saya tahu adalah “Dahar” pertama kali dengar itu saya sedikit tersinggung karena itu kasar dalam bahasa Sunda, padahal di Jawa itu kata paling halus untuk menyebutkan “makan”. Kata lainnya sih lebih banyak bikin saya nggak bisa berhenti ketawa saking absurdnya gambaran yang muncul dalam imajinasi saya karena nggak ngerti maknanya.
Kata “lebokno” dan “ngombe” misalnya, bagi saya kata “dilebokno” itu mirip dengan “dilebok” dalam bahasa Sunda yang artinya “dimakan” tapi kasar dan hanya digunakan kepada hewan. (contoh: Eta kade sangu dilebok ku hayam, artinya itu nasi awas dimakan sama ayam) sementara “ngombe” itu mirip dengan bahasa Sunda “ombeh” yang artinya cebok. Jadi ketika teman saya bilang:
“Bukune ojok lali dilebokno nang tas.” “Sik, ngombe sik.”
Yang ada dipikiran saya adalah, “Bukunya jangan lupa dikasihkan makan ke ke tas,” dan, “Sebentar, cebok dulu.”
Selain ngakak karena kata-kata aneh yang disebutkan oleh teman-teman, saya juga selalu ngakak setiap beli sayur di warung. Biasanya Ibu warung akan menghitung belanjaan saya dengan bahasa jawa. Yang saya dengar biasanya seperti ini:
“Patangewu ambe patangngewu ambe sewu ambe pitungewu dadine rolasewu.”
Saya ngakak karena kalimat itu disebutkan dengan logat yang muueedhok, dan ngakak juga karena saya nggak ngerti berapa uang yang harus saya bayar.
Meskipun membingungkan dan kadang bikin saya pingin ketawa, tanpa saya sadari saya jadi menyukai bahasa Jawa. Meskipun sampai sekarang saya masih belum bisa jika diajak berbicara langsung dengan menggunakan bahasa Jawa, saya tetap senang mendengar bagaimana sesama orang jawa saling berkomunikasi. Apalagi ketika mereka mulai saling mengejek dalam bahasa Jawa.
Sebagai anak yang dari kecil diajari untuk jangan berkata kasar, saya benar-benar nggak terlalu bisa mentoleransi kata gobl*g, anji*g, atau ta* yang sering diucapkan orang sunda, atau orang jakarta tapi entah kenapa saya baik-baik saja ketika saya mendengar kata jancuk, asu, atau jangkrik yang biasa disebutkan teman-teman saya di Jawa. Saya bahkan bisa dengan fasih ikut melafalkannya juga. Mungkin karena saya nggak tahu artinya kali ya, jadinya nggak ngerasa itu kata yang jahat.
Tapi bagian terbaik dari belajar bahasa Jawa di Malang adalah: Saya punya khasanah kebahasaan baru mengenai bahasa Malangan yang terkenal dibulak-balik itu. Bagi saya itu lebih keren dari bahasa Jawa di daerah lain. Saat fanbase klub bola favorit saya merubah slogan you’ll never walk alone jadi umak kadit uklam dewean misalnya, penggunaan bahasa Malang dalam kalimat itu membuat YNWA yang asalnya saja sudah keren, jadi 1000 kali lipat lebih keren. Kalau kata Orang Malang di sana, yang kaya gini tuh disebutnya Mboiss, Sam!!