MOJOK.CO – Siapa tahu, dakwah lapangan hijau PS Hizbul Wathan dengan bendera Muhammadiyah bisa menjadi angin segar yang membawa perubahan di tengah suporter.
Muhammadiyah punya peran yang sangat krusial di sejarah sepak bola Indonesia. Abdul Hamid, santri K. H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah salah satu tokoh penting yang membidani lahirnya PSSI bersama Ir. Soeratin Sosrosoegondo dan para perintis awal sepakbola Indonesia.
Abdul Hamid juga menjadi tokoh penting lahirnya Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM). Beliau pernah menjabat sebagai ketua. Selain menjadi pendorong lahirnya klub dan federasi, beliau pernah aktif sebagai pesepak bola. Beliau memperkuat Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan (PS Hizbul Wathan) di Yogyakarta.
Bahkan, juga Abdul Hamid aktif di Padvinder (Kepanduan) Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal PS Hizbul Wathan. Saat ini, PS PS Hizbul Wathan dikelola oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan menggunakan nama PS HW UMY. Saat ini, mereka bermain di Liga 3.
Baru-baru ini, Muhammadiyah “terjun” secara lebih tegas ke persepakbolaan Indonesia ketika membeli saham Semeru Lumajang FC. Menggunakan nama PS Hizbul Wathan FC, klub yang akan berlaga di Liga 2 ini menggunakan Stadion Delta Sidoarjo sebagai rumah. Selanjutnya, supaya lebih enak dibaca, saya tulis menjadi PS Hizbul Wathan saja, ya.
Ada dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama, manajemen PS Hizbul Wathan FC tidak sembarangan melakukan seleksi pemain. Para calon pemain harus memenuhi syarat sikap santun, disiplin, dan sportif ketika berlaga di atas lapangan hijau. Katanya, hal ini selaras dengan visi Muhammadiyah yang melakukan dakwah lewat sepak bola. Pemain harus punya sifat akhlakul karimah.
Hal menarik kedua adalah keyakinan manajemen PS Hizbul Wathan FC tentang keberadaan suporter. Manajemen yakin mereka akan tetap dicintai oleh suporter Lumajang FC. Selain itu, manajemen juga tidak khawatir tidak bisa menarik penonton karena jumlah alumni Muhammadiyah sangat banyak. Loyalitas alumni dan kedekatan jiwa ini bisa menjadi kekuatan, katanya.
Saya tidak akan masuk ke ranah banyaknya alumni Muhammadiyah. Bisa jadi benar, alumni Muhammadiyah yang jumlahnya mungkin sudah jutaan akan dengan mudah memenuhi stadion. Saya yakin, kalau itu terjadi, Stadion Mandala Krida dan Maguwojarjo Internasional Stadium saja bakal nggak muat. Mungkin nonton bola sudah kayak harlah atau lustrum. Ramai. Di dalam stadion.
Nah, yang menarik pikiran saya adalah, bagaimana jika kelak terjadi konflik suporter. Well, istilah “konflik suporter” mungkin terlalu keras. Kita sebut saja, “keributan suporter”. Ya meskipun sama saja, sih, maknanya.
Bagaimana respons manajemen PS Hizbul Wathan ketika alumni-alumni ikut tawuran? Ikut lempar-lempar batu atau bleyer–bleyer kenalpot di luar stadion bukannya beli tiket dan masuk ke stadion untuk nonton? Apakah kartu alumni mereka bakal ditarik biar nggak bisa dipakai minjam komik di taman bacaan?
Apakah kira-kira ada alumni Muhammadiyah, entah dari UMY atau UAD yang pantas jadi seorang Capo? Saya bayangkan dia akan memimpin suporter dengan nama Muhammadiyah Curva Est (MCE) atau Muhammadiyah Lengkung Timur menyanyikan Sang Surya sebelum sepak mula. Setelah itu dilanjut sambutan Rektor, lalu Wakil Dekan, perwakilan BEM, lalu Ketua Panitia mengucapkan terima kasih. Sepak mula pukul 15.30 molor jadi 17.00.
Untuk konsumsi suporter PS Hizbul Wathan selama pertandingan, UMY bakal menyediakan UMY Tirta sebagai penyedia minuman dalam kemasan. Untuk kudapan bakal disediakan oleh UMY Boga. Lumayan, ngirit. Mandiri Menghidupi….
Kembali ke soal keributan suporter….
Sampai saat ini, masalah gesekan antarsuporter sepak bola di Indonesia belum punya penawarnya. Iwan Bule, Ketum PSSI, punya rencana membuat semacam forum silaturahmi antarsuporter. Pertemuan itu punya tujuan untuk mempertemukan wadah suporter supaya bisa ngobrol dari hat ke hati.
Maafkan saya sebelumnya. Saya, kok, pesimis dengan pertemuan semacam ini. Kalau akar rumput suporter tidak pernah disentuh dan hanya mereka pejabat teras yang diajak rembugan, perdamaian suporter sulit terwujud. Terkadang, pejabat teras suporter sudah punya niat membuat pintu perdamaian, tetapi arus akar rumput terlalu kuat untuk mencegah perdamaian terjadi.
Nah, bagaimana PS Hizbul Wathan menyikapi situasi seperti ini? Saya tidak mendoakan. Tetapi, gesekan bisa saja terjadi. Ya karena sentiment suporter sendiri atau dipicu oleh kepemimpinan wasit yang kita tahu sering “kayak gitu”.
Agama sering dipakai untuk mengingatkan suporter tentang betapa berdosanya kekerasan di sepak bola. Lha wong sekelas Cak Nun pernah kasih wejangan kepada suporter sepak bola.
“Di manakah sebenarnya posisi sepak bola dalam hidup kita? Jawaban atas pertanyaan ini harapannya bisa membuat kita menempatkan sepak bola sebagai sumber energi untuk bebrayan, untuk persaudaraan, untuk kegembiraan, serta untuk kelegaan dalam hidup. Sehingga, kita tidak gampang kerengan,” kata Cak Nun.
Namun, seperti kita tahu, kekerasan masih terjadi. Apakah PS Hizbul Wathan, dengan bendera Muhammadiyah di belakangnya punya strategi untuk, setidaknya, meredam potensi kekerasan suporter?
Sampai saat ini, klub yang didukung oleh suporter fanatik belum melakukan aksi mendalam yang mengarah ke akar rumput. Semua aksi berhenti kepada pertemuan-pertemuan terbatas dengan pejabat teras suporter. PS Hizbul Wathan, punya akan punya kedekatan yang mendalam dengan suporternya. Saya berimpi, hal ini akan menjadi “pembeda”.
Siapa tahu, dari syair Sang Surya, rasa ingin gelut itu bisa diredam. Siapa tahu, dakwah lapangan hijau yang menjadi cita-cita PS Hizbul Wathan bisa menjadi angin segar yang membawa perubahan di tengah suporter. Sekadar bermimpi tentu boleh saja, bukan.
BACA JUGA NU dan Muhammadiyah Itu Apa? atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.