MOJOK.CO – Memangnya, selucu apa, sih, bahasa orang Ngapak di telinga orang-orang non-Ngapak? Kenapa dikit-dikit harus kencot???
Saya pernah pergi merantau ke Bandung dan bertemu banyak sekali orang asli Jawa Barat. Saat ditanya asal saya, teman-teman terpesona sendiri mendengar jawaban saya, “Dari Cilacap.”
“Oh, yang ngapak-ngapak itu, ya? Coba dong, ngomong ngapak, gitu. Itu bahasanya yang pakai nyong-nyong, gitu, kan? Ih, coba dong, coba dong!”
Hmm, jadi begini, Pemirsa-pemirsa sekalian. Tolong dengarkan dulu curahan hati dari saya, mewakili banyak orang ngapak yang sering sekali kalian tanggapi dengan respons seperti di atas!!! Tolong, ya!!! Tolong!!!
Sebagai produk lokal Kabupaten Cilacap, saya merasa tersanjung karena bahasa yang kerap bergaung di seluruh penjuru kota ternyata cukup dikenal oleh banyak orang dari berbagai daerah. Tapi perlu diketahui, bahasa Ngapak alias dialek Banyumasan adalah sebuah bahasa…
…bukan atraksi hiburan rakyat.
[!!!!!!!!!11!!!!1!!!]
Gini, ya: kalau kamu-kamu semua meminta kami berbicara bahasa Ngapak, sebenarnya apa yang kalian harapkan pada kami, sih? Kami disuruh ngomong sendiri, gitu???
Melalui media ini, saya bermaksud mengeluarkan keluh kesah saya yang tersimpan. Uhuk. Baiklah, mari kita mulai.
Pertama, selama saya merantau di Bandung tadi, hampir setiap kali saya berbicara dengan bahasa Ngapak (biasanya di telepon saat sedang dihubungi keluarga atau kawan dari Cilacap), teman-teman selalu ngakak nggak ketulungan. Jangankan ngomong bahasa Ngapak, ngomong bahasa Indonesia saja kadang-kadang diketawain kalau saya kelepasan medhok!
Seorang kawan saya di sana ada yang berasal dari Korea Selatan (iya, kamu nggak salah baca). Humor teman-teman yang lain pun kian berkembang. Beberapa kali, saya dan si Korea Selatan ini (mari kita panggil dengan sebutan ‘Oppa’) disuruh bicara bergantian, dengan request khusus: saya harus menyebut kata “nyong”, sedangkan Oppa harus menyebut kata “annyeong”.
Untuk apa? Ya untuk materi agar teman-teman tergelak lepas, mengulang-ulang kata “nyong” yang mirip “annyeong”.
Hadeeeeeeh!
Pertanyaan saya pun muncul: memangnya, selucu apa, sih, bahasa Ngapak di telinga orang-orang non-Ngapak??? Maksud saya, nggak pernah tuh saya ngakak denger orang ngomong bahasa Sunda dan bahasa Jawa di Yogyakarta—jadi kenapa saya harus pasrah-pasrah aja diketawain dengan dialek Banyumasan??? Apa ada yang salah dengan dialek kami???
Kedua, yang lebih aneh lagi, nih, Sobat-sobat sekalian, beberapa orang kekeuh meminta kami menyebut satu frasa tertentu, yaitu…
…”Nyong kencot.”
[!!!!!!!!!11!!!!1!!!]
Apaaaa??? Apa yang istimewa dari mendengar orang bilang “Aku lapar” kalau hanya untuk ditertawakan??? Memangnya situ berniat memberi kami sedekah beras 2,5 kilo atau nasi padang lengkap dengan sambal hijau dan telor dadar??? Nggak, kan??? Terus, apa urusan Anda meminta hal itu???
“Soalnya lucu dialeknya. Medhok-medhok gimana, gitu,” jawab seorang teman.
Duh, Sayangku, menjadi kencot alias lapar itu tidaklah lucu. Coba ingat: ada berapa banyak orang kelaparan di luar sana, dan kita masih ketawa-ketiwi menertawakan orang-orang ngapak yang sedang lapar? *mendadak bijaksana*
Jadi begini , loh, Kawan-kawan yang hatinya sedang resah dan gundah gulana tapi pura-pura bahagia, kami pun senang-senang saja kalau maksud Anda-Anda sekalian adalah mengapresiasi bahasa kami. Tapi mbok ya plis, nggak usah ketawa setiap 5 detik kalau kami sedang bicara bahasa Ngapak! Jar-jare enak apa nek lagi ngomong koh diguyu baen?!
Ketiga, yang lebih mengusik ke-Ngapak-an hati saya (halah, istilah apa ini), ada beberapa kata dalam bahasa Ngapak yang digunakan sesuka hati oleh orang-orang non-Ngapak.
Sebenarnya, hal ini biasa saja—malah saya dan teman-teman Ngapak lainnya patut mengapresiasi usaha orang-orang non-Ngapak untuk ikut ngapak-ngapak. Tapi masalahnya, kadang-kadang mereka itu ngeyel :(((
Dalam bahasa Ngapak, ada istilah “mbok” yang maknanya bukan hanya “ibu” sebagaimana ditemukan dalam bahasa Jawa. Kata “mbok” di bahasa Ngapak ini sama artinya dengan “kan” dan “mungkin” (sedikit mirip kata ndean yang ditemui di beberapa daerah) atau “siapa tahu” dan “takutnya” (pada kata mbok-mbokan, seperti makna bisi pada bahasa Sunda), misalnya pada kalimat berikut:
1. “Ngko kowe teka, mbok?” (Nanti kamu datang, kan?)
2. “Aja suwe-suwe guli mlaku, mbok-mbokan telat.” (Jangan lama-lama jalannya, takutnya ntar telat.)
3. “Sing nggawa motormu kae si Karjo mbok.” (Yang membawa motormu mungkin si Karjo.)
Begitulah kiranya, Bapak Ibu sekalian, perkara penggunaan istilah “mbok” yang baik dan benar. Tapiiii, kenapa kalian tu malah menggunakan kata “mbok” di banyak tempat di kalimat apa pun yang kalian ucapkan??? Please, itu tidak membuatmu terdengar ngapak :(((
Terus, kenapa oh kenapa kami-kami yang orang Ngapak ini malah dipanggil dengan julukan Mbok hanya gara-gara kami sering ngomong “mbok”??? Anda-Anda ini paham nggak e maknanya??? Ngerti apa ora jane :(((
Keempat, keluhan saya yang terakhir sepertinya lebih tepat ditujukan pada beberapa orang yang juga berbahasa Ngapak, tapi berasal dari luar Cilacap.
Seperti yang kita pahami bersama, bahasa Ngapak itu tersebar di banyak daerah—bukan cuma Cilacap. Di Jawa bagian Utara, kota-kota seperti Tegal, Brebes, dan Slawi pun terpengaruh dialek ini, apalagi di daerah Selatan, seperti Banjarnegara, Banyumas (Purwokerto), Purbalingga, Kebumen, dan daerah di sekitarnya. Dengan semangat ke-Ngapak-an bersama, saya jadi terheran-heran sendiri saat menjumpai keadaan seperti berikut:
Orang Non-Ngapak (ONN): “Wah, kamu ngapak, ya? Dari kota mana?”
Orang Ngapak Lain (ONL): “Kebumen.”
Saya (S): “Saya Cilacap.”
ONN: “Oh, gitu. Eh, kalau ngapak itu daerah yang paling ngapak itu mana, sih, sebenernya?”
S: “Oh, itu sih—”
ONL: “Cilacap, Mbak! Kalau ngapak yang ngapak banget dan paling kasar, ya, jelas Cilacap. Pokoknya Cilacap!!!”
S: “…”
Hmmm monmaap, nih, Saudara-saudara Ngapak yang dimuliakan Allah swt., apakah setelah kita semua menjadi objek tertawaan masyarakat di luar area Ngapak, kalian semua kini tega memojokkan kota tertentu yang dianggap bahasanya paling kasar dan paling ngapak???
Plis, musah kayak kuwe. Nyong dadi kepengen misuh. Hufh.