MOJOK.CO – Masa kini kita tidak hanya mengenal Neo-Orde Baru, tapi juga neo-tiger parenting. Anak memang tidak dididik dengan tangan besi, tapi tekanannya masih sama.
Kalau ada kasus guru main tangan ke murid, orang-orang bakal membandingkan dengan masa-masa bagaimana mereka sekolah dan dididik orang tua. Mereka bakal cerita kalau jaman mereka sekolah kalau nakal digebuk penggaris besi sepanjang Ruyi Jingu Bang (tongkat Sun Wukong), ada yang dilempar sandal, ada yang dipecut dengan sabuk.
Orang tua jaman dulu mungkin mengira mereka sedang mendidik pendekar.
Setelah itu, mereka membandingkan kalau anak sekarang lembek, dikit-dikit lapor, dikit-dikit nangis. Dicubit, nangis. Dikeplak, nangis. Dibentak, nangis. Ditinggal nikah, nangis. Pokoknya lembek. Anak jaman dulu lupa kalau semua orang punya breaking point-nya sendiri. Intinya mereka selalu memercayai: jaman dulu lebih ngeri.
Mereka sepertinya luput tentang satu hal, generasi kini sebenarnya menghadapi tekanan yang sama dengan generasi terdahulu. Mereka mungkin tidak disabet dengan tongkat ketika berbuat salah atau dididik dengan makian, tapi mereka dididik dengan siksaan yang sama. Fenomena itu dinamai tiger parenting.
Meski namanya tiger parenting, kita belum pernah liat macan mendidik anaknya dengan ngelempar sikat kumbahan ke kepalanya. Tiger parenting yang ini maksudnya jenis pengasuhan orang tua kepada anak yang mengedepankan kedisiplinan dan aturan superketat biar anaknya meraih prestasi di bidang akademik. Dalam kamus tiger parenting dikenal istilah tiger mother yang diperkenalkan oleh Profesor Amy Yuan dalam memoar Battle Hymn of Tiger Mother. Katanya sih, gaya pengasuhan ini terinspirasi dari ajaran Konfusius.
Karena mengedepankan pendidikan, tiger parenting jadi identik dengan aturan ketat biar anak belajar, belajar, belajar. Budaya ini dipraktikkan sangat ketat di kalangan orang tua di China. Dalam adegan film Free to Play tuh contohnya, ada adegan orang China berkata bahwa mereka hanya boleh membawa pulang piala juara 1. Soalnya kalau selain itu, piala bakal dibuang di tempat sampah bandara.
Pendidikan anak model seperti ini menekan anak untuk selalu peduli dengan pendidikan dan meminta mereka mengabaikan hal lain di luar akademis. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, hukuman menanti. Persis seperti bagaimana orang tua jaman dulu mendidik anak dengan hukuman jika anak berbuat di luar apa yang orang tua perintahkan. Dan hukuman itu selalu identik dengan hukuman fisik.
Tapi jaman sudah beralih, dan hukuman fisik kepada anak-anak sekarang dikutuk. Bagi yang pro hukuman, mereka menganggap hal itu akan menjadikan mereka menjadi lembek. Tapi bagi yang kontra, mereka tidak ingin anak tumbuh dengan trauma dan luka di masa lalu. Dua pihak tersebut sepertinya lupa bahwa sekarang era neo-tiger parenting, dan cara mendidiknya saja yang beda, efeknya tetap sama.
Anak dari masih janin udah diajak ngobrol bahasa Inggris di rumah. Umur 5 disuruh les piano dan balet. Gedean dikit, mereka dimasukkan ke les bela diri atau masuk SSB. Untuk jaman sekarang, hal itu diapresiasi sebagai langkah orang tua menyiapkan anak untuk sukses di masa depan. Nah, sekarang coba pakai nalarmu, bukankah penderitaannya sama?
Anak kecil hingga remaja waktunya dirampas untuk so-called persiapan masa depan. Saya tahu kalau les-les itu bagus, tapi ketika memberi tekanan anak untuk ikut les ini itu tanpa menanyai apa mereka mau dan butuh les, itu sama saja penyiksaan. Mau jaman dulu atau sekarang, anak tetap dipaksa untuk meraih mimpi orang tuanya yang tidak tercapai.
Memang tidak ada penggaris mendarat di punggung dan bekas cubitan merah di paha, tapi fisik dan batin anak tertekan setiap hari. Luka yang dibuat tetap sama, hanya tempatnya saja yang berbeda. Tidak berlebihan kalau ini disebut neo-tiger parenting. Sebab, orang tua tetap memaksakan anak melampaui batas hanya untuk mengejar kebanggaan. Kebanggaan siapa? Ya orang tuanya lah.
Pada akhirnya, yang dialami anak jaman dulu dan sekarang ya sama. Kalau dulu badannya digebuk, sekarang batinnya yang diremuk. Jumlah les yang banyak dan harus ditempuh seorang anak tidak ubahnya digebuki tiap hari oleh kahanan. Saya sendiri nggak bisa bayangin andai saya masih sekolah di masa kini dan harus ikut banyak les tersebut. Meskipun saya mengalami masa di mana saya selalu dihajar orang tua, saya tetap yakin bahwa dipaksa mengikuti banyak kegiatan efeknya sama.
Selama hidup di Asia, kita bakal susah lepas dari kecenderungan menerapkan tiger parenting kepada anak. Bentuknya berubah, efeknya tetap sama. Bagi kalian yang berencana punya anak, pahami bahwa anakmu bukanlah perpanjangan tangan untuk meraih mimpimu.
BACA JUGA Jokowi Polah, Kaesang Pangarep yang Kena: Derita Anak Bungsu dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.