Beberapa tahun lalu terbit dua buku grafis yang populer sekali di masa itu, karya penulis-aktivis Eko Prasetyo. Judulnya Orang Miskin Dilarang Sakit dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Hari ini, lewat Twitter, kita bisa menyaksikan bahwa dari sudut pandang orang kaya (atau sesama miskin tapi meminjam kacamata orang kaya?), orang miskin sudah dilarang punya anak pula.
Ya jangan ngentot dan jangan punya anak 3 orang. Kalau miskin tau diri dan kendalikan hidup sendiri, ga usah nyalahin kemampuan orang lain.
Gitu aja kok repot.— – (@RistyRianda) July 13, 2020
Dua judul buku itu saya singgung karena bisa jadi alat banding menarik buat memamah komentar soal orang miskin sebaiknya jangan punya anak banyak-banyak. Temanya juga masih relevan, sejak dulu dan sampai hari ini belum selesai. Bahwa biaya pendidikan dan kesehatan di Indonesia bisa bikin orang jatuh miskin. Disebut jatuh miskin jika orangnya tadinya kaya atau sedikit mampu (saya jadi ingat mahasiswa Indonesia S-2 di Oxford, anak orang kaya, mendadak minta sumbangan ke warganet karena kondisi ekonominya ambruk sejak bapaknya sakit).
Lha bagaimana kalau sudah miskin? Ya sudah, pasrah, teronggok di rumah—kalau punya tempat berteduh—sambil menanti ajal. Itu pun kalau matinya cepat. Kalau matinya lama, biasanya penderitaan menular ke seluruh anggota keluarga dan lingkungan terdekat.
Coba siapa di sini yang merasa tidak kejam jika dikatakan, karena biaya kesehatan mahal, orang miskin jangan pernah sakit? Pasti ketidakadilannya terasa sekali, kan semua orang pernah sakit. Lalu lanjutkan lagi, siapa yang tidak merasa zalim ketika orang miskin dilarang sekolah karena tak mampu bayar ongkosnya?
Semua orang waras mestinya menyalahkan ongkos yang tinggi ketimbang menyalahkan orang sakit atau orang yang mau sekolah.
Dan sebenarnya, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal lah yang bikin muncul aspirasi orang miskin dilarang punya anak banyak. Tapi, aneh sekali ya, di kasus yang terakhir ini yang disalahkan justru yang punya anak, bukan keadaan yang menyebabkan punya anak itu jadi mahal buat orang miskin.
Apa kemudian dia berani teruskan logikanya, dengan misalnya bilang, “Kalau tak mau dipersekusi ya jangan jadi homoseksual,” “Kalau tak mau dirasisin, ya jangan jadi orang kulit berwarna.” Mengkopi gaya berpikir Ibu Puan Maharani juga bisa, kalau beras mahal dan situ tak mampu beli, makannya dong yang dikurangi. Allahuakbar.
Kalau mau mengira-ngira apa isi kepala orang yang menyalahkan orang miskin yang punya anak banyak, mungkin begini: bagi dia, ongkos beranak itu memang dari sononya tinggi. Bagi dia, ini situasi yang sudah betul. Ada harga, ada kualitas. Situasi tak bisa disalahkan. Hukum alamnya sudah begitu.
(Siapa sangka, puisi Chairil Anwar tentang “Beginilah nanti jadinya / Kau kawin, beranak dan berbahagia” yang dulu suka jadi bahan ejekan untuk orang pragmatis, kini melompat jadi privilese.)
Cara berpikir begini biasanya milik orang cupet, pendek alur berpikirnya. Atau mungkin memang dasarnya penghamba kapitalisme dan survival the fittest. Kita patut curigai, dia ini belajarnya kurang karena waktunya habis dipakai untuk bekerja cari uang. Kasihan, korban kapitalisme telah tercuci otak untuk menghamba pada penindasnya.
Cara pandang begini apakah salah? Tidak. Sebagai argumen, benar kok. Tapi tak ada gunanya disampaikan. Tak akan mengubah keadaan. Sebab, kenyataan tak bekerja dengan cara: punya anak mahal –> tak usah punya anak –> hidup bahagia dunia-akhirat.
Dia tak bisa membayangkan, jika hari ini orang miskin cuma bisa membesarkan—dengan cara yang layak—satu anak saja, lalu semua orang miskin cuma punya satu anak, bakal ada masanya kapitalisme membuat punya satu anak pun terasa sangat mahal sampai orang miskin tak mampu melakukannya.
Kalau memang tujuannya mau menghabisi umat manusia, dan itu dinyatakan sejak awal, saya malah akan kicep, tak mampu mendebat. Argumennya sudah kokoh sejak dari awal.
Orang-orang pintar di Twitter sudah ramai membalas, menyajikan data-data dan segala macam tabel bahwa kemiskinan adalah persoalan struktural. Tersebab ia masalah struktural, ketika bahkan punya anak saja jadi hak istimewa, spesial buat orang kaya semata, artinya larangan orang miskin tak boleh punya anak adalah ketidakadilan struktural.
Ada penelitian di luar negeri yang menyebut, semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan, semakin sedikit anak yang ia lahirkan. Mungkin di masa depan, juga akan ada hasil penelitian, semakin tinggi tingkat pendidikan, kemauan menikah juga makin turun. Korelasi-korelasi seperti ini (bukan kausasi), sudah jadi tanda bahwa daya ekonomi memang dampaknya besar sekali pada keputusan-keputusan hidup kita.
Dari soal punya anak jadi soal daya ekonomi. Nanti kita bisa melebar ke soal kemiskinan. Sudah, saya setop ngomong sampai sini. Selain saya cuma tahu permukaan, ekonom dunia saja masih pusing perkara ini. Lihat saja Nobel Ekonomi tahun lalu, tiga orang pemenangnya bahas apa? Cara mengatasi kemiskinan global. Salah satu ekonom pemenangnya, Esther Duflo, malah pernah meneliti untuk disertasinya hal yang dekat sekali dengan kita: hubungan program SD Inpres dan tingkat upah orang Indonesia.
(Tiba-tiba rasanya buang-buang waktu sekali terlalu banyak ribut di media sosial dan bukannya mencurahkan waktu untuk mempelajari satu bidang.)
Yang mau saya singgung di sini adalah soal perasaan. Apakah ini cuma omong besar nyaring gaungnya di media sosial, ataukah demikianlah gambaran mentalitas orang (kaya beneran maupun si miskin yang lupa pada kelasnya), bahwa empati itu tak lagi penting?
Kita sisihkan cita-cita besar yang butuh perjuangan besar pula tentang mengubah sistem. Kita lupakan isme-isme. Coba tanyakan mengapa, misalnya, tak ditonjolkan opsi bahwa jika kita kaya dan mampu, kita bantulah orang yang tak mampu? Mengapa orang yang bersekolah tinggi hari ini malah mencibir orang yang sekolahnya tak seberapa? Mengapa kita kalau merasa tahu, bukannya membagikan pengetahuan yang serupa api itu—tak habis meski dibagi-bagi, tapi justru menggoblok-goblokkan orang yang tak tahu?
Ini sudah terjadi sejak debat privilese mendominasi media sosial berhari-hari, awal tahun ini. Orang yang disebut berpirivilese malah setengah mati menolak privilesenya, ketakutan seumur hidup kerja kerasnya tak dihargai. Untuk mengokohkan penghormatan pada kerja keras mereka, jatuhlah mereka pada hinaan demi hinaan untuk orang yang tak sesukses mereka dengan mengatakan: kerja keras kalian kurang.
Itulah yang kita alami sekarang. Agitate terus, educate dan organize dilupakan. Perspektifnya sudah melulu serang, serang, dan serang. Memasak untuk suami diserang, punya anak banyak diserang, miskin diserang. Tak ada empati, belas kasih, iktikad membagi pengetahuan, dan solidaritas. Tak ada lagi ide tentang mengubah sistem. Benar sudah ucapan Slavoj Zizek. Sebelum Uni Soviet bubar, orang masih bermimpi mengubah dunia, makanya ide Komunisme laku. Setelah Soviet bubar, orang sudah putus ada dengan dunia ini dan bermimpi pindah ke planet lain, menyebabkan film sains fiksi gantian populer.
Pada orang tanpa empati dan belas kasih, bahkan bayangan meninggalkannya sendiri kala gelap. Ketika ia meninggal, jasadnya berjalan sendiri ke pekuburan. Dan tentang orang-orang seperti ini, pertanyaannya bukan bagaimana menghadapi mereka, tapi mengapa mereka bisa menjadi seperti itu.
Saya berharap, semoga koar-koar kejam antiorang miskin cuma ide liar yang gatal disampaikan. Saya berdoa, semoga di dunia nyata sehari-hari pengucapnya adalah orang rendah hati dan berakhlak seperti Budi: suka menolong sesama.
BACA JUGA Proses Depolitisasi dan Repolitisasi dalam Kasus Banjir Jakarta dan tulisan Prima Sulistya lainnya.