Menjadi Guru Terbaik Untuk Anak itu dengan Contoh, bukan Nasihat

MOJOK.CO – Anak merupakan seorang peniru yang sangat mengerikan. Hal ini bikin setiap orang tua tidak bisa sembarangan berperilaku di hadapan si anak.

Guru terbaik seorang anak itu yang pertama ibunya, yang kedua bapaknya. Dulu saya tahu betul premis itu. Bahkan nggak cuma tahu, saya hapal luar kepala sampai merasa itu merupakan ungkapan klise mirip kayak jargon kampanye Jokowi atau Prabowo. Bosen.

Akan tetapi, saya baru paham, yang klise-klise ketika jadi kalimat wejangan, tetap menakjubkan ketika beneran kejadian.

Harus saya akui, saya beruntung lahir di keluarga yang punya kedisiplinan ibadah cukup serius. Paling tidak untuk perkara salat lima waktu.

Saya ingat waktu kecil, bagaimana ibu atau bapak saya akan marah luar biasa kalau tahu saya terlambat melaksanakan salat. Itu baru terlambat lho, belum sampai meninggalkan. Wah kalau sampai meninggalkan saya bisa disate idup-idup.

Kadang saya juga agak sedih ketika melihat teman-teman saya yang tidak lahir dari keluarga seperti saya. Maksudnya, bukan dari keluarga yang secara sadar mendidik anaknya untuk taat. Bagi beberapa orang, kebiasaan ini memang nggak ada keren-kerennya sama sekali.

Soalnya tidak sedikit lho orang yang awalnya tidak terbiasa melakukan salat, lalu mendadak jadi taat terus jadi rutin salat lalu diejek teman-teman di lingkungannya. Dianggap sok alim, dianggap sedang punya masalah besar, bahkan kadang dianggap ikut aliran nggak jelas.

Sial sekali, betapa beratnya mereka untuk berubah jadi lebih baik. Hal yang untungnya tidak pernah saya alami.

Saya cukup beruntung karena dalam tumbuh kembang ketika dari anak ke remaja saya berada di keluarga yang agak ketat soal perkara-perkara semacam ini. Hal yang sampai sekarang bikin aktivitas salat seperti makan, pipis, mandi saja. Kalau tidak dilakukan rasanya ada yang mengganjal.

Kalau dulu tidak melakukan karena takut kena gampar, sekarang ya badan ini secara otomatis akan berontak justru ketika tidak melakukannya.

Bukan, bukan karena takut dosa atau kepingin nabung banyak pahala. Ya karena ini rutinitas harian yang jadi gerak refleks saja. Itulah kenapa saya sering menegur istri saya kalau mengingatkan ibadah-ibadah “menjanjikan” hal-hal fantastis.

“Yah, puasa sunnah yang ini, nanti dosa selama satu tahun diampuni lho.”

“Yah, puasa sunnah yang itu beberapa hari, nanti dapat pahala dunia seisinya lho.”

Saya cuma mbalas, “Masa kamu yang dah ngaji bertahun-tahun gitu masih kayak anak lahir kemarin yang apa-apa butuh diiming-imingi tho, Nduk.”

“Diiming-imingi piye tho, Mas?”

“Yo iming-iming. Kayak bocah kalau nggak puasa full nggak dapat angpau lebaran. Itu iming-iming, namanya.”

“Lha kan emang ada dalilnya,” kata istri saya.

“Tapi manusia diciptakan buat ngibadah itu dalil utamanya. Iming-iming kayak gitu kan emang promonya. Masa kita masih butuh promo?”

“Lho tapi kan nggak apa-apa mikir kayak gitu?”

“Ya nggak apa-apa. Siapa yang ngelarang. Namanya promo, diskon dosa, cahsback pahala, keep surga, itu penting juga. Tapi kan bukan yang terpenting. Nggak apa-apa dipakai pertama-tama, tapi kalau tiap belanja ngarepin hal-hal kayak gitu. Lama-lama khawatirnya malah nggak dapat apa-apa. Ya kali ada toko buka promo terus.”

Istri saya cuma ngekek.

Lebih ngekek lagi ketika tahu Skala, nama anak saya yang belum genap berusia dua tahun, pada suatu malam tiba-tiba bangun sendiri tanpa menangis. Lalu tertatih-tatih berjalan menuju sajadah. Awalnya saya pikir anak saya ingin mengambil sesuatu, tapi dia lalu berdiri di atas sajadah terdiam melamun sebentar lalu memulai gerakan-gerakan familiar.

Skala belum tahu dosa, belum tahu apa itu pahala, bahkan nggak tahu ada keyakinan bahwa ada neraka, ada surga. Mendadak, Skala melakukan gerakan-gerakan salat serta merta. Tulus begitu saja. Tanpa rencana, tanpa bertanya, dan bahkan tanpa ingin mengganggu tidur kedua orang tuanya—meski sebenarnya saya sudah terjaga di belakangnya.

Dan satu hal yang jelas, saya yakin Skala belum tahu melakukan gerakan itu untuk “Siapa”.

Ketika melihat Skala melakukan itu semua tanpa harapan apa-apa, entah kenapa saya merasa bahwa seperti itulah seharusnya seseorang melakukan ibadah. Tanpa pengharapan apa-apa, tanpa meminta pahala, tanpa perasaan takut neraka.

Melihat itu, saya senang bercampur geli saja rasanya.

Lalu mendadak muncul satu pesan saya untuk disimpan buat Skala, anak saya, nanti dewasa karena melihat gerakan-gerakannya ini.

“Nak, jadi uswatun hasanah saja dulu aja. Kasih contoh. Nggak usah kebanyakan maidhoh hasanah. Kasih banyak wejangan. Orang yang ngikut dari contoh barangkali nggak bakal sebanyak orang yang jago kasih ceramah, tapi yakin sama bapakmu ini, orang yang ikut dari contoh bakal jauh lebih tulus.”

Kalau Skala lalu tanya, “Ah, masa iya bapak ni. Emang ada buktinya?”

“Ya kamu itu buktinya.”

Exit mobile version